Terkait kesadaran akan kesehatan jiwa memang bukanlah perkara yang mudah untuk ditebak. Apalagi di negara kita ini, negara Indonesia yang notabene nya negara santuy di dunia, katanya. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas warga negara yang kerap disapa warga +62 itu terlalu menganggap ‘sepele’ jika berkaitan dengan masalah kejiwaan. Seolah-olah merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Lebih mementingkan obrolan-obrolan yang mengandung unsur provokatif atau dalam bahasa gaulnya menggibah sana-sini.
Bilamana dilihat dari segi teori konsep, manusia merupakan makhluk holistik yang tidak akan jauh dari lingkaran unsur fisik dan psikis. Dari sini sudah terlihat indahnya pemikiran warga +62 yang lebih condong memandang hanya dari unsur fisik saja. Bersikap acuh akan unsur psikis yang pada nyatanya sangat sensitif bagi setiap manusia. Hal tersebut menjadikan stigma buruk berkembang seiring berjalannya waktu dalam kehidupan bermasyarakat.
Stigma sendiri adalah pemikiran yang berasal dari ketidakterimaan logika dalam diri seseorang akan suatu hal yang dianggap menyimpang atau berlebihan yang ditujukan untuk orang lain. Hal itu dapat memicu kemunduran mental yang akan dihadapi seseorang. Bentuk penerimaan akan stigma berbagai macam, ada yang merasa biasa saja, ada juga yang merasa tertekan akibat pelabelan yang condong ke arah negatif, pun bisa melahirkan diskriminasi serta anti sosial hingga depresi yang berujung kematian.
Nah, akhir-akhir ini telah ramai bahwasanya Indonesia digemparkan terkait Virus Covid-19 atau Corona yang telah menjalar ke beberapa tubuh Warga Negara Indonesia (WNI). Bagaimana yang awalnya optimis tak akan terjangkit virus yang dianggap mematikan itu pada akhirnya tercerai-berai pula harapan warga +62. Sampai tulisan ini selesai, kabar yang diterima bahwa Pemerintah Pusat telah mengumumkan sebanyak 34 orang WNI positif akan Corona, 2 orang sembuh dan 1 meninggal. Seantero Indonesia langsung bergegas memberikan perlindungan diri dengan berbagai cara. Berusaha membentengi area pribadi agar tak tergerus arus virus yang menyerang kekebalan tubuh tersebut.
Seperti yang diketahui sebelumnya, virus Corona ini telah mewabahi penuh salah satu kota unik di Negeri Tirai Bambu yaitu Wuhan. Bahkan tidak hanya Wuhan saja, Virus Corona ini telah merambat ke berbagai negara di dunia. Kurang lebih 120 ribu jiwa telah dinyatakan positif Corona dari 113 negara. Beruntung terhitung 66 ribu orang telah dinyatakan sembuh akan keganasan Corona meskipun di samping itu telah memakan korban jiwa hampir 4 ribu orang. Dengan fakta itu maka tak bisa diributkan kembali mengenai apa alasan banyak orang melakukan perlindungan diri sebisa mungkin.
Fakta memilukan inilah yang membuat perkembangan stigma-stigma berlebihan menjulang tinggi. Bukan salah melakukan perlindungan sejak dini mungkin, akan tetapi bukan berarti lalu bertindak tidak sewajarnya terhadap orang lain. Hal yang sedang ramai di khalayak umum baik media massa maupun di sosial secara langsung ialah stigma buruk akan Corona. Corona sendiri identik dengan penyakit batuk dan flu. Padahal 2 penyakit yang sering menyerang tubuh seseorang secara bersamaan. Apalagi sekarang di Indonesia sedang mengalami musim penghujan yang di mana rentan sekali terjadi penurunan kekebalan tubuh terhadap diri seseorang.
Namun berbeda lagi pemikiran yang ada di benak warga +62 setelah Corona viral.
Yang apabila menemukan orang lain dalam keadaan batuk maupun flu langsung di cap positif Corona. Secara sadar atau tidak mereka-mereka yang melontarkan kalimat sederhana itu bersifat menghakimi seseorang tanpa adanya pembuktian secara konkrit. Bersyukur apabila orang yang merasa dihakimi atau korban memang acuh sedari awal akan penilaian dirinya oleh orang lain. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana jika korban ini suka mengambil hati terhadap penilaian orang lain akan dirinya. Lantas siapa yang akan bertanggung jawab akan pemikiran-pemikiran liar yang tumbuh pada diri si korban.
Stigma yang muncul itu akan menimbulkan berbagai asumsi yang memperluas ketakutan dan merendahkan seseorang baik yang telah dinyatakan positif Corona maupun yang hanya sedang mengidap sakit flu dan batuk biasa. Yang lebih buruk lagi ialah stigma akan berdampak pada diri seseorang yang cenderung menghindar akan pertolongan, pemeriksaan, pengujian, maupun karantina. Maka cocok sudah apa yang dikatakan oleh Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus bahwa “Stigma lebih berbahaya daripada virus Corona itu sendiri”.
Perlu diketahui juga, stigma bisa menjauhkan dari informasi yang dinilai benar adanya. Orang mungkin khawatir tentang Virus Corona tetapi ketakutan dikarenakan stigma itu dapat memperburuk situasi dengan mendorong orang yang memperlihatkan gejala-gejala yang mendeketi Corona untuk menghindari perawatan. Hal ini meningkatkan risiko penyebarannya lebih banyak. Di sini stigma tidak hanya salah namun dinilai sangat berbahaya. Maka tetap berhati-hatilah tanpa menghilangkan batas sebagai manusia yang sejatinya harus memanusiakan manusia.
Oleh: Nur Fitri Prihatiningsih