Aksi demonstrasi di Indonesia yang dimulai sejak tanggal 25 Agustus 2025 hingga saat ini mengungkapkan adanya ketegangan politik dan sosial. Pasalnya aksi demonstrasi ini menimbulkan pertanyaan tentang arah demokrasi dan hubungan antara rakyat, wakil rakyat, dan aparat keamanan. Awalnya aksi demo ini terjadi dikarenakan adanya kebijakan pada kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun meluas menjadi seruan untuk pembubaran DPR, tuntutan keadilan ekonomi, dan kritik terhadap respons represif aparat, bahkan berujung pada insiden tragis yang merenggut nyawa seseorang. Kericuhan ini tentu menimbulkan kekhawatiran yang mendalam akan perpecahan dan konflik yang lebih besar, dimana seolah-olah masyarakat dihadapkan pada sesamanya bukan hanya pada pemerintah.
Kenaikan
tunjangan dan gaji anggota DPR yang tidak masuk akal tentu menyebabkan amarah
bagi masyarakat di Indonesia. Dinyatakan bahwa sejak September tahun 2024, pada
periode 2024-2029 anggota DPR akan menerima tunjangan rumah sebesar Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per bulan, dan rata-rata gaji serta
tunjangan mereka dari yang awalnya Rp 21.000.000.000,00 (dua puluh satu miliar
rupiah) per tahun, dinaikkan menjadi Rp 29.000.000.000,00 (dua puluh sembilan
miliar rupiah) per tahun. Kenaikan anggaran untuk keseluruhan DPR juga melonjak
sebanyak 50% (lima puluh persen) dari Rp 6,7.000.000.000.000,00 (enam koma
tujuh triliun rupiah) naik menjadi Rp 9,9.000.000.000.000,00 (sembilan koma
sembilan triliun rupiah) di tahun 2025 ini. Kenaikan tunjangan dan gaji anggota
DPR ini terjadi di tengah-tengah gaungan yang menyebutkan efisiensi anggaran
Presiden Prabowo Subianto dan kinerja dari anggota DPR yang dinilai belum memuaskan
untuk masyarakat Indonesia. Sehingga dari hal itulah masyarakat merasa
terbebani dengan tekanan ekonomi saat ini, seperti halnya kebutuhan pokok
dengan harga yang tinggi, subsidi yang tidak tepat sasaran, dan semakin
beratnya beban pajak, sementara di sisi lain beberapa pejabat hidup dengan
keglamorannya.
Respon
dari anggota DPR justru memperbesar situasi konflik saat ini, seperti halnya yang
dilakukan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR yaitu Ahmad Sahroni yang menyebutkan
kata-kata “orang tolol sedunia” terhadap penyeru pembubaran DPR. Selain itu ada
Nafa Urbach yang menjadikan macet sebagai alasan adanya tunjangan rumah. Sikap
arogansi para elite politik ini mengakibatkan ketidakpercayaan yang lebih dalam
lagi bagi DPR dan tentunya kemarahan masyarakat. Bahkan Menteri Sekretaris
Negara Prasetyo Hadi mengatakan tidak ada pantauan untuk demo kali ini, dirinya
mengatakan bahwa mereka sedang fokus memberikan penghormatan bagi beliau-beliau
yang sudah berjasa atas bangsa dan negara ini, hal ini menunjukkan seolah-olah protesan
masyarakat diabaikan begitu saja.
Aksi
demonstrasi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun meluas ke kota-kota
seperti Bandung, Makassar, Surabaya, dan Medan. Dalam aksi ini para pendemo sering
kali dihadapkan dengan respon keras dari aparat keamanan, sehingga timbul
bentrokan fisik. Sikap anarkis dan adu domba yang dilakukan provokator dan
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dari pihak manapun dalam aksi ini
menjadikan keadaan semakin runyam. Pasalnya insiden kekerasan, bentrok fisik,
kerusakan fasilitas umum, hingga adanya pembakaran menimbulkan korban jiwa,
entah dari kalangan masyarakat sendiri maupun aparat keamanan. Kasus yang
paling disoroti yaitu kematian Affan Kurniawan yang merupakan seorang pengemudi
ojek online, ia tewas dilindas oleh mobil Brimob ketika mencoba melewati wilayah
demo di Pejompongan, Jakarta Pusat. Kematian Affan Kurniawan menyebabkan
kegeraman publik semakin tinggi, banyak yang mengatakan bahwa aparat harusnya
melindungi bukan menindas. Bahkan ada beberapa aparat keamanan juga yang
dikabarkan telah kehilangan nyawanya akibat adanya kerusuhan pada aksi ini. Situasi
kerusuhan dan adu domba yang terjadi ini mengalihkan kemarahan rakyat dari DPR kepada
aparat. Dikabarkan pula seorang pengemudi ojek online yaitu Rusdamdiansyah
tewas dikeroyok massa yang mengira ia seorang intel, peristiwa ini menujukkan
adanya sikap anarkisme dari pihak manapun yang tidak memiliki sikap
tanggungjawab. 
Seorang
pengamat politik Vidhyandika Djati Perkasa mengatakan sumber kekacauan seperti
halnya penjarahan di sejumlah rumah pejabat dan anggota DPR terjadi akibat
kevakuman kepemimpinan dan arogansi pejabat, beberapa diantaranya yang
mengalami penjarahan yaitu Sri Mulyani, Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko
Patrio. Presiden Prabowo Subianto menegaskan perintah untuk menindaki akan
adanya upaya penjarahan dan pengerusakan dengan hukum yang berlaku, beliau menduga
adanya upaya adu domba dan intervensi dari para pihak yang tidak ingin adanya
kesejahteraan di Indonesia. Ketidakstabilan politik yang terus berlanjut ini
bukan hanya akan berdampak pada saham di Indonesia, namun juga terhadap nilai
tukar rupiah dan iklim investasi.
Kemunduran
demokrasi saat ini dapat dicegah apabila para elite politik di Indonesia dapat menerapkan
nilai-nilai kerendahan hati, empati, dan penghormatan terhadap partisipasi
suara rakyat. DPR harus menunjukkan batang hidungnya kepada masyarakat dan keluar
dari kebiasaan sembunyi mereka. Melakukan dialog yang sehat dan terbuka tanpa meremehkan
aspirasi rakyat merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan para pejabat
DPR. Masalah ini tidak akan berhenti apabila dari pihak yang terkait tidak ada
tindak lanjut, sehingga keresahan publik akan semakin intensif dan dapat
mengancam keutuhan demokrasi di Indonesia.