Democrazy Pemilu Anak Hukum




Tahun ini pemilu raya anak hukum lagi-lafi diselenggarkan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPMF). Bingung namun inilah yang terjadi, mungkin saya masih harus bertanya apa saja fungsi para wakil aspirasi saya dikamapus tersebut.

Seingat saya legislatif tidak memilki fungsi untuk mengadakan pemilu, pilgub, dan pil-pil lainya. Karena yang seharusnya mengadakan pemilu ada KPUM (Komisi Pemilihan Umm Mahasiswa) menurut Aturan Rumah Tangga Keluarga Mahasiswa 2018. Loginya DPR tidak akan mungkin mengadakan Pilpres, dan Ketua DPR tidak mungkin merangkap menjadi KPUM. Democrazy.

Kini aku ceritakan bagaimana democrazy yang berjalan disalah satu sudut kampusku. Hajatan ini namanya Coblosan. Katanya ini adalah pesta demokrasi di kampus, Tengah memilih orang-orang yang tak tahu malu memantapkan diri menjadi yang terbaik.

Tiap harinya story whatsap saya penuh dengan tim sukses dan simpatisan yang awur-awuran memenuhi akun media social.  Mereka sedang minta di coblos, tak tahu minta di coblos bagian mananya. Ada Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Gubenur serta wakilnya yang minta di coblos.

Bannernya dimana-mana bikin mata jadi sepet masuk kampus. Merusak pemandangan gedung fakultas. Gedungnya sudah tak terlalu bagus jangan perburuk keadaan. Menambah limbah banner di bumi serta tidak sedap seperti nama salah salah satu mie isntan di iklan televisi. Fotonya sok cakep berfose sambil tenteng nama fenomenal. Contoh: Batang (Bambang-Tatang; Jancok (Janah-Cokro); Asu (Ardianto -Suseno) dan lain sebagainya ini hanya contoh saja. Mengumbar slogan dan janji manis bertingkah seperti malaikat penolong.

Sambil memaparkan berbagai macam janji-janji manis agar dicoblos. Mereka itu berkorban seperti itu hanya minta coblos. "Coblos aku, terserah kamu mau coblos yang mana," kata narasumber yang tidak dikenal. Dengan beragam latar belakang yang ada dan motif masing-masing calon, ya sudah pasti mengharapkan menjadi pemenang.

Para calon ini datang dari beragam latar belakang. Kebanyakan saya sendiri tidak mengenalinya. Katanya mau membawa aspirasi? kenal saja tidak, jadi ragu saya dalam hati. Beragam motif mereka mencalonkan diri, kebanyakan datang dari desakan dari goa mereka masing, disuruh kepala suku masing-masing goa. Mungkin saja ada tokoh yang dengan percaya diri mencalonkan juga mungkin ada.

Ada tim sukses juga bergerilnya dimaana-mana kepelosok sudut fakultas bila perlu ampai ke toilet dan gorong-gorong kampus. Mencari calon pencoblos untuk diraih hatinya agar mau memilih nama yang diusung. Layaknya Pemilu sungguhan tentu ada tawaran menarik seperti jabatan yang bisa didapat bila para tim sukses bila nama yang diususung menang, ngeri. Jadi tentu tim sukses ini menghalalkan cara termasuk menghalakan yang haram agar ambisi ini dapat dipenuhi.

Indonesia adalah negara yang katanya negara yang memiliki budaya musyawarah mufakat. Namun keterlibatan rakyat dalam pemilihan langsung sepertinya menodai musyawarah mufakat. Sistem pemilihan langsung sama saja dengan voting siapa dengan perolehan terbanyak ialah yang disepakati. Namun musyawarah kita adalah musyawarah yang disepakati bersama dan rasa legowo para pihak, dengan musyawarah mencapai mufakat.

Berbicara dengan pencoblosan dimana para calon pencoblos dapat memlih sasaran coblosnya dimana pun yang ia inginkan. Biasanya mencoblosnya di lakukan dalam bilik. Iyaa dong biar privasi dan tidak menggangu konsentrasi dan kenyamanan dalam mencoblos. Karena katanya coblosan  ini harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil).

Tidak seru apabila sedang asik mencoblos dan ada yang mengintip apa yang sedang kita lakukan. Makanya diciptakanlah bilik pencoblosan, tidak usah tanya siapa yang menciptakan namun ini digunakan untuk menciptakan kenikmatan saat kita sedang mencoblos.

Aura akademik serasa sudah luntur. Kampus dipenuhi aura-aura politik kampus yang semakin mengental. Lebih dikedepankan akal fikiran untuk berdebat dan main kongkalikong dari pada merintis jadi akademisi yang berpengetauan. Ini dampak pergulatan pembentukan miniatur negara di dalam kampus. Cermin dari negara ini.

Tak heran banyak desas-desus kpentingan setiap pemilu raya mahasiswa. Adu saling kuat antar golongan. Semua golongan saling usung nama-nama terbaiknya. Namun apalah daya ketika integritas dan kualitas harus kalah dengan mayoritas. Kalah suara dengan mayoritas, sudah biasa. Bukankah negeri ini juga seperti ini.

 Heran ini kampus atau medan politik, tempat mahasiswa belajar atau wahana pentas calon politisi muda. Tak hayal bila Presiden Mahasiswa atau jajaran dibawahnya terkendali dan terpilih dari mobililisasi dari mayoritas, Minoritas hanya apa? Hanya pelengkap untuk yang sudah lengkap hehehe.

Namun semua orang bungkam hanya bisa bungkam ketika garam kita masih impor padahal kita adalah negara maritim yang memiliki bibir pantai terpanjang. Masih saja bungkam ketika ikan-ukan kita dicuri orang asing. Karena yang dipikirkan bagaimana bisa menjadi seorang Presiden Mahasiswa, Gubenur Mahasiswa, telah lupa kapan haru melawan pimpinan yang zalim.

Praktis sejak Reformasi 1998 masih saja mahasiswa tertidur pulas. Masih asik gendak’an dengan gebetan baru di caffe dengan uang papa mama di rumah. Apakah kau masih terlalu angkuh untuk diseebut menjadi mahasiswa?

Budaya diskusi yang terkikis habis. Diisi dengan kegiatan nongkrong media online. Ketika warung kopi dahulu adalah wahana diskusi, konsumennya sekarang lebih suka jajanan manis es warna-warni. Indeks Prestasi adalah segalanya sebagai modal melamar kerja, sekaligus tahapan melamar si doi. Ijasah adalah bukti kita  sekolah, namun bukan bukti bahwa kita telah berfikir.

Percepat lulus dengan  predikat cumlaude agar dapat kerja mentereng. Adakalanya yang pontang-panting mencari kerja. Kesana kemari ketuk pintu ke pintu para pimpinan. Hmmmm penuh dengan duka dan problematika yang menggelitik. Aku harap aku terbangun dan lekas berangkat kuliah menjadi mahasiswa yang rajin dan tidak suka mbolos. Inikah Democrazy?

Oleh : Bingar Bimantara