Judul : SEGI TIGA
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 320 halaman
"Namun, apakah hidup ini bukan sebuah rumus yang harus diterima meskipun pada hakikatnya tidak juga bisa dipahami?" (hlm. 239)
Segi Tiga
Ada segi tiga, atau segi empat, atau segi banyak, atau tidak ada sama sekali. Belum jelas benar kaki segi tiga yang mana yang paling panjang dan sudut yang mana yang paling lebar. Belum jelas juga siapa yang terlibat, meskipun ketiga tokoh itu sangat mungkin memegang peran utama. Atau mungkin juga tidak ada segi tiga, tidak ada segi empat, tidak ada segi banyak. Mungkin juga segala bentuk dari segi itu hanya ada dalam angan-angan orang yang suka pada kisah cinta yang begitulah; berbelit-belit.
Tiga tokoh sentral dalam novel ini; Suryo, Gendis, dan Noriko. Tidak ada yang benar-benar memenangi peran utama antara satu dengan yang lainnya, tidak ada yang lebih tinggi di antara mereka. Segi Tiga terbentuk karena memang ada tiga sudut, tiga tokoh, yang diciptakan dalam kepala kita. Boleh kita mengucapnya dengan kata yang familiar yaitu "cinta segitiga", namun tak dapat dipungkiri ada sesuatu lain yang disuguhkan SDD dalam novel yang satu ini.
Syahdan, sebelum lebih jauh - sangatlah disarankan untuk menamatkan 'cantolan’ buku sebelumnya yaitu kumpulan puisi Perihal Gendis dan Trilogi Hujan Bulan Juni (Hujan Bulan Juni, Pingkan Melipat Jarak, Yang Fana Adalah Waktu). Ingatan kita yang dituntut untuk mengingat/flashback pada kehidupan Pingkan dan Sarwono, pun bagaimana sosok Gendis terbentuk dalam kumpulan puisi Perihal Gendis. Jadi, akan lengkap kiranya runtutan cerita kita ketika membaca Segi Tiga ini. Tentunya dengan ingatan kisah-kisah sebelumnya.
Percayakah kau pada ganasnya cinta pertama? Percayakah kau pada indahnya cinta pertama? Percayakah kau pada sadisnya cinta pertama? Entah berapa kali kalimat itu tersebar di novel ini. Kehidupan Suryo, lelaki yang dianggap majenun karena memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dicerna oleh pikiran orang lain. Nyata atau tidak, benar-benar ada atau memang hanya imajinasi yang mampir saja di kepala. Gendis, sepupunya--yang hidup seorang diri karena ditinggal pergi orangtua. Noriko, gadis Jepang yang memilih tinggal di Indonesia karena sudah terlanjur cinta pada budaya yang ada.
Perjalanan mereka mencari sang Juru Dongeng misterius yang entah di mana keberadaannya, yang kadangkala membuat mereka kesal karena alur dongeng-nya. Kehidupan mereka yang memiliki keterkaitan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, bersikeras untuk keluar dari dongeng dan ingin membuat cerita sendiri. Namun apalah daya, sang Juru Dongeng memiliki kuasa.
Segi Tiga akan membawa pikiran kita ke dalam peristiwa yang nyata, dengan tempat-tempat yang mereka kunjungi. Juga kehidupan mereka yang lain, yang mungkin bercokol di pikiran mereka. Nah, kita tentu juga memiliki kehidupan yang seperti itu, kehidupan lain yang ada di dalam kepala kita, yang tentunya setiap manusia memiliki imajinasi yang berbeda-beda. Alur cerita kiranya tak perlu dibahas terlalu rinci, ada baiknya dibaca sendiri saja novelnya, hehe.
Pernah tidak kita berpikir bahwa hal-hal yang ada di sekitar kita bisa atau mungkin membicarakan tingkah laku kita, pada cicak yang ck-ck-ck-ck suaranya, ataupun yang lainnya. Pernah tidak kita menghargai rumah? Bahwa rumah bukan hanya rumah, melainkan Rumah. Dengan huruf "R" kapital sebagai subyek yang bisa menyayangi dengan sepenuh-penuhnya dan setulus-tulusnya cinta. Segi Tiga juga mengajarkan kita untuk menikmati dan mencintai hal-hal kecil, ya yang mungkin selama ini kita anggap remeh dan tak bernyawa.
Secara keseluruhan, SDD tidak hanya mendedah bagaimana rumitnya hubungan di antara tokoh-tokoh dalam novelnya, juga kelindan di antara tokoh-tokoh novel dan Juru Dongeng yang misterius keberadaannya. Dan garis besarnya adalah berkisah tentang kehidupan, kenangan, dan tentunya - cinta.
Kuasa Juru Dongeng
Entah tafsir yang terlalu berlebihan atau bagaimana, nampaknya Juru Dongeng yang misterius ini tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan. Sang Maha Zat pengatur alam semesta. Begitupun dengan Suryo, Gendis, Noriko, dan kesemua tokoh yang lainnya adalah merefleksikan kita sebagai hamba-Nya. Yang kadangkala mungkin merasa ciut atau malah mengobarkan amarah dan membusuk-busukkan Juru Dongeng yang merakit dan menghembuskan kisah dongengnya pada kita itu. Tidak suka alur yang diberikan oleh-Nya. Namun tafsir tetaplah tafsir, bukan patokan yang pasti.
Bahwa kita harus mengikuti rencana Juru Dongeng untuk kita, dan semua akan beres sebagaimana mestinya. Begitupun dengan kita yang tentunya harus berserah diri pada Tuhan, yang mengatur kehidupan kita. Dalam novel ini dikatakan bahwa Sang Juru Dongeng ada sebab kita ada, atau sebaliknya: kita ada dan karenanya Sang Juru Dongeng itu ada. Maha Zat yang menciptakan alam semesta. Dan kita ini ya hanya hamba-Nya, jadi hidup kita ini ada patokannya dan ada pijakannya, bukan serta-merta sesuai kehendak kita. Ya karena ada Juru Dongeng tadi. Alhasil, kehidupan ini sudah ada porosnya dan alur semenjak dulu yang dihembuskan dalam diri kita.
Novel ini tidaklah terlalu berat untuk dibaca, justru mungkin akan memunculkan pertanyaan pada diri pembaca bahwa siapa sih sebenarnya Juru Dongeng yang dimaksudkan. Kata-kata puitis khas SDD senantiasa terselip rapi di beberapa halaman dalam novel ini. Terakhir, selamat membaca. Semoga tetap dalam keadaan sehat.
Oleh: Mohammad Jumhari
Comments