Penolakan Gugatan Terhadap Undang-Undang Kesehatan: Antara Kepastian Hukum dan Aspirasi Profesi Medis

 

Pada tanggal 21 Maret 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Permohonan tersebut diajukan oleh lebih dari 18 pemohon, termasuk ahli hukum kesehatan, dokter, dan aktivis organisasi profesi. Penolakan ini bertepatan dengan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak pemberhentian anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) serta pengangkatan anggota Majelis Disiplin Profesi (MDP). Keputusan ini memicu perdebatan, di mana pemerintah berargumen bahwa penolakan gugatan tersebut memberikan kepastian hukum dan memperkuat regulasi sektor kesehatan. Namun, di sisi lain, sejumlah profesi medis merasa aspirasi mereka diabaikan selama proses legislasi dan pengambilan keputusan di pengadilan. Pertanyaannya, apakah penolakan ini benar-benar menguatkan posisi hukum atau justru mencerminkan pengabaian terhadap aspirasi profesi kesehatan?

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa permohonan uji materi tidak dapat diterima karena pemohon gagal menjelaskan alasan konstitusionalitas secara jelas dan lengkap. Hakim Ridwan Mansyur menekankan bahwa identitas para pemohon tidak dicantumkan, hanya nama kuasa hukum yang tertera, sehingga sulit untuk memastikan siapa yang dirugikan oleh pasal-pasal dalam UU Kesehatan. MK juga menilai bahwa pembentukan UU Kesehatan telah memenuhi prosedur yang ditetapkan oleh UUD 1945. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, telah menyediakan konsultasi publik dan akses media daring bagi masyarakat untuk memberikan masukan, yang menjadi alasan bagi MK untuk menyatakan bahwa UU Kesehatan tidak cacat formil maupun materiil. Keputusan PTUN terkait pemberhentian anggota MKDKI dan pengangkatan anggota MDP pun didasarkan pada UU Kesehatan, yang memberikan kewenangan penuh kepada Menteri Kesehatan dalam proses seleksi Majelis Disiplin Profesi. Dari sudut pandang legal formal, penolakan gugatan ini memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan sektor kesehatan.

Namun, meskipun penolakan gugatan oleh MK dan PTUN memiliki landasan yang kuat, banyak pihak dari kalangan profesi medis merasa aspirasi mereka diabaikan selama proses legislasi hingga pengambilan keputusan di pengadilan. Salah satu isu utama dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 adalah marginalisasi peran organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Pasal 311 UU ini memungkinkan munculnya multi organisasi profesi dalam sektor kesehatan, yang dikhawatirkan dapat memicu fragmentasi organisasi. Selain itu, peran organisasi profesi dalam memberikan rekomendasi Surat Izin Praktek (SIP) telah dipangkas, sehingga tenaga medis hanya bergantung pada Surat Tanda Registrasi (STR) tanpa pelibatan rekomendasi dari organisasi profesi. Banyak tenaga medis dan organisasi terkait merasa bahwa hal ini menyangkut integritas profesionalisme tenaga kesehatan. Mereka khawatir bahwa melemahnya peran organisasi profesi akan berdampak negatif terhadap pelayanan kesehatan dan perlindungan pasien.

Pengungkapan dari organisasi IDI dan PDGI menunjukkan bahwa meskipun mereka diundang dalam beberapa forum diskusi publik, masukan yang mereka ajukan sering kali tidak diakomodasi secara memadai dalam rancangan akhir undang-undang. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan antara keterlibatan formal dan substantif. Partisipasi publik dalam konteks demokrasi deliberatif seharusnya menjadi prosedur administratif dan mekanisme untuk memastikan inklusivitas serta representativitas kepentingan masyarakat. Ketika mereka merasa aspirasi yang dinyatakan diabaikan, meskipun diundang dalam forum diskusi publik, hal ini menunjukkan persepsi ketidakadilan yang merugikan legitimasi kebijakan publik.

Keputusan penolakan gugatan terhadap UU Kesehatan ini berpotensi memperburuk ketegangan antara pemerintah dan komunitas medis. Ketegangan ini dapat berdampak negatif pada kerja sama antara pemerintah dan tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan. Kurangnya sinergi antara kedua pihak dapat menghambat upaya peningkatan kualitas sistem kesehatan nasional. Selain itu, marginalisasi dalam UU Kesehatan dapat melemahkan mekanisme checks and balances di sektor kesehatan. Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki fungsi penting dalam menjaga standar etika dan kompetensi profesional tenaga medis. Namun, jika peran tersebut dilemahkan atau dialihkan sepenuhnya


Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post