Baru-baru ini, media telah dihebohkan
oleh kasus dugaan suap yang melibatkan tiga hakim usai membebaskan Ronald
Tannur, yang kini telah berhasil mengguncang kepercayaan publik terhadap dunia
peradilan di Indonesia. Adanya penangkapan tiga hakim ini menambah daftar
panjang kasus-kasus korupsi yang terjadi di sektor penegakan hukum yang justru
memperlihatkan betapa seriusnya masalah integritas dalam lembaga peradilan.
Kasus ini tidak hanya menjadi bukti nyata adanya celah dalam sistem hukum kita,
namun juga menunjukkan perlunya upaya pembenahan yang serius pada hakikat institusi
peradilan.
Ronald Tannur yang merupakan putra
dari Edward Tannur seorang mantan anggota DPR RI Fraksi PKB dari NTT, Ronal
Tannur kembali menarik perhatian publik dalam kasus suap yang melibatkan aparat
penegak hukum. Adapun tiga hakim yang diduga menerima suap dari Ronald Tannur
dikabarkan ditangkap oleh pihak berwenang setelah serangkaian penyelidikan yang
dilakukan secara mendalam. Dugaan suap ini, menurut penyelidikan awal,
bertujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan terkait kasus Ronald Tannur.
Kasus ini mulai terkuak setelah
adanya laporan dari Keluarga “Dini Sera” yakni selaku korban dalam kasus yang
melibatkan Gregorius Ronald Tannur. Keluarga Dini Sera melaporkan Ketiga majelis hakim yang memberikan vonis
bebas kepada Ronald Tannur ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Mahkamah
Agung (MA). Laporan ini dilakukan setelah vonis bebas tersebut menuai protes
dari pihak keluarga, yang merasa keputusan hakim tidak mencerminkan fakta-fakta
yang ada dalam kasus tersebut, yang dimana tiga hakim tersebut telah melanggar
sebagaimana kode etik hakim. Aparat penegak hukum yang mendapat laporan ini
segera menindaklanjuti dengan menggelar penyelidikan intensif, yang mengarah
pada penangkapan ketiga hakim tersebut. Saat ini, ketiganya sedang menjalani
proses hukum lebih lanjut untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka di
hadapan hukum.
Penangkapan ini menjadi catatan buruk
bagi penegakan hukum di Indonesia. Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Hakim Agung
Yanto, mengonfirmasikan jika ketiga hakim tersebut telah diberhentikan
sementara dari jabatannya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat upaya
untuk menegakkan hukum dan mencegah praktik korupsi di kalangan aparat penegak
hukum, namun tantangan besar tetap masih ada. Tentu saja dalam kasus ini telah mencerminkan
lemahnya pengawasan internal dan potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem
peradilan di Indonesia, yang dimana masyarakat akan memiliki pandangan buruk
terhdapa penegakan hukum di Indonesia.
Kasus ini telah memberikan pukulan
telak terhadap citra peradilan di Indonesia. Kepercayaan masyarakat yang selama
ini telah rendah dan senantiasa beranggapan buruk terhadap aparat penegak hukum,
kini semakin tergerus dengan adanya kasus ini. Bagi masyarakat, kasus suap yang
melibatkan para hakim ini menimbulkan kesan bahwa siapa saja dapat membeli
keadilan jika memiliki cukup uang atau dapat didefinisikan sebagai “Siapa yang
memiliki uang, maka dia memiliki kuasa”. Hal ini tidak hanya merusak integritas
individu yang terlibat, tetapi juga mencederai nama baik lembaga peradilan
secara keseluruhan.
Ketika hakim sebagai pengadil
terakhir (judex) dalam suatu perkara terlibat dalam praktik korupsi,
masyarakat menjadi ragu terhadap objektivitas dan keadilan yang seharusnya
ditegakkan di ruang-ruang pengadilan, hakim yang terlibat adalah sosok yang
seharusnya menjadi simbol kebenaran dan keadilan. Ketidakpercayaan publik ini
jika dibiarkan secara berlarut-larut, maka dapat memicu krisis kepercayaan yang
lebih dalam terhadap sistem hukum di Indonesia.
Ketika kepercayaan publik hilang,
rasa aman dan keyakinan masyarakat pada sistem hukum juga ikut menguap. Kejadian
ini bukan sekadar soal beberapa hakim yang melakukan kesalahan. Ini adalah
masalah sistemik yang menuntut reformasi serius dan menyeluruh. Publik sudah
terlalu sering dibohongi oleh janji-janji pemberantasan korupsi yang tak
kunjung terealisasi. Apa lagi yang bisa diharapkan dari pengadilan jika
orang-orang di dalamnya malah mengkhianati nilai-nilai keadilan?
Banyak yang berpendapat bahwa kasus
ini hanyalah puncak gunung es dari praktik kotor yang telah mengakar dalam
sistem peradilan. Fakta bahwa para hakim yang terlibat adalah orang yang
dipercayai masyarakat untuk menjaga keadilan, menimbulkan keprihatinan mendalam
dan tuntutan agar sistem hukum kita dirombak. Harapan masyarakat pada
integritas penegak hukum kian luntur, dan jika situasi ini terus dibiarkan, maka
bisa memicu krisis kepercayaan yang lebih dalam terhadap peradilan di
Indonesia.
Penangkapan ini harus menjadi
peringatan keras bagi semua penegak hukum. Pengadilan yang seharusnya menjadi
penentu keadilan jangan sampai berubah menjadi ajang transaksi kotor yang hanya
melayani kepentingan segelintir orang. Masyarakat mendesak agar para hakim yang
terlibat mendapatkan hukuman setimpal, tidak hanya sebagai ganjaran atas
pengkhianatan mereka, tetapi juga sebagai contoh bahwa praktik korupsi tidak
ada toleransi.
Kasus ini sekaligus menjadi momentum
bagi pihak yang terkait untuk dapat mengambil langkah-langkah yang tegas dalam
mereformasi sistem pengawasan dan evaluasi terhadap aparat penegak hukum,
khususnya hakim. Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) harus segera
mengevaluasi ulang mekanisme kontrol dan memperkuat langkah preventif agar
insiden serupa tidak terulang kembali. Harapan masyarakat akan pengadilan yang
bersih dan transparan harus diwujudkan dengan pembenahan yang konkret, bukan
hanya sekadar wacana.
Sebagai institusi yang diamanatkan untuk menegakkan keadilan, peradilan harus bersih dari segala bentuk korupsi. Ketika hakim yang semestinya menjadi simbol kebenaran dan keadilan justru menjadi pihak yang melanggarnya, kredibilitas lembaga peradilan akan sangat tergerus. Di masa mendatang, pengawasan yang lebih ketat terhadap aparat penegak hukum adalah keharusan agar peristiwa serupa tidak lagi mencoreng wibawa hukum di Indonesia.
Penulis: Nabula Biru
Editor: Marhum
Comments