Bentuk Transformers serta Polemik Panggungnya


“Pembenahan panggung fasilitas dan wujud Transformers tidak semudah membalikkan omong kosong pencipta dan pemberi kewenangan”

Begitu cepatnya perkembangan transportasi dari waktu ke waktu.  Di zaman kerajaan dan penjajahan banyak ditemukan bekas jalanan berhias cap tapal kaki kuda atau sapi dengan lajur ban tipis. Yang awalnya bergerobak kayu dengan ditarik tenaga kawan dekat manusia. Katanya, saat naik andong atau dokar, terasa sekali goncangan jalanan tanpa aspal dulu, yang ada hanya tanah dan batu, belum ditambah hujan yang menguyur tanda semalam. Becek dan penuh lumpur jelasnya. Lantas apa bedanya jalanan dengan pematang sawah? Yang membuat beda hanya lebarnya. Alhasil rasa lelah didapat para hewan bertenaga super itu, sedangkan sang manusia lelah menunggu perjalanan yang memakan waktu sangat lama, jenuh dan bosan katanya.

Seiring dengan bergantinya periode zaman, sejarah pekembangan manusia selalu mengalami perubahan, untuk selalu dituntut dalam bertahan hidup.  Alat angkutan yang awalnya dimanfaatkan manusia hanyalah alas kaki disertai tenaga binatang bergaya turbo. Sejalan dengan laju roda perkembangan teknologi, beragam angkutan masal maupun pribadi diciptakan dalam suatu paten, dimulai dari perbaikan transportasi darat, air maupun udara semua terjamah bebas. Pembentangan jalan raya Anyer sampai Panarukan menjadi awal tongak perwujudan panggung transformers berawal. Orde baru menjadikan perwujudan angutan sebagai program pembangunan utama, yang menimbulkan polemik. Era refomasi digunakan dalam rangka pengoptimalan dan perbaikan kerancuan yang ditimbulkan dari zaman terdahulunya. Sedangakan periode zaman modern ini, yang katanya demokrasi, banyak yang hanya bisa mencari cacatnya tanpa berkeinginan merubahnya. Perdebatan tanpa ujung dan solusi yang lama terealisasi.

Beberapa puluh tahun berlalu banyak perubahan terjadi dalam hal mode transportasi masal maupun pribadi. Dari sepeda angin yang dikayuh, muncullah kendaraan roda dua, motor. Kemudian, becak yang awalnya digenjot oleh kaki manusia mendapat bantuan dari motor bekas yang dimodif menjadi bentor, ada bajaj yang hanya muat 2 orang penumpang sekarang ada angkot atau bus yang memiliki kapasitas jauh dari bajaj. Jika bus tidak dianggap transportasi cepat, maka ada kereta api yang hanya membutuhkan bahan bakar batu bara bahkan listrik. Dirasa kapal laut terlalu lamban dalam mengarungi lautan untuk sampai ke pulau seberang, kini ada pesawat terbang yang bisa memangkas waktu perjalanan ditambah dengan berbagai fasilitas seperti hotel didalamnya. Apalagi yang kurang? Apakah pintu kemana saja milik Doraemon yang kurang?

Di zaman serba modern ini banyak keluhan mulai dari banyaknya kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalanan beraspal mulus. Dari suara bising kenalpot brong, asap yang berwarna abu- abu hingga kehitaman pun ada yang keluar dari anus kendaraan. Yang ramah lingkungan dan baik buat kesehatan seperti sepeda ditinggalkan, yang cepat dan penuh polusi dipakai bahkan dicari melalui aplikasi smartphone. Begitukah kecepatan perubahan zaman? Apakah pertumbuhan kendaraan tidak diimbangi dengan pertumbuhan panggungnya.

Namun tak usah khawatir, sekarang banyak pengembangan teknologi yang sudah dipatenkan, seperti halnya penggantian mesin kendaraan  yang berawal dari bahan bakar bbm kini menjadi tenaga yang bersumber dari aliran listrik. Sehingga polusi sedikit berkurang. Memang hanya sedikit sekali, tak sampai seperempatnya.

Dulu di Jakarta, marak akan banyaknya kendaraan roda 3. Disetiap lampu merah, pengkolan hingga depan gang ada bajaj. Transportasi yang mudah ditemukan namun penyumbang polusi pula. Kini ada yang namanya bus TransJakarta yang memiiki jalur tersendiri, lalu bagaimana dengan bus ekonomi lainnya, sudah ruang gerak mereka dibatasi sedangkan harus kejar setoran perharinya.

 “Pak ketegah pak, agak ketengah, tengah masih kosong,” teriak sang kenek bus ekonomi.
“Orang yang tengah sama yang depan aja sama penuhnya, masih disuruh ketengah, masih juga ada orang masuk ke dalam bus” gumam seorang penumpang.
“Cang cimen... Cang Cimen....” teriak pedagang asongan.
“Haus pak berdiri lama, ini ada air pak 5 ribuan kalau nggak ini tisu buat keringatnya” rayu sang pedagang. Dia lebih perhatian dari pada ibu atau pacar ternyata.

Apakah adil jika besaran membayar karcis bis itu sama antara yang dapat tempat duduk dengan yang bergelantungan menahan badan agar tak berguing kedepan, kebelakang dengan memegangi besi? Apakah adil yang duduk mendapat aroma tidak sedap ketika orang yang lain mengangkat tangan untuk memegangi besi diatasnya? Siapa yang salah? Kenek bus? Supir bus? Atau penumpangnya? Atau kurangnya jasa transportasi? Bukannya Indonesia salah satu penyumbang kendaraan paling banyak dipakai dijalan, sampai menyebabkan macet dan polusi dimana-mana? Lantas mengapa harus berdesakan?

Model transportasi laut sekarang sudah tidak seramai biasanya, karena mulai terganggu dengan munculnya pesawat maupun bangunan pengubung antar pulau. Contoh nyatanya saja muncul Jembatan Suramdu dan Jembatan Ampera. Kapal angkutan sudah jarang dipakai karena ada penghubung yang mempermudah pengendara pribadi sampai pulau seberang. 

Walaupun kapal barang atau muatan masih tetap dipakai, mengingat jumlah muatan yang sampai berton- ton tidak mungkin diangkut didalam pesawat terbang.

Timbullah permasalah baru, banyaknya kendaraan yang ada di jalanan tidak diimbangi dengan layanan publik, wujud yang paling ketara adalah kemacetan. Penyebabnya adalah jalanan sempit plus berlobang yang digenangi air pula. Jika salah satu pengendaranya emosi terkena cipratan jalanan yang najis bagaimana?

Kalau sudah seperti itu yang disalahkan siapa. Sang pengemudi sepeda atau mobil? Atau para pejabat yang seenaknya menguntit anggaran pembagunan jalan? Apakah kita yang salah karena telah memilih pejabat itu? belum ditambah lagi penyempitan jalan akibat setengah badan jalan digunakan untuk pedagang kaki lima atau sebagai lahan parkir.

Ngomong- ngomong soal lahan parkir nih, bagaimana dengan rambu-rambu jalanan yang katanya mengatur? S/P dicoret ialah Rambu dilarang stoplah/parkirlah/berhentilah dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul, apakah disetiap depan pusat pembelanjaan harus parkir didepannya? Tidakkah disediakan lahan parkir yang semestinya? Apakah yang bermain peluit itu hanya mengandalkan bahu jalan? Sang malaikat berseragam yang ketika kita datang parkir tidak ada wujudnya namun setelah kita mau cabut tiba-tiba nonggol didepan mata. Sudah bagaikan hantu penunggu parkiran bukan? Dengan meyodorkan satu tangan, dengan tangan yang satunya memegangi peluit.

Apakah pedagang kali lima tidak memikirkan nasib pejalan kaki, jika tempat catwalknya dijadikan lapak dagang. Apakah harus dibuatkan rambu D dicoret yang artinya dilarang dagang.

“Yok dibeli koranya” teriak asongan koran.
“Bu, dibeli baju anaknya, murah kok 100 ribu dapat 3” rayu pedagang lain.
“Pak bisa nggak jualannya di trotoar? Sampai mau ditabrak saya ini kalo lewat jalanan” umpat pejalan kaki yang sehat.
" Bu, sayang anak. Mainan buat anakanya" tawar sang pedagang lain

Apakah yang menabrak yang salah? Atau yang dagang? Jangan- jangan yang salah pejalan kakinya. Pemerintah melalui Satpol PPnya sekarang lagi gencar-gencarnya dalam penggusuran lapak dagang yang sembarangan.

Lantas bagaimana bisa wujud Transformers dapat enak melenggang di panggung jalanannya, jika pangunggnya saja masih disewa sana sini. Kenyataan yang mencuat, wujud Transformers sang pendukung pergerakan kehidupan tidak diimbangi dengan bentuk pelayanan penunjangnya.


Oleh: Erika Juliatin

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post