“Bagi perempuan-perempuan kampung, hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyasikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya, seperti yang mereka alami sehari-hari”
Sebuah dukuh tempat Srintil tinggal. Dibalik kemiskinan penduduknya, perkampungan yang diisi tidak lebih dari empat puluh rumah ini menyimpang daya tari hasrat laki-laki dari penjuru mata angin untuk datang. Anak-anak dengan riang bermain-main dengan riang meskipun berada wahana kelaparan dan berada ditempat terpencil jauh dari kemewahan pada tahun 1960 kala itu.
Sebenarnya buku ini adalah sebuah buku. Yakni sebuah penyatuan kisah dari tiga buku yang berbeda dan menjadi sebuah rentetan kisah. Saya pun kagum dengan penggambaran Ahmad Tohari tentang kisah Srintil sebagai ronggeng dengan latar tempat digambarkan dengan melihat keadaan alamnya yang terasa begitu nyata. Jarang kita temui ketika penulis begitu menonjolkan dengan jelas gambaran suasana sehingga pembacapun bisa berkayal lepas dan tentang apa yang terjadi dalam kisah ini.
Srintil yang membuktikan dirinya sebagai ronggeng. Kalau direfleksikan di kehidupan saat ini mestilah Srintil adalah tokoh idola yang digandrungi oleh semua orang. Mulai dari kaum adam sampai ibu-ibu pun sangat mengidolakan Srintil si Ronggeng. Namun heran saja ronggeng yang disini sebagai sebuah budaya turun temurun dari leluhur dukuh paruk Ki Secamenggala adalah budaya seni sekaligus tradisi prostitusi. Laki-laki perkasa yang memiliki harta berlimpah bisa dengan bebas meniduri ronggeng ini. Lantas tidak salah bilamana prostitusi ini adalah budaya pewarisan leluhur yang masih ada sampai saat ini. Prosesi menuju ronggeng seutuhnya juga harus dengan ritual bukak klambu. Sebuah tradisi untuk memprawani ronggeng baru. Tidak asal yang bisa mengikuti ritual bukak klambu ini. Hanya laki-laki berlimpah harta yang mapu saja menikmati keprawanan Srintil. Aneh saja. Sebuah budaya prostitusi yang dibudayakan dan diagungkan.
Namun hegemoni dari Ronggeng dan kisah erotis Srintil menghadirkan pilu. Ronggeng mengakhiri dirinya sebagai ronggeng ketika ia hamil. Namun kecerdasan dukuh paruk kala itu mengatur siasat perkara tersebut. Dukun ronggeng memijat semacam saraf di rahim untuk mematikan jaringan reproduksi srintil agar srintil tidak akan bisa hamil. Ini terjadi oleh semua ronggeng.
Kisahnya bukan hanya hal yang erotis namun kisah cintanya dengan rasus menggambarkan kesetianya. Srintil berbeda dengan ronggeng lainya. Ia ingin bisa seperti orang pada umunya memiliki anak dan keluarga yang bahagia. Namun posisinya sebagai ronggeng membuatnya sulit untuk mewujudkan hal tersebut.
Menjelang usia duapuluh tahun Srintil mulai teguh dan berbangga diri telah menjadi ronggeng dengan jiwa ronggeng sejati. Dia bermartabat, berbeda dengan penduduk dukuh paruk yang lapar, kotor pada umumnya. Hal ini wajar saja mejadi seorang ronggeng tentulah banyak menerima tamu dari kalangan atas. Bisa makan nasi beras yang pada jaman itu penduduk dukuh paruk hanya bisa makan nasi gaplek. Seperti emas ditengah-tengah lumpur, itulah Srintil. Hal yang tidak dimengertinya adalah kekalutan politik di era 1965 yang menjadikan dirinya alat propaganda.
Srintil yang cantik, dan masih belia harus mendengkam selama dua tahun dibalik jeruji penjara. Entah apa salahnya ia sama sekali tidak mengerti apa kesalahanya. Diluar srintil hanya perempuan asing yang tidak tahu dengan kehidupan luar.
Bingar Bimantara, Ilmu Hukum 2017
Comments