Apa Saja Dampak Pembubaran DPR di Indonesia

Sc: Samudra Fakta

VOICE-DPR adalah lembaga negara yang keberadaannya dijamin secara konstitusional oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada presiden atau lembaga lain untuk membubarkan DPR. Pembubaran DPR hanya akan mungkin dilakukan jika ada amandemen UUD 1945 yang mengubah pasal-pasal tersebut. Mengingat proses amandemen konstitusi sangat rumit dan harus disetujui oleh seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kemungkinan pembubaran DPR melalui jalur ini sangatlah kecil. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memperbaiki DPR adalah melalui jalur reformasi dan penguatan sistem politik, bukan dengan pembubaran yang akan menimbulkan krisis konstitusional.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga legislatif yang memiliki peran vital dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR berfungsi sebagai pembuat undang-undang, pengawas pelaksanaan pemerintahan, serta penyalur aspirasi rakyat. Lembaga ini sering disebut sebagai representasi kedaulatan rakyat karena anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Namun, dalam praktiknya, DPR tidak jarang menuai kritik dari masyarakat. Isu-isu mengenai korupsi, rendahnya kinerja, serta kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat memunculkan wacana ekstrem berupa usulan pembubaran DPR.

 

Wacana tersebut tentu menimbulkan perdebatan yang serius, mengingat DPR adalah salah satu pilar demokrasi. Pembubaran DPR, baik secara formal maupun simbolis, akan membawa konsekuensi yang luas bagi kehidupan politik, hukum, maupun sosial bangsa. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis apa saja faktor yang mendorong munculnya wacana pembubaran DPR, apa dampaknya apabila benar-benar terlaksana, serta bagaimana seharusnya masyarakat dan negara menyikapi persoalan ini.

 

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya gagasan pembubaran DPR di Indonesia. Salah satunya adalah maraknya kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2004 hingga 2023 tercatat lebih dari 250 anggota DPR dan DPRD terjerat kasus korupsi. Kondisi ini menunjukkan bahwa lembaga yang seharusnya menjadi teladan integritas justru sering menjadi pusat praktik penyalahgunaan kekuasaan.

 

Selain itu, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR cenderung rendah. Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2022 memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat hanya sekitar 50,8%, jauh lebih rendah dibanding kepercayaan terhadap TNI atau Presiden. Rendahnya kepercayaan ini muncul karena DPR dianggap lebih mementingkan kepentingan politik dan golongan dibandingkan aspirasi rakyat.

 

Kritik juga muncul terhadap kualitas legislasi yang dihasilkan. Meskipun DPR setiap tahun menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), banyak undang-undang yang dianggap kontroversial. Sebagai contoh, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 menimbulkan gelombang protes karena dinilai lebih berpihak kepada kepentingan investor daripada pekerja. Kurangnya partisipasi publik dalam proses legislasi membuat DPR semakin dipandang jauh dari rakyat.

 

Dari sisi politik, biaya yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPR juga sangat tinggi. Menurut kajian Transparency International, modal politik yang dibutuhkan bisa mencapai miliaran hingga puluhan miliar rupiah. Hal ini memunculkan praktik politik uang dan ketergantungan pada sponsor politik, yang akhirnya melahirkan kebijakan yang tidak netral.

 

Mengupload: 112011 dari 112011 byte diupload.

Lebih jauh, perilaku anggota DPR yang sering tidak menghadiri sidang atau melakukan pelanggaran etika menambah ketidakpuasan publik. Fenomena banyaknya kursi kosong dalam sidang-sidang penting menegaskan anggapan bahwa DPR kurang serius dalam menjalankan fungsi representasi rakyat.

 

Wacana pembubaran DPR bukanlah isu sederhana, sebab lembaga ini merupakan bagian inti dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, DPR tidak hanya berfungsi dalam pembuatan undang-undang, tetapi juga dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah serta menjadi wadah representasi rakyat. Jika DPR benar-benar dibubarkan, maka konsekuensinya akan sangat luas dan menyentuh berbagai aspek kehidupan bernegara, mulai dari hukum, politik, demokrasi, ekonomi, hingga sosial.

 

Dampak paling pertama yang akan muncul adalah terjadinya krisis konstitusional. DPR memiliki landasan yang sangat kuat dalam UUD 1945, terutama dalam Pasal 19 sampai Pasal 22B yang secara jelas mengatur kedudukan, fungsi, dan mekanisme kerjanya. Apabila DPR dibubarkan tanpa melalui mekanisme amandemen konstitusi, maka akan muncul kekosongan hukum yang serius. Negara tidak lagi memiliki lembaga pembuat undang-undang sebagaimana mestinya, dan hal ini akan mencederai prinsip negara hukum atau rule of law. Keabsahan seluruh produk hukum yang lahir setelah pembubaran DPR juga akan dipertanyakan, baik oleh rakyat Indonesia sendiri maupun oleh komunitas internasional.

 

Selain itu, ketiadaan DPR akan menyebabkan konsentrasi kekuasaan jatuh sepenuhnya ke tangan presiden dan pemerintah. Mereka akan memiliki kewenangan penuh dalam membuat kebijakan, mengesahkan undang-undang, sekaligus mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut. Mekanisme checks and balances yang selama ini menjadi ciri khas demokrasi Indonesia otomatis hilang. Kondisi ini membuka jalan lahirnya pemerintahan otoriter, karena tidak ada lagi lembaga independen yang berfungsi sebagai pengimbang kekuasaan eksekutif. Sejarah berbagai negara menunjukkan bahwa ketika lembaga legislatif dilemahkan atau dihapus, kecenderungan menuju kediktatoran hampir tidak terelakkan.

 

Lebih jauh, pembubaran DPR juga berarti hilangnya kanal representasi rakyat. DPR selama ini menjadi jalur formal bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui wakil yang dipilih lewat pemilu. Dengan hilangnya DPR, aspirasi rakyat tidak lagi memiliki wadah konstitusional untuk diperjuangkan, sehingga ketidakpuasan sosial dapat lebih mudah meluap ke ruang publik. Dalam situasi seperti itu, demonstrasi, gerakan jalanan, bahkan pemberontakan bisa menjadi pilihan masyarakat yang merasa suaranya tidak lagi didengar oleh negara.

 

Ketidakstabilan politik hampir pasti terjadi apabila DPR dibubarkan. Keberadaan DPR saat ini merupakan bagian dari keseimbangan politik yang menopang sistem demokrasi Indonesia. Jika lembaga ini hilang, maka tata kelola negara akan mengalami keguncangan besar. Lembaga-lembaga lain seperti MPR, DPD, atau Mahkamah Konstitusi bisa saja saling berebut peran, atau justru mengalami kebuntuan politik karena kehilangan mitra dalam proses legislasi. Situasi politik yang tidak stabil semacam ini bisa berimbas langsung pada legitimasi pemerintah di mata rakyat maupun komunitas internasional.

 

Aspek ekonomi pun tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi ini. Dunia usaha dan investor selalu menaruh perhatian besar pada stabilitas politik dan hukum. Tanpa DPR, kepastian hukum menjadi rapuh karena regulasi dapat berubah sewaktu-waktu tanpa proses legislasi yang transparan dan partisipatif. Investor asing cenderung akan menarik modal atau menunda investasi, sementara investor domestik kehilangan rasa percaya diri untuk menanamkan modal jangka panjang. Dampaknya, nilai tukar rupiah bisa melemah, inflasi meningkat, pengangguran bertambah, dan laju pertumbuhan ekonomi nasional terhambat.

 

Dampak lain yang tak kalah berbahaya adalah meningkatnya potensi konflik sosial. Pembubaran DPR pasti memicu perbedaan pendapat yang tajam di masyarakat. Kelompok yang setuju dan yang menolak dapat saling berhadapan secara frontal, menimbulkan polarisasi yang semakin dalam. Jika polarisasi ini bercampur dengan isu-isu identitas politik, agama, atau etnis, maka konflik horizontal tidak bisa dihindari. Dalam jangka panjang, kondisi semacam ini berpotensi mengancam persatuan bangsa dan membuka jalan menuju disintegrasi.

 

Selain itu, hilangnya DPR juga berarti kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia. DPR merupakan salah satu pilar utama demokrasi perwakilan yang telah dibangun sejak era reformasi. Tanpa DPR, sistem pemerintahan akan bergeser menuju pola yang lebih otoriter, sehingga menghapus capaian demokrasi yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Reputasi Indonesia di mata internasional juga akan menurun drastis, karena negara lain akan melihat Indonesia sebagai negara yang gagal menjaga stabilitas institusi demokrasinya.

 

Tidak hanya itu, hubungan internasional Indonesia pun dapat terganggu. Mitra strategis maupun lembaga internasional akan memandang pembubaran DPR sebagai sinyal instabilitas politik. Akibatnya, dukungan terhadap Indonesia, baik dalam kerja sama ekonomi, politik, maupun pertahanan, bisa berkurang. Bahkan di lingkup regional ASEAN, Indonesia bisa kehilangan posisi strategisnya sebagai pemimpin kawasan, karena dianggap sedang dilanda krisis politik internal.

 

Dampak pembubaran DPR juga akan dirasakan di tingkat daerah. Selama ini, wakil rakyat di DPR menjadi perpanjangan suara masyarakat daerah dalam memperjuangkan pembangunan. Jika DPR dihapuskan, aspirasi daerah akan sulit tersampaikan, sehingga berpotensi menimbulkan rasa ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini dapat memperlebar jurang ketidakadilan antara pusat dan daerah serta menambah gesekan dalam hubungan pemerintahan.

 

Akhirnya, krisis kepercayaan publik juga sangat mungkin terjadi. Meskipun DPR sering dikritik keras karena kinerja atau perilaku sebagian anggotanya, keberadaannya tetap memiliki arti penting sebagai simbol representasi rakyat. Jika DPR benar-benar dibubarkan, rakyat bisa semakin kehilangan rasa percaya pada negara dan sistem politik yang ada. Krisis legitimasi ini berbahaya karena dapat memperdalam jurang antara pemerintah dan rakyat, serta menimbulkan instabilitas jangka panjang yang sulit dipulihkan.


 

DPR memang memiliki kelemahan nyata, mulai dari maraknya kasus korupsi, rendahnya kepercayaan publik, hingga kualitas legislasi yang buruk. Hal-hal inilah yang mendorong munculnya wacana pembubaran DPR. Namun demikian, langkah tersebut bukanlah solusi yang tepat, karena justru akan menimbulkan krisis konstitusional, menghilangkan prinsip demokrasi, dan melemahkan mekanisme pengawasan terhadap pemerintah. Dengan kata lain, pembubaran DPR lebih berpotensi merusak tatanan negara daripada memperbaikinya. Daripada membubarkan DPR, solusi yang lebih bijak adalah melakukan reformasi mendalam terhadap lembaga ini. Mekanisme rekrutmen politik harus diperkuat agar anggota yang terpilih memiliki integritas dan kualitas yang memadai. Transparansi kinerja DPR perlu ditingkatkan, termasuk keterbukaan akses publik terhadap rapat, draf legislasi, dan laporan pertanggungjawaban anggota. Sanksi yang tegas dan konsisten harus dijatuhkan kepada anggota DPR yang terlibat kasus korupsi atau pelanggaran etika.

 

Selain itu, partisipasi masyarakat perlu diperluas dalam proses legislasi melalui forum dengar pendapat, konsultasi publik, hingga pemanfaatan teknologi digital. Biaya politik juga harus dibatasi dengan regulasi yang jelas mengenai dana kampanye, agar wakil rakyat tidak lagi bergantung pada sponsor yang merugikan kepentingan umum. Dengan reformasi yang menyeluruh, DPR dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai lembaga legislatif yang benar-benar mewakili rakyat. Alih-alih membubarkan DPR, memperbaikinya adalah pilihan yang lebih realistis dan bijak demi keberlanjutan demokrasi Indonesia.

 


Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post