Perempuan yang Dipersilakan Melacur di Surga


Seperti biasa aku pulang beriringan dengan Ibu-Ibu jamaah sholat isya dari langgar etan (timur). Bedanya aku memakai rok pendek memperlihatkan pahaku yang begitu indah dengan balutan baju tanpa lengan berwarna biru gelap ketat untuk menonjolkan buah dadaku. Sedang Ibu-bu itu berjalan anggun mengenakan gamis dengan mukena yang masih membungkus badan mereka. 

Aku sudah terbiasa menerima jarak antara diriku dengan Ibu-Ibu jamaah ini. Meskipun kerapkali mereka berbicara yang macam-macam di belakangku, aku membalasnya dengan senyum. Heran saja bagaimana bisa gerombolan jamaah ini yang katanya alim dan sholeha masih saja membicarakan kelakuan buruk orang-orang di sekeliling mereka termasuk aku.

Gunjingan semacam itu sudah menjadi makananku sehari-hari. Justru bagiku itu mampu menaikkan nilai popularitasku sebagai pelacur paling kondang di kota ini. Mungkin mereka iri dengan apa yang aku miliki. Atau bahkan mereka yang khawatir bila suami-suami mereka lebih memilih bercinta denganku daripada tidur dengan istri mereka yang makin hari makin banyak saja yang ia minta. Ya, setidaknya aku bisa lebih merdeka, makan dengan hasil keringatku sendiri. Walaupun keringat yang aku peroleh dari olahraga malam dengan bercinta hahahaha.

"Assalamualaikum neng?," Kiai Ghofur menyapaku. 

"Ada apa pak kiai ganteng," kataku tersenyum untuk aki-aki yang sudah mengkerut semua kulit di tubuhnya.

"Tobatlah neng, apa yang kau lakukan sekarang ini dosa besar, apa yang kau makan haram, siksa neraka neng," katanya kepadaku memulai berceramah.

Aku menanggapinya dengan santai dan enteng. Perihal surga dan neraka itu urusan Tuhan. Bahkan tidak ada manusia satupun yang menjamin bahwa dirinya dan orang lain akan masuk ke surga atau neraka. Kalau pun memang benar ada surga mengapa Tuhan mesti memberikan banyak kenikmatan yang berujung pada dosa. Mengapa orang-orang ini memandangku buruk, menjijikkan, bahkan hina. Bukankah Tuhan tengah memberikan peran kita masing-masing. 

Peranku seperti ini, menjadi pelacur yang katanya sebuah kelas masyarakat yang buruk dengan stigma negatif. Namun mereka yang beranggapan dirinya baik lupa bahwa mereka tidak akan bisa merasa menjadi orang baik apabila tidak ada orang sepertiku yang mereka anggap orang yang buruk. Bukankah aku ini baik, sudah mau menerima peran dari Tuhan untuk menjalani peran sebagai penyeimbang kehidupan dan cermin bagi mereka-mereka yang menganggap dirinya orang baik?

"Aku sudah beberapa kali ke Surga pak kiai, bahkan setiap hari aku ke surga. Saat aku orgasme  rasanya tubuhku seperti melayang jauh sampai ke langit ketujuh tempat para Nabi dan Malaikat berada. Bahkan malaikat pun iri kepadaku karena tidak pernah merasakan orgasme, terlebih lagi mereka rugi karena tidak bisa orgasme bersamaku hahahaha," kataku sambil mengedipkan mata kananku kepada pak kiai. 

Begitulah hari-hariku, digunjingkan, dan diperingatkan bahwa orang-orang macam diriku tidak pantas untuk masuk tempat yang paling mulia yaitu surga.

*** 

Bila orang-orang mendengar nama Raras Saraswati terutama laki-laki matanya akan terbelalak lebar. Teman tidur yang mana harus dipesan jauh-jauh hari secara daring, sebab antrean kencanku sangat panjang. Dengan harga selangit tentu aku memberikan layanan terbaik yang bisa aku beri. Kecantikan, tubuh, dan kenikmatan yang bisa mereka dapat dari setiap inci dari tubuhku. Setiap laki-laki apabila sudah pernah sekali bercinta kepadaku biasanya mereka akan ketagihan dan ingin kembali untuk bisa bercinta denganku kembali. 

Tidak heran bila kompleks lokalisasi tempat aku melacur ini sering sekali diserbu oleh Ibu-Ibu yang memprotes diriku yang katanya aku merusak rumah tangga mereka. Tuduhan itu tiada bukti, aku tidak pernah menggoda suami mereka. Suami merekalah yang datang kepadaku lalu membayarku untuk bercinta. Alasan permintaan cerai dari suami barangkali alasan bahwa memang hubungan rumah tangga mereka sudah tidak harmonis. 

Tidak mudah memang untuk bisa sekali bercinta dengaku. Hanya pegawai bank, pegawai pajak, bupati, anggota dewan, direktur, bahkan menteri yang bisa menggandengku. Dalam satu malam pun aku hanya mau bercinta satu kali saja, tidak lebih. Tenang, untuk tukang becak, preman pasar, atau masyarakat biasa yang memiliki uang minim masih bisa bercinta dengan para junior-juniorku yang tak kalah denganku. 

Saat aku tengah menunggu Om Subroto aku mengamati dari kejauhan ada seseorang yang mengendap-endap di depan kompleks dengan membawa karung goni. Ia nampak mengawasi  dan mencari-cari sesuatu. Bahasa tubuhnya mencurigakan. Tak lama kemudian ia meletakkan bungkusan di dalam karung goni itu di dekat tempat sampah depan kompleks. Orang itu lari dengan motornya dengan cepat terburu-buru. 

Aku mendekati karung goni itu. Ada sesuatu di dalamnya, bergerak-gerak. Kuberanikan saja untuk membuka karung goni tersebut. Saat aku buka aku terperangah bahwa isinya dua ekor kucing kecil yang hampir mati karena kehabisan nafas. Ada dua ekor didalamnya, satu berwarna putih dengan sedikit warna cokelat, satu lagi berwarna hitam pekat. 

Kenapa orang itu tega sekali membuang anak-anak kucing ini. Bukankah orang-orang baik di luar sana seharusnya bisa memperlakukan makhluk hidup jauh lebih baik. Apa yang dikehendaki membuang anak-anak kucing ini di area kompleks pelacuran? Mengapa bukan di pasar atau warung makan yang mungkin di sana akan banyak sisa makanan yang bisa dimakan si kucing-kucing ini nanti. Kucing ini lalu aku masukkan dalam kardus mie bekas dengan niat akan aku pelihara.  aku letakkan roti dan potongan ikan asin.

"Sayang sekali aku tidak bisa menyusuimu, meskipun punyaku besar tapi tidak ada susunya. Lagi pula ini jatahnya Om Subroto nanti hahahaha," kataku berbicara sendiri dengan kucing-kucing itu.

*** 

Sampai malam pun Om Subroto tidak kunjung datang, justru yang datang adalah pemulung paruh baya. Karung sampahnya ia masih tenteng dengan pengait yang tidak pernah lepas. Mukanya lelah, sedikit terengah-engah dengan suara nafas yang menggebu-nggebu. Matanya menatap lurus kepadaku yang tengah duduk di depan. 

"Kalau mau memulung tempat sampahnya di sana pak," kataku menunjuk ke arah tempat sampah. Justru ia semakin mendekat, karung sampahnya ia letakkan di bawah beserta pengaitnya. 

"Apakah kau Raras si pelacur terkenal itu?,"

"Begitulah orang-orang mengatakanya," kataku.

"Aku ingin bercinta denganmu. Sekali saja,"

Sebenarnya aku sedikit terkejut dengan permintaan laki-laki paruh baya ini. Dengan tampang yang begitu lusuh ditambah dengan bau yang sangat menusuk membuatku berfikir panjang untuk melayani laki-laki paruh baya ini. Sebenarnya bisa saja aku melayani secara cuma-cuma namun apa untungnya melayani laki-laki tua ini. Jangan-jangan dia orang yang tidak waras yang apesnya tersesat kompleks pelacuran.

"Bapak punya apa?, hargaku tidak murah. Memangnya bapak mampu?," 

"Aku laki-laki paruh baya yang hidup dengan kemiskinan. Sejak kecil aku sudah dibuang oleh orang tuaku di tempat pembuangan sampah. Sampai umurku yang hampir mendekati kepala enam ini aku belum pernah kawin. Bercinta pun aku belum pernah. Tidak ada perempuan yang mau kepadaku karena mereka semua memandangku miskin. Aku rasa umurku sudah tidak akan lama lagi.  Apabila nanti aku mati dan belum merasakan bagaimana rasanya bercinta tentu betapa menyesalnya ketika aku di akhirat nanti. Aku mohon maulah kau bercinta denganku, mungkin untuk yang pertama dan terakhir," katanya mulai memelas.

Mendengar cerita itu aku menjadi iba. Bilamana tidak ada perempuan di luar sana karena dia miskin biarkan aku saja yang sedikit memberikan sedikit kebagiaan di sisa-sisa hidupnya. Aku pun membayangkan bagaimana bila nasibnya itu menimpa diriku, tentu itu bukan nasib beruntung bagi peran yang diberikan Tuhan. Ya setidaknya nanti ketika ditanya malaikat ia bisa pamer bahwa dia pernah bercinta dengan Raras Saraswati hehehehehe.

***

Tubuhnya kurasakaan semakin menegang, sebagai pengalaman pertama yang mungkin akan menantang nyalinya. Laki-laki paruh baya ini menyerangku dengan membabi-buta. Seolah-olah malaikat kematian tengah mengawasinya saat tengah bercinta denganku. Tenang saja kamar ini adalah otoritasku, singgasanaku, tempat aku melumpuhkan ratusan laki-laki dalam genggamanku. Termasuk kau laki-laki paruh baya yang bernasib malang.

Setelah semua inci tubuhku ia jelajahi, laki-laki paruh baya ini bersiap untuk mengeluarkan senjatanya. Sebuah yoni yang memang menjadi pusaka dari setiap laki-laki. Gerakan itu cepat dan sungguh membabi buta, dan berhasil menerobos kepunyaanku yang dipuja-puja banyak laki-laki yang rela mengantre setiap malam. Kami berdua tegang, melenguh dengan kenikmataan yang tiada terkira. 

Kenikmatan yang sebenarnya setiap malam aku rasakan, namun tidak dengan laki-laki paruh baya ini. Ini pertama untuknya, dan kubuat ini terindah mungkin yang bisa ia rasakan. Saat semuanya mendekati puncak tubuhnya kurasakan menegang, gerakannya semakin cepat. Nafasnya menggebu-nggebu tidak beraturan. Ahhhhhh, kami mencapai puncak, bertemu pada sebuah kenikmatan yang sampai ke langit ketujuh. Badannya lunglai terjatuh ke samping lemas tidak sadarkan diri.

*** 

Sekali lagi aku pulang berjajar dengan Ibu-Ibu Jamaah, mereka masih sama suka menggunjing. Saat sudah di depan rumah pak kiai juga masih pesimis bahwa tidak ada surga bagiku kecuali bila aku mau menghentikan maksiatku setiap malam. Aku tidak terlalu menghiraukannya, aku bergegas membuka pintu sambil menenteng anak-anak kucing yang aku temukan tadi sore. Mereka aku namakan Si Komo dan Si Kome.  Aku sendiri tidak terlalu pandai menamai makluk hidup, menurutku itu nama yang bagus untuk nama yang bisa aku beri.

Aku membuka bungkusan yang diberikan laki-laki paruh baya tadi. Padahal aku melayaninya dengan percuma, tidak ada keingananku untuk meminta sesuatu kepadanya. Namun ia memaksa dan memberikanku bungkusan berupa mukena putih yang sangat bagus dengan kain sutra yang sangat lembut. 

Entah kenapa aku tergerak untuk memakainya. Aku pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu, setahuku tidak ada yang melarang seorang pelacur untuk berwudhu dan memakai mukena. Mukena itu perlahan aku pakai sampai seluruhnya menutupi tubuhku. Anak-anak kucingku tadi menatapku heran. 

"Ini untukmu, tidak ada yang melarang pelacur untuk sholat bukan?," kata laki-laki paruh baya itu.

*** 

Tidak pernah ada yang bisa menilai seseorang apakah dia pantas mendapat surga atau neraka. Bahkan bila orang yang dianggap kebanyakan orang itu buruk belum tentu di mata pencipta dia buruk. Karena keburukan di mata manusia memang sudah peran yang tengah diembannya sebagai penyeimbang dengan si baik. 

“Pemulung tua tadi aku. Malaikat yang menyamar untuk menguji kebaikanmu sebagai manusia. Sekarang ikutlah denganku ke surga," bila setelah mati pun kau masih ingin melacur, tentu melacurlah di surga,  cahaya itu pergi mengajaku pergi. 

Aku meninggal dengan kesalehan yang pak kiai dan Ibu-Ibu jamaah tidak bisa bayangkan sebelumnya.

Oleh: Bingar Bimantara

Comments