Sc: Samudra Fakta |
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) merupakan lembaga legislatif yang memiliki peran vital dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, DPR berfungsi sebagai pembuat undang-undang,
pengawas pelaksanaan pemerintahan, serta penyalur aspirasi rakyat. Lembaga ini
sering disebut sebagai representasi kedaulatan rakyat karena anggota-anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, DPR tidak jarang
menuai kritik dari masyarakat. Isu-isu mengenai korupsi, rendahnya kinerja,
serta kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat memunculkan wacana
ekstrem berupa usulan pembubaran DPR.
Wacana tersebut
tentu menimbulkan perdebatan yang serius, mengingat DPR adalah salah satu pilar
demokrasi. Pembubaran DPR, baik secara formal maupun simbolis, akan membawa
konsekuensi yang luas bagi kehidupan politik, hukum, maupun sosial bangsa. Oleh
karena itu, penting untuk menganalisis apa saja faktor yang mendorong munculnya
wacana pembubaran DPR, apa dampaknya apabila benar-benar terlaksana, serta
bagaimana seharusnya masyarakat dan negara menyikapi persoalan ini.
Ada beberapa faktor
yang mendorong munculnya gagasan pembubaran DPR di Indonesia. Salah satunya
adalah maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif. Berdasarkan
data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2023 tercatat
lebih dari 250 anggota DPR dan DPRD terjerat kasus korupsi. Kondisi ini
menunjukkan bahwa lembaga yang seharusnya menjadi teladan integritas justru
sering menjadi pusat praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, tingkat
kepercayaan publik terhadap DPR cenderung rendah. Survei Indikator Politik
Indonesia tahun 2022 memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat hanya sekitar
50,8%, jauh lebih rendah dibanding kepercayaan terhadap TNI atau Presiden.
Rendahnya kepercayaan ini muncul karena DPR dianggap lebih mementingkan
kepentingan politik dan golongan dibandingkan aspirasi rakyat.
Kritik juga muncul
terhadap kualitas legislasi yang dihasilkan. Meskipun DPR setiap tahun menyusun
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), banyak undang-undang yang dianggap
kontroversial. Sebagai contoh, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020
menimbulkan gelombang protes karena dinilai lebih berpihak kepada kepentingan
investor daripada pekerja. Kurangnya partisipasi publik dalam proses legislasi
membuat DPR semakin dipandang jauh dari rakyat.
Dari sisi politik,
biaya yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPR juga sangat tinggi. Menurut
kajian Transparency International, modal politik yang dibutuhkan bisa mencapai
miliaran hingga puluhan miliar rupiah. Hal ini memunculkan praktik politik uang
dan ketergantungan pada sponsor politik, yang akhirnya melahirkan kebijakan
yang tidak netral.

Lebih jauh,
perilaku anggota DPR yang sering tidak menghadiri sidang atau melakukan
pelanggaran etika menambah ketidakpuasan publik. Fenomena banyaknya kursi
kosong dalam sidang-sidang penting menegaskan anggapan bahwa DPR kurang serius
dalam menjalankan fungsi representasi rakyat.
Wacana pembubaran
DPR bukanlah isu sederhana, sebab lembaga ini merupakan bagian inti dari sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, DPR tidak hanya berfungsi
dalam pembuatan undang-undang, tetapi juga dalam melakukan pengawasan terhadap
pemerintah serta menjadi wadah representasi rakyat. Jika DPR benar-benar
dibubarkan, maka konsekuensinya akan sangat luas dan menyentuh berbagai aspek
kehidupan bernegara, mulai dari hukum, politik, demokrasi, ekonomi, hingga
sosial.
Dampak paling
pertama yang akan muncul adalah terjadinya krisis konstitusional. DPR memiliki
landasan yang sangat kuat dalam UUD 1945, terutama dalam Pasal 19 sampai Pasal
22B yang secara jelas mengatur kedudukan, fungsi, dan mekanisme kerjanya.
Apabila DPR dibubarkan tanpa melalui mekanisme amandemen konstitusi, maka akan
muncul kekosongan hukum yang serius. Negara tidak lagi memiliki lembaga pembuat
undang-undang sebagaimana mestinya, dan hal ini akan mencederai prinsip negara
hukum atau rule of law. Keabsahan
seluruh produk hukum yang lahir setelah pembubaran DPR juga akan dipertanyakan,
baik oleh rakyat Indonesia sendiri maupun oleh komunitas internasional.
Selain itu,
ketiadaan DPR akan menyebabkan konsentrasi kekuasaan jatuh sepenuhnya ke tangan
presiden dan pemerintah. Mereka akan memiliki kewenangan penuh dalam membuat
kebijakan, mengesahkan undang-undang, sekaligus mengawasi pelaksanaan kebijakan
tersebut. Mekanisme checks and balances
yang selama ini menjadi ciri khas demokrasi Indonesia otomatis hilang. Kondisi
ini membuka jalan lahirnya pemerintahan otoriter, karena tidak ada lagi lembaga
independen yang berfungsi sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif. Sejarah
berbagai negara menunjukkan bahwa ketika lembaga legislatif dilemahkan atau
dihapus, kecenderungan menuju kediktatoran hampir tidak terelakkan.
Lebih jauh,
pembubaran DPR juga berarti hilangnya kanal representasi rakyat. DPR selama ini
menjadi jalur formal bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui wakil
yang dipilih lewat pemilu. Dengan hilangnya DPR, aspirasi rakyat tidak lagi
memiliki wadah konstitusional untuk diperjuangkan, sehingga ketidakpuasan
sosial dapat lebih mudah meluap ke ruang publik. Dalam situasi seperti itu,
demonstrasi, gerakan jalanan, bahkan pemberontakan bisa menjadi pilihan
masyarakat yang merasa suaranya tidak lagi didengar oleh negara.
Ketidakstabilan
politik hampir pasti terjadi apabila DPR dibubarkan. Keberadaan DPR saat ini
merupakan bagian dari keseimbangan politik yang menopang sistem demokrasi
Indonesia. Jika lembaga ini hilang, maka tata kelola negara akan mengalami
keguncangan besar. Lembaga-lembaga lain seperti MPR, DPD, atau Mahkamah
Konstitusi bisa saja saling berebut peran, atau justru mengalami kebuntuan
politik karena kehilangan mitra dalam proses legislasi. Situasi politik yang
tidak stabil semacam ini bisa berimbas langsung pada legitimasi pemerintah di
mata rakyat maupun komunitas internasional.
Aspek ekonomi pun
tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi ini. Dunia usaha dan investor selalu
menaruh perhatian besar pada stabilitas politik dan hukum. Tanpa DPR, kepastian
hukum menjadi rapuh karena regulasi dapat berubah sewaktu-waktu tanpa proses
legislasi yang transparan dan partisipatif. Investor asing cenderung akan
menarik modal atau menunda investasi, sementara investor domestik kehilangan
rasa percaya diri untuk menanamkan modal jangka panjang. Dampaknya, nilai tukar
rupiah bisa melemah, inflasi meningkat, pengangguran bertambah, dan laju
pertumbuhan ekonomi nasional terhambat.
Dampak lain yang
tak kalah berbahaya adalah meningkatnya potensi konflik sosial. Pembubaran DPR
pasti memicu perbedaan pendapat yang tajam di masyarakat. Kelompok yang setuju
dan yang menolak dapat saling berhadapan secara frontal, menimbulkan polarisasi
yang semakin dalam. Jika polarisasi ini bercampur dengan isu-isu identitas
politik, agama, atau etnis, maka konflik horizontal tidak bisa dihindari. Dalam
jangka panjang, kondisi semacam ini berpotensi mengancam persatuan bangsa dan
membuka jalan menuju disintegrasi.
Selain itu,
hilangnya DPR juga berarti kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia. DPR
merupakan salah satu pilar utama demokrasi perwakilan yang telah dibangun sejak
era reformasi. Tanpa DPR, sistem pemerintahan akan bergeser menuju pola yang
lebih otoriter, sehingga menghapus capaian demokrasi yang selama ini menjadi
kebanggaan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Reputasi Indonesia di mata internasional juga akan menurun drastis, karena
negara lain akan melihat Indonesia sebagai negara yang gagal menjaga stabilitas
institusi demokrasinya.
Tidak hanya itu,
hubungan internasional Indonesia pun dapat terganggu. Mitra strategis maupun
lembaga internasional akan memandang pembubaran DPR sebagai sinyal instabilitas
politik. Akibatnya, dukungan terhadap Indonesia, baik dalam kerja sama ekonomi,
politik, maupun pertahanan, bisa berkurang. Bahkan di lingkup regional ASEAN,
Indonesia bisa kehilangan posisi strategisnya sebagai pemimpin kawasan, karena
dianggap sedang dilanda krisis politik internal.
Dampak pembubaran
DPR juga akan dirasakan di tingkat daerah. Selama ini, wakil rakyat di DPR
menjadi perpanjangan suara masyarakat daerah dalam memperjuangkan pembangunan.
Jika DPR dihapuskan, aspirasi daerah akan sulit tersampaikan, sehingga
berpotensi menimbulkan rasa ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Hal
ini dapat memperlebar jurang ketidakadilan antara pusat dan daerah serta
menambah gesekan dalam hubungan pemerintahan.
Akhirnya, krisis kepercayaan publik juga sangat mungkin terjadi. Meskipun DPR sering dikritik keras karena kinerja atau perilaku sebagian anggotanya, keberadaannya tetap memiliki arti penting sebagai simbol representasi rakyat. Jika DPR benar-benar dibubarkan, rakyat bisa semakin kehilangan rasa percaya pada negara dan sistem politik yang ada. Krisis legitimasi ini berbahaya karena dapat memperdalam jurang antara pemerintah dan rakyat, serta menimbulkan instabilitas jangka panjang yang sulit dipulihkan.
DPR memang memiliki
kelemahan nyata, mulai dari maraknya kasus korupsi, rendahnya kepercayaan
publik, hingga kualitas legislasi yang buruk. Hal-hal inilah yang mendorong
munculnya wacana pembubaran DPR. Namun demikian, langkah tersebut bukanlah
solusi yang tepat, karena justru akan menimbulkan krisis konstitusional,
menghilangkan prinsip demokrasi, dan melemahkan mekanisme pengawasan terhadap
pemerintah. Dengan kata lain, pembubaran DPR lebih berpotensi merusak tatanan
negara daripada memperbaikinya. Daripada membubarkan DPR, solusi yang lebih
bijak adalah melakukan reformasi mendalam terhadap lembaga ini. Mekanisme
rekrutmen politik harus diperkuat agar anggota yang terpilih memiliki
integritas dan kualitas yang memadai. Transparansi kinerja DPR perlu ditingkatkan,
termasuk keterbukaan akses publik terhadap rapat, draf legislasi, dan laporan
pertanggungjawaban anggota. Sanksi yang tegas dan konsisten harus dijatuhkan
kepada anggota DPR yang terlibat kasus korupsi atau pelanggaran etika.
Selain itu,
partisipasi masyarakat perlu diperluas dalam proses legislasi melalui forum
dengar pendapat, konsultasi publik, hingga pemanfaatan teknologi digital. Biaya
politik juga harus dibatasi dengan regulasi yang jelas mengenai dana kampanye,
agar wakil rakyat tidak lagi bergantung pada sponsor yang merugikan kepentingan
umum. Dengan reformasi yang menyeluruh, DPR dapat kembali menjalankan fungsinya
sebagai lembaga legislatif yang benar-benar mewakili rakyat. Alih-alih
membubarkan DPR, memperbaikinya adalah pilihan yang lebih realistis dan bijak
demi keberlanjutan demokrasi Indonesia.