SAMPAR

Judul                 : Sampar (terjemahan dari La Peste)
Penulis              : Albert Camus
Penerjemah     : N.H. Dini
Penerbit            : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

“Derita yang paling menyeluruh ialah perpisahan dan pengucilan.” (hlm. 203)
       
Berawal ketika Dokter Bernard Rieux keluar dari tempat praktik, kakinya tersandung seekor tikus mati di ruang tunggu depan pintu. Pada waktu itu, tanpa perhatian dia singkirkan binatang tersebut, lalu menuruni tangga. Tetapi ketika sampai di jalan, dia berpikir bahwa tikus itu tidak semestinya berada di sana.
       
Rupanya puluhan tikus berserakan dimana-mana; di tangga-tangga, dari bawah hingga lantai atas gedung. Tempat-tempat sampah bangunan para tetangga, dari bawah gedung, hingga selokan tertutup. Di satu hari saja tikus-tikus yang mati itu dikumpulkan begitu fantastis sebanyak 6.231 tikus yang kemudian akan dibakar.
       
Namun keadaan menjadi semakin serius ketika setelah mengantar istrinya pergi, Rieux mulai menemukan makin banyak tikus yang mati di jalanan, seolah-olah mereka sengaja keluar dari gorong-gorong gelap untuk mati di depan manusia. Penduduk Oran mulai cemas ketika semakin hari jumlah tikus yang mati semakin banyak, bahkan hingga mencapai ratusan ekor setiap harinya itu. Prefek (pemerintahan kota) Oran sampai-sampai harus mendatangkan dinas pembasmi tikus untuk menanggulangi masalah ini. Tikus-tikus itu bergerak dan kejang-kejang sangat hebat, mulutnya mengeluarkan cairan kemerah-merahan ke dalam tempat sampah.
       
Alih-alih itu semua, tak lama kemudian seorang penjaga gedung sakit setengah jatuh terkulai dari tempat tidurnya. Satu tangan di perut, lainnya di leher. Panas badannya tiga puluhan. Kelenjar getah bening dan anggotanya tubuhnya membengkak, dua noda kehitaman tumbuh melebar di sisi. Dia mengeluh karena rasa sakit di dalam tubuhnya.
       
Suhu tubuhnya amat tidak teratur, dan keadaannya semakin tak karuan. Dari mulutnya berlapiskan lendir yang menjamur, mukanya kehijauan, bibirnya seperti lilin, pelapukannya keabu-abuan, serta nafasnya tersengal-sengal tak teratur. Nahasnya, si penjaga gedung ini akhirnya meninggal. Disusul beberapa orang dengan gejala yang sama, dan semuanya menyebabkan kematian dalam rentang waktu selama 48 jam (2 hari).
       
Beberapa ada yang kehilangan kemampuan fisik dan syaraf menjadi lemah, mata merah, mulut penuh kotoran, kepala pening, bisul-bisul, rasa sangat haus, mengigau, noda-noda di badan, rasa tubuh yang tertarik-tarik dari dalam. Tak lama kemudian, Prefek mengeluarkan kebijakan untuk membuat tindakan umum, diantaranya ialah pemberantasan tikus secara ilmiah dengan menyemprotkan gas beracun ke selokan-selokan.
       
Pada akhirnya kata “Sampar” muncul dan ini merupakan suatu epidemi; wabah atau penyakit menular yang berjangkit dengan cepat yang menimbulkan banyak korban, hal ini mengakibatkan orang-orang panik. Dan kebijakan penutupan kota pun dilakukan.
       
Karantina dilakukan terhadap orang-orang yang terjangkit Sampar. Keluarga-keluarga berkewajiban melaporkan kasus-kasus yang telah dipastikan dokter dan menyetujui isolasi atau karantina terhadap saudara mereka yang sakit di ruang khusus di rumah sakit. Bahkan anak-anak kecil pun tak luput menjadi korban. Sungguh malang.
       
Hari demi hari pasien semakin banyak, tempat bermain sebuah sekolah terpaksa digunakan. Tersedia 500 ranjang yang terisi semua (di sana). Karena kehilangan akal disebabkan oleh Sampar, beberapa penduduk kota kurang bisa mengendalikan diri. Bahkan orang-orang tertentu melampiaskan nafsu kekerasan mereka, mencuri kesempatan kelengahan penjagaan untuk melarikan diri ke luar kota.

“Begitulah! Yang pertama-tama dibawa oleh Sampar kepada penduduk kota kami adalah perasaan pengucilan.” (hlm. 86)
Terkurung seperti Sampar
       
Buku yang sangat relevan sekali dengan keadaan dunia sekarang, sekilas mirip dengan pandemi yang muncul akhir-akhir ini. Virus Covid-19 atau Corona yang merebak di beberapa negara di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Ya meskipun awalnya sok-sokan gitu, bahwa kita sudah kebal dengan penyakit-penyakit yang demikian. Alih-alih menasbihkan diri menjadi superhero, guyonannya seperti itu. Hehe.
       
Penanganan setiap negara untuk tanggap terhadap wabah ini memang berbeda-beda, ada yang melakukan tes massal, ada pula yang melakukan penutupan akses (lockdown) agar virus tak menyebar luas. Dalam hal ini Sampar benar-benar menggambarkan kehidupan beberapa negara yang terkena sapaan dari Corona ini. Penduduk Oran yang dihantui oleh Sampar, hingga mengakibatkan penutupan kota; siapa pun boleh saja memasuki kota itu, tapi jangan harap bisa keluar.
       
Syahdan, dalam buku ini digambarkan toko-toko pada tutup, beberapa memasang tulisan “tutup karena Sampar”. Kota-kota menjadi bisu bagai sekumpulan kotak-kotak padat tak bergerak. Tak ada yang tertawa kecuali orang yang mabuk.

“Derita yang paling menyeluruh ialah perpisahan dan pengucilan.” (hlm. 203)
       
Di saat seperti itu warga kota Oran memang tak bisa berkumpul dengan keluarga; anak, istri, suami, orang-orang tersayang mereka. Akibat Sampar ini. Dua hal itu menjadi ujian yang menyeluruh bagi orang yang ada di dalamnya.
       
Mengambil gambaran dari paragraf sebelumnya, akhir-akhir ini beberapa wilayah provinsi di Indonesia hampir seluruhnya menghimbau kepada penduduknya agar jangan mudik terlebih dahulu, cukup berdiam diri saja di rumah. Untuk mewanti-wanti pembawaan virus ke kampung halaman. Sesuai dengan Sampar tadi, tentunya hal ini menjadi penderitaan tersendiri. Terkurung.
       
Lantas, Sampar tidak hilang dengan cepat, penduduk kota Oran memasuki beberapa fase. Dimana mulai terjadi pemberontakan atas rasa ketidakadilan yang membuat mereka harus terkurung di dalam kota di saat mereka sebenarnya sehat. Lalu mereka mulai memohon-mohon kepada Prefek untuk memberi kelonggaran bagi mereka. Ketika pemerintah daerah bersikeras untuk tetap menegakkan peraturan itu tanpa terkecuali, semangat mereka mulai luntur dan jalanan amat lenggang, memasuki masa depresi. Namun pada akhirnya, penduduk Oran merasa apabila terus-terusan sedih pun tak ada guna, oleh karena itu mereka mulai menerima keadaan epidemi ini yang mengurung mereka, dan kembali beraktivitas dalam sebuah empati-kolektif terhadap sesama yang terkurung. 

Pengambilan Sikap; Eksistensi tiga tokoh sentral dalam Sampar
       
Sampar adalah kisah mengenai perjuangan manusia sebagai masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana manusia bersikap dalam menanggapi peristiwa melalui tokoh-tokohnya. Eksistensinya dalam menghadapi absurditas yang berhubungan dengan masalah penderitaan, keterasingan, kegagalan, dan kematian. Tiga tokoh sentral dalam Sampar tersebut adalah Dr. Rieux, Pastur Paneloux, dan Cottard.
       
Dr. Rieux dengan idealismenya sebagai dokter mencoba untuk menenangkan dan memahami semua dengan segi ilmu pengetahuan, hal-hal yang ia kerjakan di ruang praktiknya. Sikap Rieux untuk mengatasi penderitaan yang disebabkan oleh wabah Sampar tersebut sebagai berikut:

“. . . Sekarang banyak orang mati dan mereka harus disembuhkan. Di kemudian hari, mereka akan berpikir dan saya juga. Yang paling wigati adalah menyembuhkan mereka. Saya membela mereka sebisa saya, begitu saja” ( hlm. 110)
       
Penderitaan bagi Rieux merupakan suatu hal yang tak terpahami. Mengapa hal itu dapat terjadi pada diri manusia. Dari mana asalnya dan kapan datangnya. Sebagaimana Sampar yang tiba-tiba menyerbu manusia dan membunuh mereka tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Dari pengalaman-pengalamannya dalam menghadapi penderitaan, akhirnya Rieux menyadari bahwa Sampar sebenarnya tidak lebih dari peristiwa kehidupan. Namun, Rieux pantang menyerah terhadap Sampar yang bagaikan hantu tersebut. Dia semakin bekerja keras, sikap itulah yang telah menjadi kepastiannya, yakni melakukan sesuatu dan bekerja secara lebih dan lebih.
       
Lain halnya dengan Pastur Paneloux, semula dia berpendapat bahwa bencana itu adalah rahmat Tuhan yang harus diterima dengan lapang. Melalui bencana itu, manusia hendaklah merenungkan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Dengan demikian, manusia bisa menarik hikmah dari setiap bencana yang dialami.

“Kalau hari ini penyakit sampar memandang kita, berarti saat merenung sudah tiba. Mereka yang baik, tidak perlu terlalu takut kepadanya. Tetapi mereka yang jahat, benarlah jika mereka merasa gentar! ...” ( hlm. 81)
       
Namun, dia mulai goyah ketika melihat anak kecil yang direnggut nyawanya oleh Sampar. Sebagai seorang Pastur, dia tampaknya berusaha menerima kematian sebagai bagian dari keberadaannya di dunia. Dia tidak menunjukkan perlawanan-perlawanan saat maut itu hadir di hadapannya.
       
Begitu pun dengan Cottard, keterasingan dirasakan Cottard dalam bentuk ketakutan akan terpisahkan dari lingkungannya. Dia merasakan ketakutan itu sebagai miliknya sendiri. Penderitaannya lah yang terberat. Kegagalan yang dihadapi Cottard ini digambarkan sebagai pelarian dari tanggung jawab.
       
Penderitaan Cottard bersumber dari persoalan pribadinya, dia menjadi buronan polisi, jiwanya sedang tertekan. Bunuh diri adalah pilihan yang diambil untuk menghadapi tekanan. Dengan cara itu, dia berharap penderitaannya segera berakhir. Dia sudah tidak sanggup menjalani tekanan-tekanan. Dia tidak sanggup menghadapinya. Adanya Sampar ini, Cottard malah bersuka cita. Harap-harap semua orang merasakan keterasingan yang dialaminya.
       
Buku ini recommended untuk dibaca, dengan segala keabsurdannya, baik dari tokohnya maupun drama yang dihadapi. Albert Camus memang dikenal dengan absurditasnya melalui karya-karyanya. Sampar menggugah hati dan pikiran kita dalam menghadapi suatu bencana atau kemalangan, tokoh-tokoh di dalamnya merefleksikan sikap kita dalam menghadapinya.

Sampar, Corona, ataupun namanya itu sama saja, yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk menghadapi dan melawannya. Lebih jelasnya, Sampar bisa dibaca di rumah masing-masing. Tetap #dirumahaja dan #staysafe, pandemi ini pasti bisa kita lewati. Badai pasti berlalu.

Oleh: Mohammad Jumhari

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post