VOICE— Puluhan mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang merupakan
penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) menggelar aksi unjuk rasa di
depan gedung Rektorat UTM. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan
terhadap kebijakan baru kampus yang mewajibkan mahasiswa baru angkatan 2025,
khususnya penerima KIPK, untuk tinggal di asrama selama satu tahun sebagai
bagian dari program "pendidikan berkarakter".
Kebijakan ini dinilai diskriminatif dan tidak
manusiawi oleh para mahasiswa. Berdasarkan informasi yang dihimpun, sebanyak
1.700 mahasiswa KIPK diwajibkan mengikuti program ini. Namun, daya tampung
asrama kampus hanya sekitar 900 orang. Akibatnya, sekitar 800 mahasiswa lainnya
dialihkan ke pondok pesantren sekitar kampus.
Sayangnya, para mahasiswa mengaku bahwa fasilitas
di pondok pesantren tersebut sangat tidak layak. Mereka hanya diberikan lemari
tanpa alas tidur, tanpa kipas angin, dan harus tidur berdesakan dengan 24 orang
dalam satu ruangan. Fasilitas kamar mandi pun dilaporkan tidak layak pakai.
Kondisi tersebut membuat banyak mahasiswa merasa tidak diperlakukan secara
manusiawi.
Selain fasilitas, mahasiswa juga mempertanyakan
pungutan biaya sebesar Rp150.000 untuk program pendidikan berkarakter dan
Rp200.000 untuk pembelian kitab. Mereka mencurigai adanya kejanggalan dalam
pengelolaan dana dan mempertanyakan mengapa hanya mahasiswa KIPK yang
diwajibkan mengikuti program ini. Hal ini dinilai menyiratkan bahwa mahasiswa
dari keluarga kurang mampu dianggap perlu "diperbaiki" karakternya.
“Apakah karena kami mendapatkan bantuan dari
negara, maka kami dianggap tidak beretika? Apakah kami yang miskin dianggap
tidak pantas?” ujar salah satu orator dalam aksi tersebut.
Kondisi ini berdampak serius. Tercatat sudah ada
16 mahasiswa yang memilih mundur dari program KIPK, dan beberapa di antaranya
memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah.
Aksi unjuk rasa sempat berlangsung ricuh.
Mahasiswa membakar ban dan terlibat perselisihan dengan pihak keamanan kampus.
Kericuhan terjadi selama sekitar satu jam hingga pihak Wakil Rektor III turun
langsung menemui para pendemo. Dalam pertemuan tersebut, Warek III menyatakan
akan menelusuri kebenaran informasi terkait fasilitas yang tidak layak
tersebut, dan jika benar, pihak kampus akan melakukan perbaikan. Ia juga
mengakui bahwa ini adalah program baru yang tentu masih memiliki banyak
kekurangan.
Setelah diskusi, mahasiswa dan pihak kampus
mencapai kesepakatan sementara. Dalam tuntutannya, mahasiswa mendesak:
- Rektor UTM mencabut kebijakan wajib tinggal
di asrama bagi penerima KIPK.
- Kampus melakukan evaluasi kebijakan secara
partisipatif dengan melibatkan mahasiswa sebagai subjek pendidikan.
- Dibentuknya forum dialog terbuka untuk
mencari solusi pembinaan karakter yang bersifat inklusif dan tidak
diskriminatif.
Mahasiswa juga menegaskan bahwa jika tuntutan ini
tidak dipenuhi, mereka akan melanjutkan advokasi ke pihak eksternal, termasuk
Ombudsman dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Kemendikbudristek), serta membuka ruang konsolidasi lebih luas bersama elemen
mahasiswa lainnya.
Penulis:
sannalyah