“Suatu kali pena pengabdian pada bangsa Indonesia pun bisa tumpul karena ulah pemilik kepentingan yang politis,”
Mohammad Imam Junaidi |
Memajang muka, dahulu rimba
dihutan penuh Singa. Seperti rimba yang mendongak sejatinya singa yang berhati
Rubah nan serakah. Itu dahulu, sebelum era reformasi. Rimba yang gersang dan
gampang gamang karena wewenang Singa dan sekutu pemilik kekuasaan di tengah
hutan sana. Sesak dan sesat, pekat penuh wasiat masa depan hutan itu.
Dahulu, jika seorang manusia terjebak masuk di hutan itu lalu jika ia ingin
keluar maka ia harus melewati hutan itu, haruslah melewati 7 kesedihan, 7 kegetiran,
7 kebisuan, 7 kegamangan dan 7 tangis selama 32 tahun. Itu manusia !
Dahulu, banyak juga manusia yang tinggalkan tulang
belulang karena tak mampu melewatinya. Sisakan pena-pena yang sempat melintang
dengan terjang meruang hingga akhir 1999. Itu dahulu, pemilik perjuangan
peringkus Singa dengan jaring tinta.
Meregang lupa ingat yang berjat. Pena adalah
pengabdian pada masa depan hutan belantara dan rimba adalah manusia yang
terjalin saudara dengan pena. Keduanya bagai tombak kecil namun tajam sebagai
wakil tuk memburu Singa itu.
Tersisa kini, anak-anak Singa yang sudah berubah ubah
wajah penuh jubah.
Pena Dimasa Anak-Anak Singa
Anak-anak singa sudah menjadi sebuah era yang dipenuhi
duri dan cawan dengan alih kekuasaan dan kehormatan berdasi, berkekuatan
jama’ah yang dinaunginya. Anak-anak Singa itu melampaui kehebatan sang ayah.
Pelan namun pasti. Lemah beralih wajah disanalah pena itu berada.
Inilah era dimana reformasi dipenuhi nada-nada nuansa irama. Kepentingan
dengan wajah kolonialis makin minimalis serta pragmatis. Era itu dipenuhi
anak-anak Singa yang menduduki dunia wakil pemerintah (bukan wakil pribumi
seutuhnya), meraka juga masuk pada jalur kuasa Pendidikan, Penegak Hukum atau
mata-mata liri yang berjalan dengan
era pembenaran serta harap tiada keterbukaan pemikiran.
Tumpulah pena itu…
Suratku : Lembaga Pers
Mahasiswa
Saudaraku, dahulu kita berani menyoal kesejahteraan
sosial, aspirasi kemanusiaan, perlawanan sejarah dan membuat sejarah. Tetapi
kini tikam badai seribu jalanan telah datang, kekuasaan pemerintah dan
pendidikan telah dialibikan, tak sedikit yang berhujah, “Kalian cukuplah belajar saja…jangan sok-sok an !”
Pers Mahasiswa dihujam kebebasanya, ditusuk rusuknya.
Tak ada perlindungan kuasa, berpena adalah janji birokrasi pendidikan yang
berbuah kebiri hubungan pertemanan dan masa depan pendidikanya dipelataran
kampus harapan. Lalu Rektor acuh, Dekan memburu nama baik, publik tak berdalih,
aparat menjerat tulisan rakyat. Semua mendesis kritik, kadang kejam kadang
merusak tatanan pikiran. Tak ada solusi diberi. Tekan menekan. Bila perlu tumbangkan
masa depannya yang mengusik kampus yang sedang adu gengsi perbaikan dan
kebaikan. Hingga akhirnya masa depan pers mahasiswa tak secerah masa
kejayaanya. Kini sedikit opini
dan berita yang kritis dikira tak etis.
Lalu bagaimana mereka berani menyoal kebenaran dan profesionalisme untuk
kemanusiaan bangsa ini. Sedang yang skala kecil saja tiada tangan dan kekuatan.
Sedikit berita kritis saja menuai intervensi yang lumpuhkan keberanian. Sedang
pendahulu mereka telah lepaskan tangan perjuangan. Nyaman di kursi
persembunyian. Tumbanglah masa depan pers mahasiswa. Lalu ilmu bredelisasi
berjalan manyoncong dan menyincang penerus pembela masa depan kemanusiaan.
Suratku : Untuk Yang Tak wajar
Hukum berjalan melindungi yang punya wewenang. Pers
mahasiswa tempat pembelajaran bukan seperti pers umum dijalanan. Belajar itu
harus dengan ketaatan pada sang guru bukan mengumbar aib pemberi ajaran.
Menulis tak boleh asal-asalan, mencemarkan nama baik itu merugikan.
Susah membangun nama dan menarik peminat dunia perguruan.
Korbankan pers mahasiswa mungkin bukan soal. Yang penting nama kampus makin
mendesis. Keringat dan do’a menggelontor melebihi nasib kader penerus pers
mahasiswa. “Kisah pilu tinggal bahagia jangan kau jelek-jelekan,” kata jama’ah
kampus.
Tak ada kata publik. Kini, ku tahu ego redaksi dan ego
wartawan banyak berjalan diduniamu. Sedikit benci dan sensi terkadang. Rumit
lagi kudengar organisasi itu telah jadi sarang politisi ditingkat bawahan.
Lupa-lupa ingat, ada pula yang ikut pers mahasiswa demi menyalurkan hobi memburu
gadis berpantat ketat.
Kalian…! Hilang waktu membaca berjalan tak wajar.
Tidur dan ngomel diwarung perkopian
jadi kebiasaan. Sepi wawasan, seperti dangkal tanpa ada dasar. Ngomong pun
ngawur penuh keberpihakan. Seperti berpena tak ada indepedensi sama sekali.
Suratku Gila
Ku damba pers mahasiswa dibina demi membela bangsa.
Menyalah yang salah meski itu guru sendiri, (tak apalah...)
Ku damba kampus dan pemerintah beri
naungan sebelum sanksi yang
berjalan tiada keadilan.
Ku damba tanpa ada kepentingan kekuasaan. Kampus adalah pencetak generasi berbudi tanpa hobi
intervensi-intimidasi.
Ku damba pers mahasiswa seperti penuh karya dan wacana berbicara nasib
bangsa.
Ku damba kampus ajarkan kesadaran jurnalistik pada semua pada diskusi diruang
terbuka.
Dan ku damba pers mahasiswa tak ditusuk dengan kepentingan agama, budaya,
suku, etika (kedaerahan), aturan instansi dan politik pemilik kuasa.
Pacitan, 2 November 2015