Penulis : Fiersa Besari
Kota
terbit : Jakarta
Penerbit
: Mediakita
Tebal
: Vi + 238
hlm
ISBN
: 978-979-794-535-0
“Seperti apakah warna cinta? Apakah
merah muda, mewakili rekahannya, ataukah
kelabu mewakili pecahannya?”
Fiersa
besari yang biasa disapa “Bung”, ialah
seorang lelaki beruntung kelahiran Bandung 3 Maret. Menyelesaikan pendidikannya
di jurusan Sastra Inggris STBA Yapari ABA, Bandung. Kecintaanya pada dunia
musiknya malah membuka studio rekaman yang membuatnya banyak mengenal musik, sekaligus mengembangkan karir musiknya. Sebelum
mengalami fase patah hati, dan akhirnya berkelana keliling Indonesia selama
tujuh bulan untuk mencari jati diri. Sekembalinya dia menjadi lebih mencintai
dunia tulis menulis, meski seringkali terendus aroma cinta dalam
karya-karyanya Konspirasi Alam Semesta merupakan buku kedua Bung setelah Garis Waktu.
“Cinta memang
bukan soal tipe, dan kita bisa terjatuh kapan saja tanpa syarat. Mencintaimu,
merupakan kejutan terindah yang pernah kehidupan berikan padaku. Di cintaimu,
merupakan bingkisan yang lebih indah,”.
Tumbuh
dikeluarga sederhana dan keluarga paragmatis yang harus senatiasa menunduk pada rezim Orde Baru. Kenapa tidak?
karena seorang pamanya adalah anggota
“Lekra”, dan sang ayah sering menjadi simpatisan Lekra. Keluarganya harus
terseret-seret di cap “Kiri”, Anak
Ek-stapol, musuh negara, penghianat .
Orang
bilang ia memiliki ingatan fotografis
yang mampu merekam jelas peristiwa yang telah terjadi. Salah satu episode
hidupnya saat berusia delapan tahun, kala seorang anak bongsor memukulinya
dengan alasan yang tidak jelas. Ia masih mampu merekam mimik seorang guru SMP
yang memberi pernyataan bahwa ia berasal dari keluarga “eks-tapol”, bahkan
semua tentangga membencinya karena “gelar” tersebut.
Lelaki
kumal tubuhnya kurus dibalut jaket denim
lebel menyusuri lorong Palasari Bandung. “Juang “ yang berarti perang
sedangkan “Astrajingga” anak tertua. Juang Astrajingga yang tidak percaya akan cinta pandangan pertama,
harus menelan ludahnya sendiri
dan merasakan ada yang berhasil mencuri hatinya dalam perjumpaan yang sekejap mata.
Kemudian semesta seolah-olah berkonspirasi, merencanakan pertemuan juang dengan gadis cantik
Ana Tidae anak dari seorang sinden. Menyatukan bahkan memisahkan hal-hal yang
sudah semestinya terlihat, alam semesta berkonspirasi membolak balikkan mimpi,
rasa, tujuan dan harapan.
Rasa
diantara keduanya berada dalam waktu yang salah, Ana yang sudah di
taklukan Deri, sedangkan Juang
meletakkan semesta padanya. Kemudian ia mendengar suara dari kejauhan
“Sekiranya kau
laki-laki, apa pantas berpijak
Di atas keplin-planan?
Rela kau diinjak-injak ? Tega kau bersenang-senang di atas pengkhianatan.
Sejahat
apapun seseorang ujug-ujungnya akan mendengarkan hati nurani. Bahkan tangan
yang menutup rapat telinga pun akan lelah. Dan itu yang dirasakan Juang. Akan
tetapi Ana menemukan sosok lai-laki yang selama ini ia idamkan terdapat dalam
diri Juang. Novel ini tidak hanya menceritakan sepasang anak manusia. Tetapi, menceritakan tentang
perjalan petualangan juang dan juga dua orang temannya Dude dan Budi
sebagai seorang wartawan, Juang diberi tugas untuk mewawancari anak dari
seorang sinden Shinta Aksara yang pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah
dunia. Tapi seakan dilupakan negerinya sendiri. Bahkan sewaktu sinden itu meninggl
tak pernah ada pehatian tertentu dari negaranya.
Bus
membawa rombongan yang berisi Dude Ginting, Juang Astrajingga, Ana Tidae dan
Anisa Prem, meninggalkan Bandung menuju desa Bambangan yang akan mengantarkan
empat orang itu pada jalur pendakian. Kabut tengah menghalau pandangan tatkala
mereka datang, jam lima subuh perjalana dimulai. Ana yang tidak terbiasa
mendaki harus merasakan keluh kesahnya di setiap perjalanan, akan tetapi ada Juang yang selalu menemaninya meskipun Dude
dan Anisa berangkat telebih dahulu.
“Gunung bikin capek
lebih enak di rumah, hangat dan nyaman,” gerutu Ana, lalu Juang
membalasnya “Puncak gunung itu seperti
cita-cita. Saat kita memulai perjalanan, kita terjatuh dan bangkit berulang
kali. Kita menemukan siapa diri kita yang sesungguhnya dalam perjalanan menuju
puncak. Misalnya kita gagal, terus tidak bisa sampai ke puncak, bukan berarti
perjuangan selama perjalannya sia-sia. Kita belajar untuk menjadi manusia yang
lebih baik ,”. Lalu mereka menikmati langit, “ Juang ILYA,” Teriak
Ana. Juang tersenyum seolah-olah
tidak mengerti I Love You Always, lalu Juang tersenyum membalasnya “ILYA,”.
Juang
Astrajingga tak hanya mencintai Ana, keluarganya, ibu dan bapaknya. Dalam
dirinya penuh akan cinta pada negeri ini dan seisinya, ia tak bisa duduk diam
meratapi hidup sementara Indonesia memanggilnya. Tatkala Juang harus berangkat
ke Papua untuk membuat film dokumenter
tentang anak-anak bangsa di Papua dan budaya mereka, pertengahan bulan
April ia dan dua teman jurnalisnya berangkat.
Ruang imajinasi milik Dude Ginting selalu menjadi
tempat berkencannya Ana dan Juang, Ana
duduk termenguk menunggu kabar dari Juang dikarenakan mereka harus merasakan LDR selama tiga bulan, dan karena
keterbatasan sinyal sulit sekali bagi juang berkomunikasi. Papua yang saat itu
sedang berkonflik sulit sekali bagi juang dan rekannya untuk meliput, ia tidak
tahu harus memulainya dari mana. Niat awal hanya sekedar untuk menggali lebih
dalam tentang sejarah Papua, bukan tentang sejarah pertikaian prinsip akan
tetapi, disana Juang dan rekannya bertemu dengan seorang sahabat Sang Jenderal
Pace Johan. Telah tiba di Bandar Udara Sentani. Usai sudah perjalan Juang dan
rekannya di tanah Papua “Kau punya negara tetap musuh saya. Tapi
kau, Juang Astrajingga, adalah saya punya saudara,” tutup Pace Johan.
Seketika
pulang dari perjalan panjangnya selama berbulan-bulan, kini alam mengujinya
kembali dengan kabar ibunya sakit dan meninggal dunia, lagi-lagi Juang harus
bertahan kuat menerima kenyataan hidup yang dijalaninya. Lagi-lagi alam tidak
pernah berhenti menguji, ketika Juang tahu bahwa Ana menderia Kanker tumor di
kepalanya yang selama ini ia sembunyikan dari Juang. Dengan semangat yang kuat akhirnya Ana
terbebas dari kanker tumor yang selama ini menggerogoti batok kepalanya.
Juang
Astrajingga lagi-lagi membuat Ana penasaran, membawanya kesebuah tempat kebun
teh yang terletak dibawah bukit didapatinya sebuah rumah kayu bercat putih,
dengan gaya khas Amerika tahun empat
puluhan beratap cokelat tua rumah yang selama ini ada di mimpi Ana. Sebagai
hadiah ulang tahun untuk Ana, Ana merupakan warisan dari Kakek pihak Ibu Juang.
Rumah kayu bercat putih jadi temat langganan Ana singgah untuk mengerjakan
skripsi.
Hari
telah tiba dimana Juang sudah menghalalkan Ana, disaat kebahagian menghampiri
mereka lagi-lagi alam mengujinya. Dimana Juang dipanggil negeri ini
membutuhkannya, dengan keterpaksaan Ana harus merelakan keberangkatan Juang “Kamu dan Indonesia adalah sejuat pesona
yang disampuli oleh rasa sakit. Bedanya kamu sudah sembuh dari sakit ini tapi
negeri ini belum,” tutur Juang. Dimana Juang Astrajingga menjemput ajalnya
di Gunung Sinabung karena terkena larva panas. Sangat terpukul bagi Ana
mendengar Juang meninggal dunia , ILYA merupakan karunia tuhan titipan Juang
untuk Ana, bayi perempuan mungil nan cantik merupakan buah kasih dan sayang
dari Ana dan Juang.
Keunggulan
dari novel ini menarik bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami alur
ceritanya runtun dan berurutan, dan alur ceritanya yang sangat sitematis dan
faktual seakan-akan berada di dunia nyata. Untuk kekurangan Novel ini setiap
puisi terkadang ada yang tidak mengerti maknanya. Pesan yang dapat dimbil dari
Novel ini mengajarkan pada kita arti sabar, tegar dan pantang menyerah.
Oleh:
Fitria Ningsih
Comments