Judul : Perempuan Bersampur Merah
Penulis : Intan Andaru
Intan Andaru, perempuan asal Banyuwangi yang berprofesi sebagai dokter sekaligus penulis ini telah berhasil membawa karya tulisannya digandrungi banyak orang melalui novel berjudul Perempuan Bersampur Merah. Memang masih terdengar awam namanya di deretan penulis lainnya di Indonesia. Namun tak menyurutkan kehebatannya dalam menulis. Bilamana dari sekian banyaknya novel-novel sebelumnya, ia mengambil jalan cerita yang berbeda kali ini. Yaitu dengan memadukan unsur sejarah, kebudayaan, dan psikologis, serta taburan romansa. Kehidupan jauh dari kota dan berlatarbelakang tahun 1998 di sudut kota di ujung timur Pulau Jawa sungguh menarik untuk diperbincangkan.
Kejadian nahas di suatu malam secara berkala dan terus menerus memenuhi otak gadis sembilan tahun. Bagaimana tidak, di usia masih memakai seragam merah putih, ia menjadi saksi atas kebrutalan warga di kampung halamannya. Bapaknya menjadi korban fitnah warga sekitar, di mana ia dituduh menjadi dukun santet di desanya. Pria yang memasuki usia renta namun masih berusaha bertanggungjawab menafkahi anak istri, terpaksa ikut segerombolan warga yang menjemputnya di gelapnya malam tanpa rembulan. Kemudian ia diperlakukan layaknya binatang yang dikoyak habis-habisan oleh para pemburu; dipukul, ditendang, diseret hingga cairan merah bata kental menyelimuti seluruh badannya.
Malam itu, kulihat dengan mata kepalaku sendiri, mereka menyeret Bapak, mengambil Bapak dari kami. Bapak yang melolong meminta tolong tak digubris sama sekali. Bahkan para tetangga dekatku yang terbangun karena keramaian malam itu tak dapat melakukan apa-apa selain memandangi kami dan menutup mulutnya. –hlm 65
Setelah kejadian malam itu, gadis kecil yang kerap disapa Sari dan ibunya serta keluarga pamannya harus hidup dengan berbagai macam stigma dari masyarakat. Hingga suatu ketika, keluarga pamannya yang awalnya hidup bersama keluarga Sari meninggalkannya lantaran tak mampu lagi menahan tekanan dari masyarakat. Tragedi 1998 benar tak akan mati di ingatan Sari hingga ia bertekad mencari siapa dalang di balik semuanya ini. Dengan bermodal ingatan wajah-wajah yang ikut dalam pengeroyokan, Sari menulis nama-nama di sebuah kertas yang disimpannya rapat-rapat. Ia pun manjalani sisa hidupnya untuk melakukan penyelidikan kecil layaknya seorang detektif.
Sekilas ketika membaca novel bergenre fiksi sejarah ini, pembaca mampu membayangkan serta menalar apakah cerita yang disuguhkan sebenarnya hasil adaptasi dari kisah nyata yang dijadikan fiksi. Tahun 98-an memang benar adanya masyarakat yang masih kental akan budaya leluhur dan percaya adanya dukun. Apalagi dikisahkannya di salah satu kota yang memang familiar dengan hal-hal ghaib. Tersirat pula Suku Using atau masyarakat asli Banyuwangi yang mana percaya teramat sangat akan empat jenis ilmu ghaib: ilmu hitam untuk menyakiti, ilmu putih untuk menyembuhkan, ilmu kuning untuk urusan lancarnya pekerjaan, dan ilmu merah atau santet untuk pengasihan, perekatan hubungan sekaligus kerusakan hubungan antar manusia. Dan kemungkinan besar masih bertahan kepercayaan tersebut hingga sekarang bahkan telah meluas di pelosok negeri.
Dalam novel ini, Intan memberi kebenaran akan pandangan sebenarnya keberadaan dukun pada awal mulanya namun disalahgunakan seiring berjalannya waktu. Bapak Sari yang dalam hatinya berniat menebarkan kebaikan namun disalahartikan oleh masyarakat sekitar. Kemampuannya menyembuhkan orang sakit atau menyuwuk secara sukarelawan berimbas pada hidupnya yang malang dan berdampak pada penderitaan orang terkasihinya.
Polemik yang dialami Sari bertambah berat lantaran ia terjerat kisah cinta segitiga dengan sahabat karibnya, Ahmad dan Rama. Hingga Sari mulai menyadari satu diantara keduanya, memang telah berhasil mengambil hatinya. Namun sebuah peristiwa kecil membuat seseorang yang dimaksud tersebut terpaksa menjauhi sahabat lainnya ketika tidak sengaja mengetahui daftar nama-nama di secarik kertas yang selalu dibawa kemana-mana oleh Sari. Dan menyadarkan bahwa pilihan menjauh merupakan ekspresi dari rasa penyesalan dikehidupan sebelumnya. Di mana berkaitan dengan benang merah dari dendam dalam diri Sari.
Perempuan Bersampur Merah dijadikan tajuk untuk novel ini lantaran sang tokoh utama, Sari menjadi penari Gandrung untuk menjalankan misinya dalam menemukan jawaban atas kematian bapaknya. Intan menekankan juga bagaimana budaya tradisional telah tergerus oleh modernisasi. Masyarakat sekarang dominan menyamakan penari Gandrung dengan Gandrung. Padahal faktanya ada perbedaan jelas diantara keduanya. Seorang Gandrung sudah pasti penari namun seorang penari Gandrung belum tentu seorang Gandrung, begitu sederhananya. Dijelaskan pula bahwa seorang Gandrung sendiri telah menjalani berbagai macam ritual yang berhubungan dengan hal ghaib sedangkan penari Gandrung sekedar prosesi yang berawal dari minat bakat.
Novel terbitan pertama di tahun lalu ini bisa dikatakan kurang fenomenal namun tak mengurangi kelayakan untuk dibaca. Sangat direkomendasikan karena alurnya yang sederhana serta intrik yang membangkitkan emosional. Kenyataan di mana pemerintah setempat seperti tak ada waktu mengurusi perkara yang membunuh keadilan. Hingga melahirkan penafsiran apabila pembantaian massal pada massa itu adalah bentuk strategi politik yang terorganisir oleh kelompok elit tertentu yang menggandeng beberapa masyarakat untuk memprovokasi masyarakat lainnya. Munculnya teror berupa kehadiran ninja yang datang tak diundang lalu pergi tak dihantar seperti jelangkung. Kisah pergaulan yang melewati batas yang berdampak pada moralitas. Serta bagaimana pentingnya pendidikan menjadi bumbu pelengkap dalam novel ini. Ketika peristiwa masa lalu mengabur hilang di makan waktu, coretan hitam di atas putih berbentuk fiksi inilah yang menjadi pamungkas sebuah sejarah. Perempuan Bersampur Merah menjadi setitik cahaya terang atas kejadian pada masa 98 silam.
Oleh: Nur Fitri Prihatiningsih
Comments