Sinar Pena Mahasiswa

Suatu kali pena pengabdian pada bangsa Indonesia pun bisa tumpul karena ulah pemilik kepentingan yang politis,”
https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/p720x720/11885326_1013032692061642_4984564373668729362_n.jpg?oh=7eb9a434846729c4d92ca5e01dcb5912&oe=56CED602
Mohammad Imam Junaidi
Rimba dan Singa

Memajang muka, dahulu rimba dihutan penuh Singa. Seperti rimba yang mendongak sejatinya singa yang berhati Rubah nan serakah. Itu dahulu, sebelum era reformasi. Rimba yang gersang dan gampang gamang karena wewenang Singa dan sekutu pemilik kekuasaan di tengah hutan sana. Sesak dan sesat, pekat penuh wasiat masa depan hutan itu.
 
Dahulu, jika seorang manusia terjebak masuk di hutan itu lalu jika ia ingin keluar maka ia harus melewati hutan itu, haruslah melewati 7 kesedihan, 7 kegetiran, 7 kebisuan, 7 kegamangan dan 7 tangis selama 32 tahun. Itu manusia ! 
 
Dahulu, banyak juga manusia yang tinggalkan tulang belulang karena tak mampu melewatinya. Sisakan pena-pena yang sempat melintang dengan terjang meruang hingga akhir 1999. Itu dahulu, pemilik perjuangan peringkus Singa dengan jaring tinta.
 
Meregang lupa ingat yang berjat. Pena adalah pengabdian pada masa depan hutan belantara dan rimba adalah manusia yang terjalin saudara dengan pena. Keduanya bagai tombak kecil namun tajam sebagai wakil tuk memburu Singa itu. 
 
Tersisa kini, anak-anak Singa yang sudah berubah ubah wajah penuh jubah.
 
Pena Dimasa Anak-Anak Singa
 
Anak-anak singa sudah menjadi sebuah era yang dipenuhi duri dan cawan dengan alih kekuasaan dan kehormatan berdasi, berkekuatan jama’ah yang dinaunginya. Anak-anak Singa itu melampaui kehebatan sang ayah. Pelan namun pasti. Lemah beralih wajah disanalah pena itu berada.
 
Inilah era dimana reformasi dipenuhi nada-nada nuansa irama. Kepentingan dengan wajah kolonialis makin minimalis serta pragmatis. Era itu dipenuhi anak-anak Singa yang menduduki dunia wakil pemerintah (bukan wakil pribumi seutuhnya), meraka juga masuk pada jalur kuasa Pendidikan, Penegak Hukum atau mata-mata liri yang berjalan dengan era pembenaran serta harap tiada keterbukaan pemikiran.
 
Tumpulah pena itu…
                                              
Suratku : Lembaga Pers Mahasiswa
 
Saudaraku, dahulu kita berani menyoal kesejahteraan sosial, aspirasi kemanusiaan, perlawanan sejarah dan membuat sejarah. Tetapi kini tikam badai seribu jalanan telah datang, kekuasaan pemerintah dan pendidikan telah dialibikan, tak sedikit yang berhujah, “Kalian cukuplah belajar saja…jangan sok-sok an !”
 
Pers Mahasiswa dihujam kebebasanya, ditusuk rusuknya. Tak ada perlindungan kuasa, berpena adalah janji birokrasi pendidikan yang berbuah kebiri hubungan pertemanan dan masa depan pendidikanya dipelataran kampus harapan. Lalu Rektor acuh, Dekan memburu nama baik, publik tak berdalih, aparat menjerat tulisan rakyat. Semua mendesis kritik, kadang kejam kadang merusak tatanan pikiran. Tak ada solusi diberi. Tekan menekan. Bila perlu tumbangkan masa depannya yang mengusik kampus yang sedang adu gengsi perbaikan dan kebaikan. Hingga akhirnya masa depan pers mahasiswa tak secerah masa kejayaanya. Kini sedikit opini dan berita yang kritis dikira tak etis.
 
Lalu bagaimana mereka berani menyoal kebenaran dan profesionalisme untuk kemanusiaan bangsa ini. Sedang yang skala kecil saja tiada tangan dan kekuatan. Sedikit berita kritis saja menuai intervensi yang lumpuhkan keberanian. Sedang pendahulu mereka telah lepaskan tangan perjuangan. Nyaman di kursi persembunyian. Tumbanglah masa depan pers mahasiswa. Lalu ilmu bredelisasi berjalan manyoncong dan menyincang penerus pembela masa depan kemanusiaan.
 
Suratku : Untuk Yang Tak wajar
 
Hukum berjalan melindungi yang punya wewenang. Pers mahasiswa tempat pembelajaran bukan seperti pers umum dijalanan. Belajar itu harus dengan ketaatan pada sang guru bukan mengumbar aib pemberi ajaran. Menulis tak boleh asal-asalan, mencemarkan nama baik itu merugikan.
 
Susah membangun nama dan menarik peminat dunia perguruan. Korbankan pers mahasiswa mungkin bukan soal. Yang penting nama kampus makin mendesis. Keringat dan do’a menggelontor melebihi nasib kader penerus pers mahasiswa. “Kisah pilu tinggal bahagia jangan kau jelek-jelekan,” kata jama’ah kampus.
 
Tak ada kata publik. Kini, ku tahu ego redaksi dan ego wartawan banyak berjalan diduniamu. Sedikit benci dan sensi terkadang. Rumit lagi kudengar organisasi itu telah jadi sarang politisi ditingkat bawahan. Lupa-lupa ingat, ada pula yang ikut pers mahasiswa demi menyalurkan hobi memburu gadis berpantat ketat.
 
Kalian…! Hilang waktu membaca berjalan tak wajar. Tidur dan ngomel diwarung perkopian jadi kebiasaan. Sepi wawasan, seperti dangkal tanpa ada dasar. Ngomong pun ngawur penuh keberpihakan. Seperti berpena tak ada indepedensi sama sekali.
 
Suratku Gila
 
Ku damba pers mahasiswa dibina demi membela bangsa. Menyalah yang salah meski itu guru sendiri, (tak apalah...)
 
Ku damba kampus dan pemerintah beri naungan sebelum sanksi yang berjalan tiada keadilan.
 
Ku damba tanpa ada kepentingan kekuasaan. Kampus adalah pencetak generasi berbudi tanpa hobi intervensi-intimidasi.
 
Ku damba pers mahasiswa seperti penuh karya dan wacana berbicara nasib bangsa.
 
Ku damba kampus ajarkan kesadaran jurnalistik pada semua pada diskusi diruang terbuka.
 
Dan ku damba pers mahasiswa tak ditusuk dengan kepentingan agama, budaya, suku, etika (kedaerahan), aturan instansi dan politik pemilik kuasa.

Pacitan, 2 November 2015