Senja perlahan menampakkan kegenitannya, menghadirkan nuansa indah dalam cerita Ramayana. Tatkala Sinta yang diperebutkan oleh dua orang ksatria, seorang yang gagah bernama Rama dan seorang raksasa perkasa bernama Rahwana. Mereka adalah dua raja dari kerajaan berbeda yang saling berlomba-lomba untuk mendapatkan hati seorang wanita bernama Sinta. Semua usaha mereka kerahkan, bahkan sampai beradu kekuatan untuk melihat siapa yang lebih kuat dan lebih pantas untuk bersanding bersama Sinta. Mungkin kalau bicara soal cinta mereka memang tak akan ada habisnya. Karena Kurasa itulah kisah cinta yang sangat melegenda, entah sejak kapan aku mengetahuinya, yang terpenting aku menyukainya.
Tak kusangka di sela-sela cerita Ramayana rindumu hadir bersama datangnya langit jingga. Bercerita manja tentang dua arca yang menjadi saksi kisah cinta segitiga antara Rama, Rahwana dan tentu saja Sinta. Burung camar yang terbang beriringan di atas kepala seolah memberitahuku untuk menyudahi cerita tentang Ramayana.
Aku pun terdiam melihat lukisan indah dari sang pencipta yang disampaikan oleh sekumpulan burung camar. Perlahan kamu menegurku “heee, kok diem?”. Tanyamu. “ehh Nggak, aku Cuma mikir aja, apakah seperti ini yang kamu inginkan? Berjalan beriringan denganku? Ku gandeng tangan kananmu dan kau menggandeng tangan kiriku” ucapku. Kita sama-sama berjalan melintasi jalan setapak yang dipenuh dengan arca lama peninggalan kerajaan Alengka, bukan hanya arca, pepohonan rindang pun ikut menghiasi perjalanan kita, di mana daun-daunnya yang mulai lelah dan sepertinya ingin pergi meninggalkan dahannya.
“Apa kau akan menjadi seperti dedaunan itu? Yang dengan seenaknya meninggalkan dahannya”. Kau bertanya padaku tentang arti kata meninggalkan. Bercermin dari dedaunan yang meninggalkan dahannya. Kau berbisik lirih di telingaku.
“Kamu jangan sampai meninggalkanku meski dahanku telah lapuk dimakan usia”. Kau merengek manja padaku, dengan tatapan mata yang penuh dengan ketakutan tatkala aku meninggalkanmu.
“Mana mungkin aku meninggalkan dahan yang telah melindungiku dari hembusan angin yang terus menerus datang menerpa” ucapku.
Aku tak akan meninggalkanmu, percayalah aku akan selalu berada di dekatmu. Entah bagaimana keadaanmu, entah dahanmu telah lapuk, patah, berlubang. Tapi aku berjanji akan selalu bersamamu.
“Bagaimana jika kita nanti jatuh bersama? Apakah kau tetap menemaniku?” Bisikan manjamu di telingaku.
“Tentu saja, mana mungkin aku meninggalkanmu. Kita ini satu, aku dan kamu.” Ucapku.
***
Kami kembali berjalan menyusuri jalan panjang yang sepi lalu kemudian berhenti dan beristirahat di bangku panjang yang berada di ujung jalan ini. Satu persatu lampu-lampu jalan mulai menyala, menandakan bahwa malam hari telah tiba. Matahari telah kembali ke peraduannya, digantikan dengan rembulan yang perlahan membubung tinggi ke singgasana. Ditemani gemerlapan bintang-bintang yang amat memanjakan mata.
Tak terasa keheningan malam mulai menyapa, menyajikan melodi sendu yang membuat hati dan pikiran menjadi tersipu. Aku melihat matamu sudah sayup-sayup menandakan akan kantuk yang sebentar lagi menyerangmu.
“kamu ngantuk ya, kelihatan tuh dari matamu yang sayup-sayup” tegurku sambil tertawa
“ihhhh.. nggak tau, aku tuh nggak ngantuk, ini hanya perih aja kena angin-angin nakal yang berhembus padaku” balasnya
“Hmmm... Alasan saja. Yaudah ayok pulang aja kalau gitu, ketiduran di sini malah aku yang repot” pintaku
“Nanti dulu ah, masih pengen di sini”. Jawabmu sambil senyum-senyum.
“Hmmmm dasar. Bilang aja kalo emang masih kangen, huuuuuuuu.” ucapku.
Kita pun melanjutkan perbincangan yang tidak berguna pastinya. Tapi tetap asyik untuk kita bicarakan, hal yang tidak mungkin dan mustahil pun turut serta dalam pembicaraan kita. Sampai pada hal dimana aku berandai-andai menjadi Rahwana atau Rama. Siapa saja lah kurasa mereka berdua sama saja. Dan tentu saja dengan dia yang menjelma Sinta dong.
Aku mulai membayangkan diriku memimpin kerajaan Alengka dengan tentara yang amat gagah. Wow aku berdiri di barisan paling depan dengan senjata andalanku. Bukan hanya sakti mandra guna, aku juga akan menjadi orang yang tidak bisa mati karena mempunyai ajian Rawa Rontek dan ajian Pancasona. Konon meski sehari mati selama tujuh kali asal masih menyentuh tanah akan tetap bisa hidup kembali. Wah tentu saja aku akan jadi hebat sekali dan tak bisa mati nih kalau punya ajian ini.
Aku pastinya bisa terbang kemana pun, kapan pun, dengan siapa pun dan untuk apa pun, yang pastinya untuk hal baik lho ya. Namun sayang ya kesaktian Rahwana itu dijadikan sebagai ajang untuk mengunggulkan dirinya sendiri, menyombongkan diri, angkuh yang teramat angkuh, tamak dan sangat arogan, adigang adigung adiguna, mentang-mentang kaya, mentang-mentang sakti, mentang-mentang perkasa. Pokoknya mentang-mentang lah. Huuuu dasar Rahwana nih.
Tapi di sisi lain aku ingin menjadi dirinya, bukan dalam hal kekuatan dan keperkasaannya. Tapi dalam segi rasa kasih sayang dan kesetiaannya yang ku akui memang amat setia kepada pasangannya. Dapat dibuktikan secara nyata dan jelas bahwa Rahwana begitu mencintai istrinya yaitu Dewi Widowati, bahkan ketika istrinya sudah bereinkarnasi menjadi Dewi Sinta. Aku jelas tidak ada apa-apanya, aku hanya remahan rempeyek yang kebetulan saja hidup.
Maka dari itu aku lebih ingin jadi Rahwana ketimbang menjadi Rama. Meskipun bermuka sangar, jahat dan pastinya seorang raksasa. Tapi ada sebuah kalimat Rahwana yang masih aku ingat sampai saat ini. "Aku Rahwana, meskipun julukanku sebagai Dasamukha atau seorang yang berkepala sepuluh, tapi aku hanya mencintai satu wanita. Sedangkan kalian yang hanya mempunyai satu kepala, tapi di dalamnya ada sepuluh wanita.” Mampus kau di koyak kata-kata Rahwana.
Sepertinya aku terlalu dalam membayangkan sosok Rahwana ini, sampai aku lupa kalau di sebelahku ada Sinta. Eh bukan Sinta sih, tapi anggap saja Sinta lah. Nggak kalah cantik dibandingkan Sinta kok. Aku pun sedikit mengajaknya bercanda perihal Sinta, Rama dan Rahwana.
“Apa kamu nggak ingin menjadi Sinta yang diperebutkan oleh dua orang ksatria?” tanyaku
“Apa asyiknya jadi Sinta? Di culik ke sana-kemari, nggak jelas gitu kok. Iya kan?” ucapmu
“emmm.. gimana yaa. Kalau dipikir-pikir memang begitu. Tapi semisal kamu jadi Sinta dan ada dua orang ksatria yang Gagah dan sudah pasti sakti ditambah bisa terbang juga pastinya. Kamu pilih yang mana? Hiyaaa bingung kan?” godaku penuh tawa
“Eh...eh..ehhh... Santai dong nanyanya, buat aku bingung aja. Ya aku pilih orang yang benar-benar tulus sama aku lahh” ucapmu
“Tapi semisal aku jadi Rahwana gimana? Kan kamu tahu Rahwana itu raksasa, yang dimana-mana kalau raksasa itu pasti jahat dan kejam kan. Hiiiiii...”
“Emmmmm... Gimana yaaa. Nggak mau milih Rahwana dan nggak mau milih Rama. Pokoknya milih kamu” giliranmu merayu
“Bac***tttt njirrr” jawabku ikut tertawa juga, hehe. “Daripada kita banyak ngomong di sini lebih baik kita pulang saja” pintaku
“Ayuukk...”
***
Kita berdua pun terbang bersama untuk kembali pulang. Eh..eh...eh. bukan terbang, maksudnya berjalan bersama. Kebanyakan ngayal jadi Rahwana nih makanya kayak gini. Seperti pertama kita datang. Kita kembali pulang pun melewati jalan yang sama dengan keadaan yang berbeda tentunya.
Kita hanya diterangi cahaya bulan yang sedikit terhalang pepohonan dan juga dibantu cahaya dari lampu kota yang sudah tua dan berumur. Tahu sendiri lah gimana keadaannya. Kelap-kelip nggak karuan gitu, ditambah gerimis yang tiba-tiba saja datang.
Tidak lama kemudian aku sampai di depan rumahnya. Aku hanya mengantarnya sampai ke depan pintu. Aku belum berani ngantar sampai kamarnya sih, takut ada setan, setan yang itu tuh. Setelah berpamitan dan dia sudah masuk rumahnya. Aku pun pulang ke rumahku yang tidak begitu jauh dari rumahnya.
Selang beberapa waktu aku pun sampai. Kurasa hari ini memang sangat melelahkan. Bahkan membayangkan jadi Rahwana pun melelahkan. Tanpa sadar aku tertidur lelap dengan khayalanku menjadi seorang raksasa bernama Rahwana.
Penulis: Rendy Sulistyo
Tags
Puisi