Aku dan Kamu Bukan Kita



Aku dan Kamu adalah Kesalahan

Kukira cinta sudah bisa di logikan.

Seperti ketika manusia sudah berhak memilih antara iya dan tidak. 

Kukira temu sudah bukan lagi hal tabu.

Seperti rindu yang halal untuk semua orang.

Tenyata tak semua panas menyengat. 

Kadang kedinginan di bawah terik matahari. 

Semua hal menjadi relatif.


Pada dasarnya memang seperti itu dari awal.

Berpikir bahwa hanya aku yang kesakitan.

Kukira bukanlah kesalahan.

Tenyata konsep takdir tak semudah menatap dalam diam. 

Kita diantara aku dan kamu hanyalah kesalahan.



 Besok Belum Tentu Kita Bersama

Aku mulai mengerti kenapa aku sudah merasa lelah.

Mendoakanmu dengan air mata.

Memaksa dengan manja kepada-Nya.

Agar Sang Pencipta menguatkan hatiku dalam memperjuangkanmu.

Karena semakin kuat hatiku menjadikanmu sebuah cita-cita.

Maka semakin kuat pula rasa sakit yang terasa.


Tindakan memang lebih baik daripada kalimat yang dituliskan.

Namun, aku tidak akan sanggup menerima dosa atas tindakan mencintaimu.

Mungkin, Allah lebih menyayangi aku dan kamu daripada kita. 

Tentu doaku bukan tidak terkabul.

Hanya saja Allah sedang mengujiku.

Dan dengan kebetulan yang sempurna semestapun mendukung-Nya.


Kini ketika doa di sepertiga malamku berhenti untukmu. 

Maka kamu tidak akan lagi menjadi cita-citaku.

Tidak akan ada lagi rasa bahagia ketika mencintaimu. 

Dan tidak akan ada lagi sesuatu yang disebut dengan kita.



 Sujud dalam Luka

Aku terbangun ditengah kesunyian malam.

Ketika bulan sedang terang-terangnya menyinari bumi.

Bersamaan dengan semilir angin.

Yang membelai kantukku dan luka-luka karena lancang mengenangmu kembali.

Aku beranjak ke kamar mandi sekedar mengambil wudhu.


Malam ini sangat sunyi.

Yang kudengar hanya bunyi jam dinding dan detak jantungku.

Yang sering memaksaku menghela nafas panjang karena menahan rasa kehilanganmu.

Ku basuh mukaku dengan air wudhu.

Kemudian beranjak kembali ke kamar dengan udara yang telah segar. 

Yang sebelumnya disesakkan dengan sisa nafas kesedihan.


Ku gelar sajadahku.

Lalu mulai bertakbir dan saat inilah aku sangat bahagia.

Bahkan bahagianya beribu kali dari pada melihat senyum dan tawamu.

Atau sekedar mendengar lirik demi lirik yang kau lantunkan dengan gitar kesayanganmu.

 Ingin terus kutambah rakaat malam ini.

Tapi tetap saja seperti malam-malam sebelumnya.

Aku terburu-buru ingin menceritakanmu pada Tuhanku.

Berharap segera bisa meringankan sesak yang aku alami selama bertahun-tahun ini.



Semu

Aku seseorang yang mulai memikirkan perasaan semu. 

Hati merasa tapi tak mau.

Pikiran mengerti tapi tidak mau tahu.

Karena akal sehat kalah dengan nafsu.

Pastilah kalian tahu apa yang aku maksud. 


Sebuah rasa yang selalu membuat takut. 

Perlahan namun pasti semua menjadi kalut. 

Sungguh rasa yang membuat trauma akut.

Aku ingkar karena takut tak bahagia. 

Aku mencoba melawan rasa yang nyata. 

Karena memilikinya.

Hanya kesemuan belaka.



 Sembilu di Hari Ulang Tahunku

Ku tutup jendela kamarku sembari mencoba tersenyum. 

Setelah mendoakanmu aku selalu rindu padamu.

Aku kembali ke tempat tidurku.

Membuka kembali pesan-pesan kita dulu di SMS.

Memaksakan senyum yang ditemani kepedihan.

Membuat mataku mulai memerah.

Tapi, segera aku pejamkan untuk melanjutkan sisa tidur malamku.

Belum cukup tidurku.


Tiba-tiba alarm subuh membangunkanku.

Kubunuh suara bising di atas nakas dengan belati.

Yang kupeluk erat satu-satunya yang tersisa setelah perang berkepanjangan.

Hari ini hari jumat hari ulang tahunku. 

Subuh yang pucat ini berkeringat pasi udara. 

Membeku pada ranting-ranting pohon.

Aku ditusuk dengan sembilu.


 Hari ini sudah tujuh tahun kita tidak saling berbalas pesan. 

Apalagi menyapa melalui telepon.

Aku berharap kamu mengingat hari ulang tahunku.

Aku tidak mengharapkan kue atau bingkis kado darimu.

Yang aku harap hari ini kau memberiku pesan.

Atau kalimat magic yang akan terucap dari bibirmu “Selamat ulang tahun.” 

Ini sudah pagi buta, beberapa jam yang lalu hari ulang tahunku telah berlalu. 

Ironinya tak ada notif atau suara dering darimu.


Sri Wahyu Mukarromah

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post