Keadaan negeri ini, sekarang, amat amburadul. Katanya menjunjung tinggi demokrasi tapi kelakuannya kok semprul. Penguasa-penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk kalangan sendiri. Sungguh Indonesia sedang mengidap penyakit akut. Dasar, kucrut.
Sesal tuk dikatakan bahwa saat ini Indonesia berada dalam zona yang tidak nyaman, negeri ini berada dalam konteks "ada apanya". Sudah tujuh puluh empat (74) tahun merdeka eh ternyata tidak lantas mendewasakan diri (pejabat yang diatas sono). Kekuasaan hanya sebagai ajang permainan dan pemuas nafsu, serta sebagai alat untuk memudahkan urusan kalangannya sendiri. “Kita menjunjung tinggi asas demokrasi” (katanya), namun praktiknya justru membungkam demokrasi. Mantap, paradoks sekali.
Marwah demokrasi tak lantas dijunjung tinggi, rakyat kecil menjadi imbasnya; menjadi korban atas ke.......an (isi sendiri) 'wakil'nya. Ya wakil rakyat yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang amat terhormat (katanya) itu. Wong dadi ‘wakil’ (rakyat) kok arep kemlinti. Hadeh tobat. Lantas apakah yang mereka lakukan saat ini atas dasar aspirasi dari publik? Seluruh rakyat? Zonk.
Negara telah mengorupsi demokrasi dengan membuang jauh-jauh marwah dari demokrasi itu sendiri. Indonesia sedang geger. Tak menutup kemungkinan bahwa aksi semacam tahun '98 akan terulang kembali di tahun ini. Berbagai polemik bermunculan dan tak kunjung selesai, bahkan diremehkan dan nampaknya dilupakan. Tambah absurd saja kehidupan ini. DPR menjelma menjadi perawakan Don Quixote, tak lagi menunggangi kuda melainkan mengendarai mobil. Yang mendapatkan sebuah legitimasi menjadi kesatria yang terhormat setelah memberikan kegelisahan dan ketakutan bagi orang-orang.
Perhatian publik saat ini mengarah kepada Presiden Joko Widodo. Bagaimana sikap beliau, akankah menghentikan ini semua atau membiarkannya berlanjut. Polemik dari berbagai peraturan; dalam hal ini adalah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), RKUHP, dan RUU yang lainnya. Dalam UU KPK contohnya, revisi ini akan menggoyahkan bahkan mematahkan sendi-sendi penting pemberantasan korupsi yang antirasuah.
Terdapat poin dalam UU itu yang dapat melemahkan KPK, diantaranya adalah pegawai KPK akan menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) bukan lagi suatu entitas yang independen; terpisah dari eksekutif. Jelas, jika sudah seperti ini, mau tidak mau KPK akan tunduk terhadap struktur sistem birokrasi. Lazimnya kan begitu. Selanjutnya adalah membatasi gerak dari KPK itu sendiri, bahwa KPK harus merekrut penyidik hanya dari kepolisian. Yang tak kalah meresahkan (baca: pekok) lagi, adanya rencana pembentukan dewan pengawas oleh DPR yang terhormat (katanya) yang memiliki wewenang untuk memutuskan perihal apakah penyidik KPK boleh melakukan penyadapan, penggeledahan, maupun penyitaan. Lak lucu. KPK sedang dikerangkeng bila seperti ini.
Kita tidak dapat memastikan apakah mereka yang diatas sana sedang kongkalikong dengan para cukong atau bagaimana, kita hanya dapat menduga. Yang jelas ada yang tidak mau kepentingannya terganggu karena KPK, maka dari itu dilemahkan. Bagaimana? Sudah bisa berimajinasi dan mengawang-ngawang? Betapa 'cerdasnya' wakil rakyat kita yang terhormat (katanya) itu. Atas hal ini, bisa saja pemberantasan korupsi akan sangat minim karena hanya berputar-putar dan cekcok sendiri saja dalam internalnya. Huuh.. (tiiit...sensor) mau bicara kotor takut dibilang nggak sopan.
Beda lagi urusannya dengan RKUHP yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang dianggap kontroversial. Sebut saja salah satunya bahwa “pengkritik presiden atau negara akan dipenjara.” KUHP sekarang ini yang merupakan peninggalan Belanda ada juga yang mengatur demikian, namun kemudian dihapuskan karena jelas mencederai rasa demokrasi. Eh ndilalah, rancangan yang baru kok mengatur lagi. Ya kalau bukan mencederai demokrasi? Apa lagi namanya ya kan.
Bisa dibayangkan jika RKUHP ini disahkan, tidak akan ada lagi yang namanya demo yang menuntut keadilan dari kalangan mahasiswa, akademisi, atau dari siapa pun yang hendak menggaungkannya. Karena apa? Ya akan dipenjara jika berbuat demikian. Jelas hal ini sudah tidak sesuai dengan Pasal UUD NRI 1945 kita yang menyatakan seseorang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat. Semua dibungkam. Semua menjadi diam. Tiada kebebasan, muluslah jalan mereka menuju keotoriteran.
Masa depan nampaknya amat menakutkan bila rancangan ini benar-benar disahkan. Kebebasan berpendapat akan dikekang oleh penguasa. Dalam dunia jurnalistik contohnya, kebebasan pers dari jurnalis sendiri maupun citizen journalism adalah diprioritaskan adanya bullshit; omong kosong. Belum lagi pasal-pasal kontroversial lainnya. Huuhh.. (tiiit..sensor) mau bicara kotor lagi takut dibilang nggak sopan.
Kita tahu, mau tidak mau jika semua ini sudah disahkan. Semua orang akan dianggap tahu hukum. Dalam ilmu hukum disebut fiksi hukum, semua orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure) tak terkecuali petani ataupun rakyat yang tinggal di pedalaman sekalipun. Kalau sudah begini kan rakyat juga yang susah.
Bagaimana kiranya para pendahulu kita; para pejuang bangsa ini. Mungkin mereka kecewa dan mungkin juga menangis jika melihat keadaan saat ini. Lama-lama kok semakin tidak waras saja. Gara-gara DPR seng keturon, aksi di mana-mana, menuntut kebenaran. Kadang yang membuat terpingkal-pingkal adalah poster maupun spanduk dari pedemo. Tulisannya nyeleneh-nyeleneh namun kreatif, mau tidak ketawa tapi lucunya bukan main. Heuheu.
Tidak sesal tuk diakui, bagi siapa pun orang yang waras di negeri ini. Bahwa DPR yang terhormat (katanya) sedang sakit. Seharusnya DPR menjadi penyambung lidah rakyat bukan malah mematikan rakyat. Nah semua ini buntutnya tergantung Pak Presiden juga, bagaimana sikapnya atas berbagai polemik yang ada. Apakah ikut legislatif, wakil rakyat yang terhormat (katanya) atau mendengarkan desakan dari rakyat-rakyat kecil nantinya. Ditunggu saja. Panjang umur keadilan.
Oleh: Mohammad Jumhari
Comments