Catatan Juang





Penulis           : Fiersa Besari
Penerbit         : Mediakita
Tebal              : vi + 306 halaman
ISBN              : 978-979-794-549-7

“Dan satu wajah itu muncul di malamku, diam di sela-sela berlian yang bertaburan di lautan angkasa. Dari kejauhan dapat kulihat ia tersenyum, mengatakan bahwa ia akan selalu menungguku pulang untuk mengecup keningnya. Membuatku sadar: cintanya yang seluas samudra telah menuntunku pada ujung pengasingan – Lelaki Jingga.”

            Keinginan Fiersa Besari atau “Bung” untuk menjerumuskan diri lebih jauh didunia literasi tercetus saat di Pulau Buru, setelah mengunjungi Masohi. Kemudian, bertemu seseorang yang memberikan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Yang pada akhirnya, membuat Bung jatuh cinta pada dunia tulis-menulis. Inilah realisme sosial yang sengaja diselipkan.

            Mungkin ini adalah salah satu cara terbaik untuk menyimpan dan mencatat masa lalu serta merencanakan masa depan, yaitu dengan buku harian. Buku “Catatan Juang” merupakan spin off book atau cerita sempalan dari buku “Konspirasi Alam Semesta” yang dapat dinikmati secara terpisah.

             Goresan tinta seorang pria bernama Juang, membuka cakrawala pengetahuan bagi Kasuarina, yang berarti pohon cemara. Catatan yang tak sengaja ditemukan Suar didalam angkutan umum ketika ia hendak pulang ke tempat tinggalnya. Kasuarina atau yang akrab disapa Suar adalah seorang wanita cantik dan cerdas yang memiliki impian menjadi sineas tanah air. Sayangnya, realitas membuatnya terjebak dalam rutinitas sebagai marketing asuransi pada sebuah bank. Suatu pekerjaan untuk menyambung hidup dan membiayai keperluan keluarganya, meskipun tidak pernah diminta oleh orang tuanya. Keadaan tersebut dikarenakan ayahnya divonis terserang stroke ringan. Hal inilah yang membuat Suar mengadu nasibnya.

 “Sepertinya aku terlalu sibuk untuk membahagiakan diriku sendiri. Lantas kapan aku akan membuktikan rasa sayangku padamu? Saat engkau sudah terlalu tua? Saat engkau sudah sakit-sakitan? Bagaimana jika aku terlambat?,”

            Sebuah tamparan bagi generasi muda saat ini, terutamanya untuk diriku sendiri. Mungkinkah kita hanya menjadi seorang pendosa, sedangkan orang tua menjadi pendoa? Semoga tidak. Kalimat magis ini membuat hati beberapa orang bertanya-tanya memikirkan apa yang sudah diperbuatnya selama ini.

            Memang benar, hidup ini bukan melulu soal jabatan, tetapi tentang bagaimana tentang cara kita menunjukkan pada dunia, bahwa di semesta raya ini masih tersimpan banyak hal-hal tersembunyi yang memang perlu diketahui. Melalui catatan yang ditemukannya, Suar mulai mencoba keluar dari zona nyaman.

            Awalnya, Suar membaca catatan itu dengan niatan untuk mencari identitas dan alamat sang pemilik buku. Namun ia hanya menemukan kalimat  “tertanda Juang” saja. Sempat kebingungan, hingga Suar mencari nama tersebut dilaman media sosial, namun hasilnya nihil. Lewat tulisan-tulisan juang yang terhimpun dalam catatan usang dengan sampul berwarna merah. Suar seperti menemukan sebuah refleksi dan sensasi. Sebuah kemiripan permasalahan yang harus disikapi dengan bijak. Layaknya bimbingan untuk menentukan keputusan.

“Dan bukankah harta yang paling tak ternilai adalah persahabatan? Ketika seseorang yang tak kukenal membaca tulisanku, lalu merasakan apa yang aku sampaikan, aka telah bersahabat dengannya.” (hal.29)

            Nampaknya, konspirasi alam semesta mulai bermain disini. Suar mempertimbangkan kembali keinginan yang sudah dipendam dari dulu untuk menjadi sineas, ambisinya mulai membara kembali. Akhirnya dengan berbagai resiko yang ia tanggung, Suar memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya untuk menggapai impiannya. Ditemani kedua sahabatnya Eli dan Fajar, mereka mulai merencanakan untuk membuat film dokumenter tentang pembangunan pabrik semen di daerah Gunung Karst yang menggangu ekosistem. Bukan sesuatu hal yang mudah, sebab ini menyangkut kegelisahan masyarakat dan kehidupan orang banyak serta  berpengaruh terhadap pemikiran publik. Selain itu, keindahan alam di Desa Utara tersebut mulai terkikis oleh keperluan kapitalis.

            Proyek film kecil yang digarapnya juga mempertemukan Suar dengan Dude, seorang aktivis organisasi lingkungan hidup, pegiat seni, lelaki keturuan Batak yang mencoba keberuntungannya dengan membuka usaha kedai kopi. Bermula dari wawancaranya dengan Dude, kejadian-kejadian manispun mulai tak terduga. Disini Suar akan segera mengetahui cara untuk mengembalikan catatan itu kepada pemiliknya. Lalu, apa hubungan dengan Dude? Ternyata tidak lain Dude adalah sahabat karib dari Juang. Lalu apakah Suar berhasil mengembalikan catatan itu kepada pemiliknya? Entahlah.

            Hasil dari film dokumenter tersebut diberi nama “Ekonomi Merusak Ekosistem”. Mereka melombakan karyanya ke event Festival Film Pendek dan mengunggahnya ke media sosial hingga menuai komentar negatif maupun positif. Terkadang, dunia maya menjelma sebagai tempat yang sangat kejam. Padahal, seharusnya semakin dewasa usia seseorang maka semakin dewasa pula pola pemikiranya dalam menilai sesuatu. Ya, beginilah kehidupan.

            Seperti obat kuat bagi Suar, catatan Juang selalu memberikan inspirasi tersendiri ketika Suar selesai membacanya. Biarpun Suar sendiri tidak pernah bertemu dengan si penulis. Selanjutnya petualangan baru dan besar telah menanti Kasuarina.

          Bagaimana mungkin sebuah catatan bisa menuntun seseorang seperti sedia kala itu? Sekuat itukah sebuah catatan mengubah hidup orang lain? Aku rasa begitu. Semoga semangat Suar membuat pembaca ikut terkontaminasi.

            Untuk kekurangan pada novel ini adalah ketika kalian belum membaca novel sebelumnya yaitu Konspirasi Alam Semesta, maka pembaca akan dibuat bingung dengan tokoh yang muncul pada novel ini. Lebih dari itu, ada pesan humanisme, sosial, politik, keluarga, impian, lingkungan, hingga isu anak muda yang ditambahkannya dalam buku ini. Buku ini terlihat lebih fokus pada sebuah catatan berwarna merah milik Juang Astrajingga.

Dan untukmu yang baru saja akan mulai menulis, selalu ingat ini: menulis adalah terapi. Dan kita tidak perlu melakukannya agar terlihat keren dihadapan orang lain, atau berekspektasi punya buku yang diterbitkan penerbit besar. Menulis adalah sebuah kebutuhan agar otak kita tidak dipenuhi oleh fese pemikiran. Maka, menulislah. Entah itu di buku tulis, daun lontar, prasasti, atau bahkan media sosial, menulislah terus tanpa peduli karyamu akan dihargai oleh siapa dan senilai berapa. Menulislah meski orang-orang mengejekmu. Menulislah agar kelak saat kau meninggal, anak-cucumu tahu bahwa suatu ketika engkau pernah ada, pernah menjadi bagian dari sejarah,”
(hal. 198).

        Tak usah takut di bully, sebab pembenci adalah pengagum yang sedang menyamar dan kalian jauh lebih baik jika dibandingkan dengan spesies pembully. Semua akan menang pada waktunya. Ahh, terima kasih Bung! :)





Oleh: Lailiyatus Shofiyah

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post