Carok sering kali dianggap sebagai salah satu budaya di Madura, padahal carok
bukanlah sebuah budaya yang harus dilangggengkan sampai saat ini. Sebab, carok
hanyalah upaya diri untuk memulihkan harga diri yang berhubungan dengan harta,
tahta, dan wanita. Harta dalam artian segala yang berhubungan dengan uang,
rumah, dan sebagainya, dan tahta tidak lain berkaitan dengan kekuasaan yang
selalu di rebutkan oleh masyarakat Madura. Sedangkan wanita adalah salah satu
masalah hingga timbulnya carok karena perselingkuhan. Perilaku carok tidak akan
muncul tanpa sebab, seperti pribahasa "ada asap berarti ada api" sehingga dapat
diartikan terjadinya carok pasti terdapat sebuah alasan yang jelas. Pemicu utama
carok biasanya dikarenakan harga diri martabat seseorang terlukai dan merasa
harga dirinya terinjak-injak.
Carok sendiri berasal dari kata caruk yang artinya
perkelahian. Istilah carok baru muncul ketika masa kolonial belanda, yakni
sekira abad ke-17 M. Ketika kongsi dagang belanda (VOC) menginjakan kaki di
tanah Madura, banyak kekerasan yang melibatkan masyarakat. Pada masa lampau
carok dijadikan alternatif penyelesaian paling terakhir, sebelum melangsungkan
carok akan ditentukannya beberapa kesepakatan dengan para pihak, seperti
ditentukan tempat, pihak dan tidak ada dendam keberlanjutan karena carok di
maknai sebagai penyelesaian terakhir saat sudah mengalami kebuntuan. Saat pada
masa lampau belum ada ketentuan hukum yang mengatur. Zawawi Imron Menerangkan,
ada peribahasa Madura yang mengatakan. "Dibandingkan dengan putih mata lebih
baik putih tulang," artinya dari pada menanggung malu lebih baik mati. Ketika
orang Madura dipermalukan, maka timbul rasa untuk melakukan tindakan pembalasan
dengan melakukan carok terhadap orang yang menghinanya. Oleh karenanyalah timbul
pemaknaan lain tentang carok, yakni carok yang masih diterapkan dan di anggap
budaya oleh sebagian masyarakat. Saat ini istilah carok masih eksis dan dianggap
budaya oleh sebagian masyarakat.
Ketika memahami definisi budaya, carok tidak
dapat dikategorikan sebagai budaya karena tidak ada yang harus dilestarikan dari
suatu pertumpahan darah atau carok. Tambahan bahasa carok berasal dari bahasa
kawi, yaitu caruk dan carok hanya bahasa khusus yang berada di Madura. Ketika
akan dilakukannya carok setiap keluarga dari para pihak harus saling mengetahui
lokasi, waktu dan lain sebagainya. Carok tidak boleh juga dilakukan di tempat
keramaian harus di tempat sepi. Sesuatu yang dianggap budaya haruslah mempunyai
nilai luhur dan nilai sosial masyarakat. Akan tetapi, “carok” yang dianggap
budaya tersebut sendiri pada kenyataannya merampas hak konstitusi setiap warga
negara Indonesia yang sebagaimana diatur dalam dalam UUD 1945, dimana setiap
warga negara memiliki hak untuk memperoleh keadilan, hak kebebasan pribadi, hak
untuk hidup, hak atas rasa aman. Dengan demikian, menyematkan budaya dalam
“carok” tidak sesuai dan bertentangan dalam artian budaya.
Pemahaman salah
kaprah makna budaya seharusnya tak dilanggengkan hingga saat ini, karena hanya
akan menimbulkan stigma-stigma negatif terhadap Madura. Carok sendiri identik
dengan Madura dan celurit, kabar TV nasional saat menayangkan pemberitaan
memberikan narasi pembunuhan di Madura dianggap sebagai carok. Padahal di daerah
lain tidak ditemuinya istilah carok dalam pembunuhan, sehingga hal tersebutlah,
yang membuat stigma “carok” sebagai budaya harus segera dihilangkan di kalangan
masyarakat Madura maupun luar Madura.
Madura sendiri yang di kenal sebagai
kalangan masyarakat dengan daerah yang menjunjung tinggi nilai agama dalam
kehidupan sehari-harinya, sebab di daerah Madura sendiri terdapat banyak ulama
dan guru agama. Seharusnya budaya dan kebiasan yang baik di kenal sebagai
penanda suatu daerah bukan hal yang buruk untuk menjadi penanda suatu daerah.
Dengan demikian, pemaknaan “carok” sebagai budaya bertentangan dengan nilai
nilai budaya yang ada di Indonesia. Misskonsepsi yang terjadi dikalangan
masyarakat hanya akan menimbulkan stigma negatif terhadap daerah Madura,
dianggap melanggengkan budaya yang bertentangan dengan hak konstitusi dan
nilai-nilai budaya.
Farhan Jiddan Saros sebagai informan juga menambahkan
harapannya agar masyarakat khususnya mahasiswa-mahasiswi sebagai penerus bangsa
agar bisa menghilangkan konsepsi budaya “carok” demi nama baik Madura.
Diharapkan Madura akan dikenal sebagai daerah yang baik dan berkelanjutan serta
daerah yang menjunjung tinggi nilai agama, kota karapan sapi, pulau penghasil
garam terbesar di Indonesia. Hal-hal tersebut yang menjadi urgensi untuk
menghapus pemahaman “carok” sebagai budaya.
Comments