Alangkah “Gini-Gini Aja” Hidup Ini





Dibawah langit yang masih kokoh menyangga, dalam suasana yang tenteram. Angin semilir seakan melambai-lambai, diantara gunung-gunung yang menjulang, gemercik air sungai yang masih bisa didengar, hamparan hutan-hutan yang luas nan hijau. Juga sawah-sawah tempat datangnya penghasilan, tempat bekerja, dan seperti telah menjadi rumah kedua bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan. Desa Narima dengan penduduknya hampir keseluruhan bertani, ada yang punya sawah, dan ada juga yang hanya menjadi buruh tani, syukur-syukur bisa selalu dipanggil untuk bekerja di tempat orang yang membutuhkan tenaganya, di sawah. Ya beginilah dan begitulah kehidupan.

 Dibawah teduhan pohon pisang, didekat persawahan. Duduk bersandar Samir dan Wagi yang sedang beristirahat, setelah ngerit padi di sawah milik Pak Karto yang tengah musim panen. Mereka para buruh tani yang mahir dan handal, juga berpengalaman, pembuktiannya dengan selalu dipanggilnya mereka ketika dibutuhkan. Mereka sama-sama masih bujang. Samir adalah seorang pemuda yang hanya lulusan Sekolah Dasar saja, sedangkan Wagi lebih parah dari itu, dia tak pernah mengenyam pendidikan apapun. Dia tak bisa membaca, tak mengenal huruf maupun angka. Yang diketahui Wagi soal angka hanyalah uang, kalau uang dia hafal. Mereka nampaknya kelelahan, Wagi memilih untuk tidur saja. Samir dengan capingnya sedang kipas-kipas, entah kurang nikmat apa angin disana. Mungkin semakin gerah dengan kehidupan yang dijalaninya, dia termenung. Dan matahari sedang tepat berada diatas mereka.

            Hampir setengah jam-an, Wagi bangun mengagetkan si Samir yang tengah terbuai dalam lamunannya, tak lupa masih kipas-kipas dengan capingnya.

“Hooyyyyy” Wagi mengagetkan

“ehhh...” (Samir mengumpat dengan berkata nama-nama hewan dalam bahasa Jawa), namun sambil guyon

“Mir..Mir..melamun saja, ayo lanjut kerja” ucap Wagi

“Gini lho Gi, tak pikir-pikir hidup kita kok gini-gini aja ya. Nggak berubah dari dulu” keluh Samir

“....mmmm....ayo lanjut kerja saja” ajak Wagi.

            Dan mereka berdua melanjutkan pekerjaannya sampai matahari hampir turun pada peraduannya. Sebelum pulang, mereka ke rumah Pak Karto dulu, ya Pak Karto pasti sudah tahu lah apa yang harus dilakukannya. Mereka berdua pulang dengan agak sumringah, utamanya Wagi, hahahaha. Mereka dapat uang, alias gajian. Wagi kipas-kipas dengan uangnya di perjalanan. Dan akhirnya sampai di rumah masing-masing, yang saling berdekatan.

            Malamnya Wagi tengah asyik dipijat-pijat oleh sang Ibu, yang terkadang juga dipanggil pemilik-pemilik sawah untuk bekerja ketika musim tanam, buat tambah-tambah beli kebutuhan sehari-hari. Wagi keenakan sampai akhirnya tertidur pulas. Samir masih terjaga, dia sedang menonton TV yang sudah hampir rusak layarnya, banyak semut-semut yang berkeliaran didalamnya. Melihat debat, Samir mendapatkan informasi bahwa pemilihan umum sebentar lagi akan dilaksanakan. Samir kebingungan karena tak mengerti pidato maupun visi misi yang disampaikan calon-calon yang ada, tambah lama Samir tambah bingung dibuatnya. Dan akhirnya, Samir memutuskan untuk tidur saja. Lama tertidur, Ibu Samir keluar dari kamarnya mematikan TV. Lah ternyata si Samir lupa mematikan TV, malah TV yang menonton Samir sedang tidur.

***
          
  Burung-burung pipit berkicau dengan riangnya, embun-embun juga kabut mulai turun dan menempel semaunya. Udara agak dingin. Suasana pagi yang seperti biasanya di desa Narima yang memang berdekatan dengan gunung. Hari ini Samir dan Wagi bekerja di sawah Bu Roro yang tengah panen juga, beberapa hari yang lalu Bu Roro memang pergi kerumah mereka memberitahukan agar bekerja manen padi di sawahnya. Pagi-pagi buta Samir pergi ke hutan dulu untuk mencari kayu bakar, Wagi menunggu Samir sambil nyetel radio dan minum kopi. Tak lama kemudian, di kejauhan dari arah timur. Terlihat Samir mengayuh sepedanya, dengan mengangkut kayu bakar yang telah penuh di tumpangan sadelnya.

“Ayo Gi, berangkat” ucap Samir

“Siapp, bentar tak ngambil arit dulu” Wagi masuk ke rumahnya

“Aku tak naruh kayu bakar ini juga” balas Samir

            Dan keduanya berangkat dengan sama-sama berjalan kaki ke sawah Bu Roro dengan semangat 45, seperti hendak bertempur di medan peperangan. Mereka mempercepat langkah. Di perjalanan, seperti biasa, mereka sering cerita sambil guyonan. Namun kali ini Samir bertanya agak serius, agak nggak guyon, dan agak-agak yang lainnya. Tapi pasti cekikikan juga akhirnya.

“Gi” Samir membuka

“Hahh, ada apa? Kamu mau ngasih aku uang? Sini” celoteh Wagi

Samir menjawab, “kamu itu duit tok, kamu tau nggak bentar lagi bakal pemilu?

“Loh ya tau lah, dari Ibu, gini-gini aku juga update no kudet” ucap Wagi

“Gayamu Gi, belepotan mulutmu ngomong Inggris, hahaha” jawab Samir.

            Sesampainya di sawah Bu Roro, terlihat Pak Wardi dan Pak Kasmun sudah sampai duluan. Mereka juga buruh tani. Samir dan Wagi menyapa keduanya karena lebih tua dari mereka. Tak berlama-lama, keempat buruh tani gigih itu langsung beraksi, ngerit padi Bu Roro yang telah menguning, menandakan sudah waktunya harus segera dipanen.

            Beberapa jam kemudian. Seperti biasa, ketika matahari sedang terik-teriknya, menandakan waktunya untuk beristirahat. Mereka berempat istirahat di bawah pohon asem yang cukup besar, jelas teduh. Pak Wardi dan Pak Kasmun sudah tertidur duluan. Tak lupa Samir kipas-kipas dengan capingnya, sementara Wagi minum kopi dan makan gorengan yang sebelumnya telah diantar oleh anak Bu Roro.

Samir membuka percakapan, “Gi, perasaanku pas pemilu nanti. Aku ada kerja nyangkul di sawah Pak Prapto”

“Lah iya, aku juga ada kerja” sela Wagi

“La terus?” tanya Samir

“.....” Wagi hanya terdiam

“Lupakan Gi. Hidup kita penuh pilihan sulit ya, jadi buruh tani lagi” ucap Samir

“Udah, syukuri Mir. Walaupun kita Cuma buruh tani, walaupun kita gini-gini aja, hidup ini indah begini adanya. Rejeki nggak bakal ketuker.” Jawab Wagi

“Hahaha, omonganmu kayak orang bener aja Gi. Iya ya, siapa tahu kamu nanti bisa jadi Pak Presiden, pejabat, atau wakil rakyat ya” ucap Samir meledek

“Haduh...aku nggak mau jadi wakil Mir. Aku jadi rakyat aja, walaupun begini” Wagi guyon

“Hahaha, tak tidur aja” kata Samir.

            Dan Wagi yang gantian kipas-kipas dengan caping Samir. Entah kurang nikmat apa angin disana. Dia termenung, yang jelas Wagi bukan mikir pemilu. Wagi gerah juga dengan kehidupan yang dijalaninya.

            Cukup beristirahat, Wagi tersadar dari lamunannya dan membangunkan ketiganya. Membutuhkan waktu sebentar untuk mengumpulkan seluruh nyawa, sambil makan gorengan dan minum kopi dulu. Dan akhirnya mereka melanjutkan kerja. Sampai matahari hampir turun pada peraduannya, mereka baru selesai. Bu Roro datang. Menyerahkan upah hasil kerja mereka. Pak Wardi dan Pak Kasmun pamitan, pulang duluan meninggalkan Samir dan Wagi. Bu Roro pun juga sudah berlalu.

“Kalau gini terus, sugih kita Mir. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” ucap Wagi

“Hahaha, ayo balik” Samir tertawa

“Ayo” balas Wagi

“Alangkah gini-gini aja hidup ini” tiba-tiba Samir teriak

Edan kamu Mir...Mir...” sekarang Wagi yang tertawa.

            Dan keduanya pulang dengan kelelahan yang telah terbayar dengan upah. Kehidupan mereka penuh dengan tawa, walaupun gini-gini dan gitu-gitu aja. Sederhana, mungkin juga penuh dengan pilihan-pilihan sulit. Memang kehidupan.


Oleh: Mohammad Jumhari

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post