Irfa Ronaboyd Muhadiharja |
Mungkin
tidak hanya Saya yang sering menjumpai pertengkaran antar tetangga disebabkan
oleh hal-hal sepele, namun sangat mengganggu seperti asap dari pembakaran sampah
yang memasuki rumah-rumah tetangga. Pertengkaran itu berawal dari saling
sindir, kemudian berubah menjadi adu mulut meskipun jarang berakhir dalam adu
fisik. Apabila di desa nampaknya masih bisa saling memaklumi karena belum ada
pengelolaan sampah yang terorganisir dengan baik. Pada suatu perumahan yang
padat penduduk, entah itu perumahan elit maupun kumuh, jika terjadi pembakaran
sampah pasti menimbulkan konflik.
Beberapa
bulan terakhir tetangga kita, Malaysia dan Singapura, banyak menyindir di media
sosial dengan #TerimaKasihIndonesia untuk menyambut datangnya kabut asap yang
rutin datang beberapa tahun terakhir. Kabut asap tidak hanya memunculkan
gerakan viral dari luar negeri, di Indonesia pun muncul bermacam-macam bentuk
protes terhadap pemerintah serta perusahaan pembakar hutan. Simpati kepada para
korban kabut asap juga sama besarnya, bahkan secara khusus harian Republika
edisi 8 Oktober 2015 halaman depannya tertutup oleh asap sehingga sangat sulit
dibaca. Saya memang belum begitu merasakan suasana dari kabut asap di Sumatra
dan Kalimantan, tetapi saya membayangkan wilayah tersebut lebih parah dari
Florian Triangle dalam dunia One Piece yang tertutup kabut tebal sehingga
menghalangi sinar matahari masuk. Saya katakan lebih parah karena efek dari kabut
asap di sana menyebabkan gangguan pernapasan yang berpotensi menimbulkan
penyakit bahkan kematian.
Ada
dua subjek yang harus bertanggungjawab dalam kasus kabut asap di Sumatra dan
Kalimantan, yaitu negara dan korporasi. Korporasi/perusahaan sebagai pelaku
utama sangat jelas memiliki tanggungjawab terhadap kerusakan serta dampaknya.
Pada perspektif hukum internasional sedikit berbeda karena negara memiliki
yurisdiksi untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya dan Indonesia telah lalai
dalam mengatur dan mengontrol berbagai kegiatan di wilayahnya sehingga
menimbulkan kerugian pada negara tetangga. Konsep awal pertanggungjawaban
negara hanya berfungsi secara internal, namun kemudian berkembang secara
eksternal. Apalagi pemahaman masyarakat internasional terhadap lingkungan hidup
sebagai satu kesatuan internasional (wholeness)
karena kerusakan yang terjadi berdampak pada lingkungan global. Pasal 21
Deklarasi Stockholm 1972 memuat pertanggungjawaban negara terkait lingkungan
hidup.
Sejatinya
sejak tahun 2002 negara-negara ASEAN telah menyapakati The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (selanjutnya AATHP), namun baru tahun 2014
Indonesia meratifikasinya. Wacana yang muncul menyebutkan bahwa ratifikasi
tidak menyelesaikan permasalahan kabut asap dan ratifikasi memberikan peluang
negara lain terlibat dalam pemadaman sehingga dapat mengganggu kedaulatan. Tetapi
setidaknya dengan ratifikasi, negara-negara ASEAN tidak dapat menuntut ganti
rugi kepada Indonesia karena hal tersebut merupakan tanggungjawab bersama
negara-negara ASEAN. Alokasi dana ganti rugi bisa dipergunakan untuk membantu
para korban kabut asap di dalam negeri yang lebih menderita. Hal ini juga disadari oleh negara-negara ASEAN
karena pelaku pembakaran merupakan Perusahaan dengan Penanaman Modal Asing
(baca Perusahaan Asing) berasal dari beberapa negara anggota ASEAN.
Sebagai
lulusan Fakultas Hukum yang tidak terkena dampak kabut asap, saya bisa saja
memberikan jawaban klise tentang penguatan penegakan hukum nasional tentang lingkungan
hidup, pemberian sanksi yang berat bagi pelaku dan bla bla bla... Dan kembali
pada perumpamaan hubungan antar tetangga di suatu perumahaan yang padat
penduduk, apa yang anda lakukan jika tetangga anda (entah itu oleh kepala
keluarga atau salah satu anggota keluarga tetangga) membakar sampah yang
kemudian dibiarkan atau tidak mampu mereka padamkan? Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana kejadian itu agar tidak terulang kembali? Banyak opsi jalan keluar,
namun opsi saja tidak cukup karena butuh penanganan cepat dan khusus.