Guru yang malas pada dasarnya tidak akan dapat
menghasilkan murid-murid yang cinta belajar. Guru yang kemampuannya membeo,
serta tidak mampu berpikir sendiri, pada dasarnya tidak akan dapat
membuahkan
murid – murid yang berani berpikir sendiri, kritis dan kreatif. (Mochtar
Buchori) Makna dari kata – kata Mochtar Buchori diatas
menggambarkan kondisi guru atau dosen yang terjadi akhir – akhir ini.
Banyak keluhan yang dialamatkan kepada “pahlawan tanpa tanda jasa” ini khususnya dosen Fakultas Hukum (FH) Unijoyo. Mulai dari tingkat kedisiplinan, wibawa, tingkah laku, sampai kemampuan menerangkan. Ternyata tingkat kedisiplinan dosen FH tidak dapat memberikan tauladan bagi mahasiswanya. Sering menyampingkan mengajar dengan keperluan yang irrasional atau ternyata tugas mengajar hanyalah sebuah sampingan. Jarang mengajar dengan alasan reuni, ada proyek dari pemerintah atau ada keluarga meninggal (mahasiswa dibohongi pun tidak bakal tahu kalau dia bohong). Akibatnya mahasiswa pun malas untuk masuk kuliah atau mengikuti mata kuliah pengganti (jika ada).
Banyak keluhan yang dialamatkan kepada “pahlawan tanpa tanda jasa” ini khususnya dosen Fakultas Hukum (FH) Unijoyo. Mulai dari tingkat kedisiplinan, wibawa, tingkah laku, sampai kemampuan menerangkan. Ternyata tingkat kedisiplinan dosen FH tidak dapat memberikan tauladan bagi mahasiswanya. Sering menyampingkan mengajar dengan keperluan yang irrasional atau ternyata tugas mengajar hanyalah sebuah sampingan. Jarang mengajar dengan alasan reuni, ada proyek dari pemerintah atau ada keluarga meninggal (mahasiswa dibohongi pun tidak bakal tahu kalau dia bohong). Akibatnya mahasiswa pun malas untuk masuk kuliah atau mengikuti mata kuliah pengganti (jika ada).
Padahal status mereka adalah Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang memiliki tugas untuk mengajar dan mendidik mahasiswa bukan untuk
ngobyek atau mementingkan urusan pribadi. Mereka telah disumpah dan mengemban
amanat untuk mencerdaskan bangsa sehingga secara otomatis telah mengabdikan
dirinya untuk Negara. Bagaimana para Tentara (Prajurit) yang mengabdikan dirinya
demi Negara dan mempertaruhkan nyawa untuk berperang mau meninggalkan
keluarganya. Dalam Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer telah
digambarkan sosok guru yang mengayuh sepeda kiloan meter dalam keadaan sakit
demi menjalankan kewajibannya.
Disamping itu mayoritas dosen sangat mendewakan atau
mengkhultuskan teori – teori. Akibatnya mahasiswa yang tidak setuju teori
tersebut dianggap sebagai “pembangkang” yang perlu mendapatkan nilai jelek.
Mereka tidak mau dibantah atau pun disalahkan sehingga siapa yang menyalahkan
perlu mendapatkan nilai yang buruk. Sifat arogan ini sangat tidak rasional atau
malah menunjukkan ketidak dewasaan seorang guru sebagai pendidik. Seorang dosen
yang memiliki jiwa akademis pada dasarnya tidak takut untuk dikritik atau
menerima sebuah kritik. Banyaknya pengalaman yang telah dienyam serta rasa
cepat puas membuat mental dosen egois serta merasa paling benar. Kita tahu
bahwa ilmu pengetahuan ini tidak ada yang selamanya benar. Tetapi mengapa para
pengajar kita ini malah seolah mencoba menutup kekritisan mahasiswa bukan
menuntunnya? Mereka malah membodoh – bodohkan mahasiswa. Perlu diingat juga
bahwa tidak ada orang yang bodoh tetapi kecepatan tingkat pemahaman yang
berbeda.
Makna Kata Guru
Dosen sama halnya guru yang bertugas mengajar dan
mendidik. Guru sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pengajar,
pendidik, atau pengasuh. Dalam masyarakat Jawa guru memiliki makna digugu lan
ditiru yang menjadi konsep ideal guru bagi masyarakat jawa. Sebenarnya dari
kedua konsep diatas sama yaitu bahwa guru merupakan seorang yang dapat
dijadikan tauladan karena memiliki sifat – sifat mendidik. Oleh sebab itu guru
dianggap memiliki posisi terhormat dikalangan masyarakat. Di Jepang pun guru
memeliki panggilan Sensei yang punya strata tinggi dan amat dihormati.
Dari sinilah kita paham bahwa ternyata tidak hanya
mengajarkan materi – materi kuliah atau membacakan materi di secarik kertas
tetapi juga mampu memberikan contoh dalam bersikap dan memberikan nilai – nilai
kemanusiaan kepada anak didiknya. Tetapi yang terjadi adalah reduksi peran
pendidik yang kita lihat dan alami sendiri. Guru dan murid hanya sebatas
hubungan di kelas. Guru mengajar murid wajib mendengarkan. Idealnya guru
sebagai pamong yang berada di belakang murid untuk mendorong serta memberikan
kesempatan muridnya berjalan sendiri guna bersama – sama membangun pengetahuan.
Ironisnya yang kita temui adalah pendidikan gaya bank menurut Paulo Freire.
Mungkin mereka perlu membuka kembali tiga asas – asas pokok pendidikan yaitu
TUT WURI HANDAYANI, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam
belajar.
Oleh : Irfa Ronaboyd
10/12/2009
Comments