Workshop
yang diadakan oleh Lembaga bantuan Hukum Surabaya dan Komisi Yudisial (KY)
Rabu-jum’at 18-20 November 2009 di ikuti oleh perwakilan masyarakat 10
kabupaten di Jawa Timur
baik dari kalangan masyarakat kecil, Asosiasi Pedagang
Kaki Lima (PKL), akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah membuka mata
publik betapa buruknya moral penegak hukum di Indonesia.
Dari
beberapa orang yang hadir menyebut bahwa buruknya Persepsi masyarakat terhadap
lembaga peradilan :
•
Proses Lembaga peradilan yang berbelit-belit dan lambat
•
Banyaknya mafia peradilan
•
Proses yang terlalu birokratis dan prosedural
•
Culture yang buruk dari lembaga peradilan
•
Moralitas hakim dan sistem hukum yang jadi penyebab banyaknya mafia peradilan
Acara
yang mengambil Tema Pengembangan Kapasitas Jejaring Penguatan Partisipasi
Publik Dalam Mewujudkan Peradilan Bersih. Dihadiri oleh Nara sumber Drs.
Muzain. Msi,Hermansyah (Tim Ahli KY), Henry (Advokad), Aris SH.MH (Direktur LBH
Surabaya) membahas juga tentang peran dan dan fungsi KY menurut Undang-undang
Dasar 1945. KY memiliki dua kewenangan yaitu mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam kaitan dengan pengusulan
pengangkatan hakim agung tugas pokok KY terdapat empat, yakni:
•
melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
•
melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
•
menetapkan calon Hakim Agung; dan
•
mengajukan calon Hakim Agung kepada DPR.
Pasal
24 B UUD 1945 yang dijabarkan dalam Undang Undang No. 22 Tahun 2004. Pasal 13
yang pada pokoknya adalah :
a.
Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR;
b.
Mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dengan
adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat
terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat
diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga
politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Selain
secara normative, bahwa dorongan untuk mewujudkan sebuah kekuasaan kehakiman
yang merdeka dianggap perlu keberadaan dari sebuah lembaga diluar kekuasaan
kehakiman yang berfungsi untuk mengontrol para hakim. Konsepsi negara hukum
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka atau
“Independent Judiciary”.
Pasal
24 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “ Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”.
Dugaan
Pola Mafia Peradilan :
•
Pada saat pendaftaran
•
Penentuan majelis hakim
•
Hasil putusan
•
Hakim menunda putusan sebagai isyarat agar di hubungi kembali
Oleh
karena itu penguatan “civil society”diperlukan dalam rangka mewujudkan
peradilan yang adil dan bersih.
Dalam
Diskusi Kelompok yang bertemakan Perwujudan Partisipasi Kelompok Masyarakat
Untuk Mendorong Terwujudnya Peradilan Bersih Mencoba menggagas Apa yang bisa
dilakukan oleh Civil Society terhadap lembaga pengadilan yakni :
•
Melakukan pendidikan hukum pada masyarakat melalui :
-
Pendidikan dan penyuluhan Literracy (mellek) tentang hukum
-
Mengkampanyekan peradilan bersih
•
Presure terhadap lembaga peradilan
•
Melakukan advokasi terhadap masyarakat
•
Membentuk kelompok yang dapat mengawal peradilan yang bebas dari mafia
peradilan
Rekomendasi-rekomendasi
yang bisa disinergiskan antara Civil Society dan Komisi Yudisial (KY)
•
Peningkatan kapasitas jejaring.
•
Pembentukan KY daerah/kabupaten/kota.
•
Sosialisasi peran dan fungsi KY di daerah-daerah.
•
Pelatihan-pelatihan.
•
Segera tindak lanjuti setiap laporan yang masuk ke KY.
Harapan
diadakannya acara ini tidak lain adalah untuk menepis ketidak percayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan dengan dilibatnya masyarakat dalam
memberangus mafia peradilan apalagi dengan gencarnya berita Makelar Kasus
(MARKUS) .
Oleh : Bty
10/12/2009
Oleh : Bty
10/12/2009
Comments