Seremonial Saja Tak Cukup (?)


Ucapan atau rasa syukur tentang peringatan hari-hari nasional atau internasional itu tidak penting bila kita hanya melihat itu sebagai rutinitas dan seremonial semata. Tidak mengubah apapun bila hanya dibuat pajangan di media sosial (medsos) atau baliho dipinggir jalan. Setelah selesai ya sudah, dunia masih tetap sama dengan hari-hari lainnya.  

Baliho peringatan hari lingkungan dan hutan terpampang di berbagai sudut kota. Instansi dan organisasi terkait menyambut dan tak lupa pula memberikan ucapan selamat dengan bungkus indah di medsos. Publik figur, masyarakat, pun tokoh-tokoh yang merasa berpengaruh mengambil peran juga.  

Barangkali kita tidak menyadari bahwa hari sangat beragam. Bukan hanya hari Senin sampai Minggu atau hari besar yang ditandai dengan kalender warna merah pertanda libur. Namun, masih banyak hari-hari yang indah diluaran itu. 

Bila anda tahu bulan Februari lalu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. Cukup menarik ceritanya tentang asal mula menetapan hari sampah ini. Berawal pada 21 Februari 2005, sebuah bencana terjadi di Indonesia tepatnya di TPA Leuwigajah Jawa Barat. Hujan berhari-hari yang mengguyur TPA Leuwigajah membuat tumpukan sampah di TPA tersebut longsor dan menimpa desa dibawahnya. 156 orang meninggal pada bencana tersebut. Setelah hari itu, tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional dan pemerintah menargetkan Indonesia bebas sampah tahun 2020.

Miris dan lucu, ketika sebuah insiden disalah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang memakan korban dijadikan momentum peringatan hari sampah. Apakah pemerintah baru sadar akan pentingnya masalah sampah, sampai lupa bahwa Indonesia belum ada hari tentang sampah sebelum ada korban yang perlu dikenang? Bukan berdasar pada meningkatnya sampah di masyarakat secara global, ataupun hak warga negara untuk mendapatkan kehidupan dan lingkungan yang layak.

Sementara data yang pernah dipublikasikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah rata-rata produksi sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton per hari atau setara dengan 64.000.000 ton per tahun. Bila pengelolaan tidak baik, maka setiap harinya hanya akan menimbulkan gunungan-gunungan sampah yang semakin menjulang tinggi.

Dewasa kini juga masih menanti bagaimana komitmen pemerintah perihal masalah sampah. Tentu sebuah tanda tanya besar dan patut kita pertanyakan tentang wacana Indonesia bebas sampah 2020 tersebut. Sejauh mana keseriusan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan terkait pengelolaan sampah? 

Selanjutnya 21 Maret, ada peringatan Hari Hutan Sedunia. Namun seberapakah penting hutan? Kenapa kita harus peduli dengan hutan? Bukankah itu urusan Tarzan dan Simba Si Raja Hutan, tidak ada urusannya dengan kita bukan? 

Hutan menyokong kebutuhan air untuk jutaan hektare lahan pertanian. Juga menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah bencana banjir dan longsor. Hutan pun erat dengan beragam budaya Indonesia. Tanpa hutan, Indonesia tidak akan sekaya dan seberagam yang kita kenal saat ini. Namun sayang, kekayaan dan manfaat itu seperti dongeng.

Kasus pembakaran hutan, alih guna lahan dijadikan lahan perkebunan sawit, pembalakan liar, dan wacana pemerintah memindahkan Ibukota di Provinsi Kalimantan Timur, seolah semakin membuat deforestasi global terus berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan. Sehingga, mungkin anak cucu-cucu kita hanya akan menerima cerita tentang hutan tropis hijau nan lebat bak negeri dongeng.

Keadaan ini tidak berlangsung sebentar, sudah 30 tahun hutan Indonesia terancam. Dilansir dari Katadata.com Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha per tahun pada 1996 sampai 2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,68 ha non-kawasan hutan. Terjadi kebakaran hutan yang hebat menjadi pemicu tingginya deforestasi di tanah air. Ini masalah kita bersama. Tentu hanya mengucapkan peringatan tanpa implementasi atau hanya melempar wacana, tidak akan efektif bukan? 

Bulan Maret tidak berhenti sampai disini. Tepat 22 Maret lalu, mau tidak mau kita peringati hari tersebut sebagai Hari Air Internasional. Meminjam kata dari Audrey Hepburn, aktris dan pegiat kemanusiaan asal Inggris, bahwa Waters is Life, kehidupan ada apabila tersedia air. Maka, syarat utama bagi koloni lain di luar Planet Bumi yang mungkin suatu saat dapat kita tinggali adalah tersedianya sumber air. Itu yang paling penting.

Akan tetapi, cukup disayangkan ketika hegemoni hari itu hanya sebagai simbolis. Tidak pernah melihat realita bahwa dunia semakin krisis air bersih. Meskipun Panet Bumi yang kita huni ini sebagian besar terdiri air. Tiga persen berupa air tawar, sisanya adalah air asin. Seperti halnya penelitian US Geological Survey yang menunjukkan, lebih dari 68 persen air tawar tersimpan di kawasan glasier dan pegunungan es, 30 persen tersimpan dibawah tanah, dan hanya 0,3 persen yang tersimpan di permukaan Bumi seperti danau, sungai, dan rawa-rawa.

Lihat bagaimana ketika kita memperlakukan hal-hal buruk terhadap sumber-sumber air, sungai, atau danau kepadanya. Ia tidak melawan, ia hanya diam, sebab ia tidak mungkin berbicara kepada dunia tentang menderitanya menanggung sakit yang asalnya dari perlakuan kita. Air tersebut yang tujuannya untuk mengalirkan kehidupan, justru menjadi sarang penyakit. Mengapa tidak, sungai yang seharusnya membawa aliran air jernih, malah membawa limbah rumah tangga atau limbah pabrik dari aktivitas manusia sehari-hari.

Ujung-ujungnya adalah bencana. Banjir, kekeringan, dan. akhirnya menimbulkan kematian. Akhirnya kita saling menyalahkan satu sama lain. Masyarakat menyalahkan pemerintah yang tidak becus mengurus masalah normalisasi sungai, pendangkalan danau, dan pencemaran air. Sedangkan pemerintah tak serta merta terima, masyarakat sebaiknya menaati peraturan tidak membuang sampah, dan menaati prosedur pengolahan limbah. 

Pada akhirnya kita hanya berdebat tanpa ada sebuah solusi yang lahir. Semua akhirnya berkeluh kesah tentang bencana yang dianggap sebagai musibah. Tidakah kita berfikir bahwa hal ini sebagai azab yang patut kita terima sebagai imbas dari yang kita lakukan? Renungkan. Ah lebih parahnya lagi paginya kita mengucapkan hari tersebut dalam instastory WhatsApp kita dan siangnya tanpa dosa melempar sampah ke selokan, atau melempar bungkus jajan di jalanan. Hehe.

Sepanjang tahun kedepan kita akan memperingati hari-hari dengan narasi yang indah ini. Dengan berbagai ucapan menyetuh, dengan nada kepedulian. Namun semoga hari-hari nan indah tersebut kedepan bukan hanya menjadi seremonial atau sekedar memperingati acara-acara peringatan yang menghambur-hamburkan kas negara. 

Tentu tidak masalah ketika manusia enggan memberikan penghormatan berupa hari kepada alam atau lingkungan, mereka tidak butuh itu. Tidak butuh perayaan yang sifatnya seremonial, pencitraan, atau wacana tentang kemaslahatan bumi, alam, atau lingkungan yang diumbar-umbar. Hal yang dibutuhkan mereka (Baca: alam) adalah harapan sekaligus permohonan kepada manusia untuk berhenti merusak dirinya. Itu saja.

"When we heal the earth, we heal ourselves"


Penulis : Bingar  Bimantara

Comments