Sumber: Wikipedia |
Dogma yang bersifat ilahiah, yang merupakan proses murni kewahyuan,
sejatinya adalah tatanan moral dalam kehidupan pribadi. Dogma, sebagai ruh dari
agama, menjadi tatanan baku untuk memberi peringatan kepada pribadi agar dapat
membedakan perihal yang baik dan yang buruk dalam tata laku kehidupan
sehari-hari. Agama, yang semestinya menjadi koridor dan napas dalam sendi-sendi
kehidupan nyata, seringkali menabukan akal atau rasionalitas yang digunakan
sebagai cara berpikir nalar. Agama yang terdiri atas dogma-dogma terkadang
hanya menuntun pada ritualistik yang bersifat formalitas seremonial semata. Kehidupan
masyarakat yang dogmatis hanya bertumpu pada dalil-dalil ritualistik semata.
Semangat ibadah yang bersifat ketuhanan sering kali mengesampingkan
rasionalitas sebagai landasan berpikir mendalam akan tata laku kehidupan antar
sesama manusia. Begitulah masyarakat yang hanya memuja dogma sebagai perisai
kehidupannya. Memang tidak salah dengan dogma yang menjadi landasan dalam
agama, akan tetapi masyarakat yang hanya berlandaskan pada tafsir literal,
hanya menggunakan tekstual tanpa berpikir kritis ataupun mengesampingkan
logika, hanyalah menjadi moralis yang semu. Tidak bisa dipungkiri bahwa
kehidupan masyarakat yang menggunakan standar moral hanya berdasar dogma untuk
menjustifikasi kehidupan personal, baik atau buruk perilaku, dengan label surga
atau neraka. Layaknya kehidupan personal yang berani menentang arus dogmatis
masyarakat pada umumnya, tak lepas dari stigma ”sesat” yang disematkan. Tentu
menjadi pertanyaan, apakah memang standar moral dalam kehidupan masyarakat
harus menjadi bagian dari dogma? Seolah-olah dogma menjadi otoritas tertinggi
dalam menentukan standar moral bagi setiap individu. Sungguh ironis ketika
ritualistik berbasis dogma pada masyarakat menjadi ukuran dalam standar moral
di masyarakat. Tempat ibadah yang ditentukan jumlah pengikutnya dalam
menjalankan ibadah ritual tak jarang menjadi patokan moral dalam kehidupan
masyarakat.
Tentu kondisi tersebut berbalik dengan kehidupan sesama manusia dalam masyarakat yang saling mementingkan ego pribadi demi ambisi rebutan kekuasaan, yang tak jarang berakhir pada kekacauan. Di saat kaum papa terpinggirkan dalam kesusahan, segelintir kelompok hanya mementingkan kekayaan pribadi ataupun kepentingan golongannya, meski dengan tameng-tameng penuh dogmatis. Perilaku ketamakan manusia melahirkan perilaku korup yang kerap kali menjangkiti bangsa ini tanpa akhir. Layaknya kanker ganas yang amat kronis tanpa obat, perilaku ini dianggap lumrah. Maraknya pungli, suap, dan korupsi yang terjadi di mana-mana, di setiap sektor apa pun, menjadi penyakit yang dianggap budaya. Dengan perilaku koruptif di mana-mana, tak jarang memakai topeng dogma ritualistik, bahkan dengan topeng simbol-simbol religiusitas. Moral kehidupan masyarakat yang berperilaku koruptif dan menjadikan landasan dogma sebagai standar moral menjadi paradoks dalam praktik ritualistik dan praktik kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Agama hanyalah dianggap simbol ritualistik semata tanpa memahami hakikat atau makna dari agama itu sendiri bagi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Agama sebagai esensi sejati dengan spiritualistik sebagai pengejawantahan dari ritualistik sudah seharusnya menjadi tatanan moral untuk mencapai nilai-nilai kemanusiaan sejati. Agama bukan menjadi topeng sebuah wajah hipokrit perilaku korup. Sungguh miris ketika perilaku koruptif seperti pungli dinormalisasi dengan dalih ”tidak apa-apa asal kecil-kecilan”, menjadi tak terelakkan lagi. Apalagi saat masa-masa menjelang pemilihan umum, tak jarang praktik uang terjadi dengan menggunakan kode sedekah untuk memenangkan calon yang akan dipilih. Tak sedikit memang ketika pelaku-pelaku korupsi yang tertangkap aparat penegak hukum pun memakai topeng simbolisme agama. Bahkan ketika diwawancarai oleh awak media, tanpa malu dan tabu bagi si pelaku korupsi dengan ringan tanpa beban berucap nama Tuhan. Menariknya, ketika arena persidangan di hadapan majelis hakim, simbolisme agama pun tak jarang dipakai sebagai topeng untuk menutup kedok busuk perilaku korup. Dari ironi tersebut terlihat bahwa perilaku koruptif telah memanipulasi dan merusak nilai-nilai esensi agama sebagai tuntunan moralitas dalam kehidupan sehari-hari untuk berbuat kebaikan dan cinta kemanusiaan sejati. Tidak ada agama sebagai dogma yang mengajarkan kejahatan sebagai musuh moralitas dalam esensi agama itu sendiri. Tidak ada pula ajaran ritualistik yang menormalisasi kejahatan kemanusiaan demi ambisi pribadi ataupun golongan. Yang perlu ditekankan adalah kembalikan ruh dalam agama sebagai hakikat kebaikan sejati dan kembalikan ruh dalam tatanan ritualistik sebagai upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan manifestasi atau perwujudan nilai-nilai spiritualistik untuk menjadi manusia bagi manusia yang lain dan menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Bagi yang menggunakan logika dan nurani sebagai kewarasan dalam beragama untuk berbuat baik dan adil kepada sesama, tentu menjadi bagian yang dianggap silent minority, tak bisa berkata banyak, tak bisa berbuat apa-apa saat melihat mayoritas berperilaku bebal dan biadab memanipulasi agama dan dogma sebagai topeng kejahatan. Jadikan cerminan nilai-nilai agama dalam spirit kemanusiaan yang berkeadilan, yang menentang tirani-tirani kecil dengan watak koruptif yang menggerogoti watak individu. Sebagai prinsip, jadikan nilai antara manusiawi dengan ketuhanan yang seutuhnya tanpa terpisahkan dalam tatanan relasi makrokosmos dan mikrokosmos sebagai sistem yang tunggal dalam kosmologi. Jadikan agama dengan refleksi moralitas kebaikan dan semangat cinta kasih pada sesama manusia, bukan jadikan agama dengan moralitas semu pada kedok dogmatis ritualistik untuk alat manipulasi ambisi pribadi yang korup demi kekuasaan yang haus akan penindasan sewenang-wenang. Bersama membangun kesadaran jiwa yang utuh dalam kolektivitas seluruh lapisan masyarakat dengan etika yang dibangun sebagai kesadaran ilahiah untuk lebih menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia bagi sesama dengan semangat pengorbanan dan pengabdian.
Penulis : Rico Andreano Fahreza
Editor: Marhum