Sc: Detik.com |
Jakarta – Mantan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, resmi
ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan laptop Chromebook untuk sekolah. Proyek bernilai triliunan rupiah itu
awalnya dimaksudkan untuk mendukung kegiatan belajar selama pandemi, namun
justru diduga merugikan negara hingga hampir dua triliun rupiah.
Setelah menjalani pemeriksaan pada awal September, Nadiem langsung ditahan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Kepada wartawan, ia sempat menyampaikan pernyataan singkat:
“Saya tidak melakukan apa pun. Kebenaran akan terungkap. Kejujuran adalah yang utama,” ujar Nadiem sebelum digiring ke tahanan" ungkapnya saat digiring ke ruang persidangan
Kasus ini berawal dari
dugaan adanya pengaturan spesifikasi dalam pengadaan Chromebook. Nadiem disebut
ikut mengarahkan agar laptop yang dibeli hanya produk tertentu, meski ada
masukan lain dari tim internal kementerian. Langkah itu dinilai menyalahi aturan
dan menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Nadiem, yang sebelumnya
dikenal luas sebagai pendiri aplikasi Gojek sebelum masuk kabinet, kini harus
menghadapi proses hukum yang panjang. Banyak pihak menilai kasus ini menjadi
pukulan berat, mengingat selama menjabat ia dikenal sebagai sosok pembawa inovasi
di dunia pendidikan.
Namun, proses peradilan
baru saja dimulai. Sesuai prinsip hukum, Nadiem masih berstatus sebagai
terdakwa yang berhak atas asas praduga tak bersalah, sampai ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Laptop Chromebook, yang semestinya menjadi jembatan digital di tengah pandemi, kini berubah menjadi simbol kegagalan tata kelola. Alih-alih mempersempit kesenjangan akses pendidikan, kasus ini justru memperlebar jurang ketidakadilan. Siswa dan guru yang mestinya terbantu, malah menjadi korban tidak langsung dari praktik menyimpang elit birokrasi.
Di sisi lain, kasus ini menjadi cermin betapa pengawasan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih lemah. Transparansi dan akuntabilitas seringkali berhenti pada jargon, tanpa diikuti implementasi serius. Padahal, publik menaruh ekspektasi tinggi pada sosok muda yang membawa semangat inovasi. Jika tokoh semacam itu pun bisa terjerat kasus serupa, bagaimana dengan pejabat lain yang tidak pernah disorot?
Opini ini tidak bermaksud menghakimi pribadi tertentu—karena hukum harus membuktikan segala tuduhan. Namun sebagai bangsa, kita harus belajar: pendidikan tidak boleh dijadikan ladang bancakan. Korupsi di sektor pendidikan sama artinya dengan merampas masa depan anak-anak Indonesia.
Jika ingin pulih, negara harus berani menindak tegas siapa pun yang terbukti bersalah. Bukan hanya melalui hukuman, tetapi juga dengan reformasi sistem pengadaan yang benar-benar transparan. Tanpa itu, jargon "Merdeka Belajar" hanya akan tinggal slogan kosong, dan korupsi akan terus menggerogoti harapan generasi.