"Perang tidak begitu mengerikan bagi pemerintah, karena mereka tidak terluka atau terbunuh seperti orang biasa - Marie Colvin."
Sutradara : Matthew Heineman
Pemeran : Rosamund Pike, Jamie Dornan, Tom Hollander, Stanley Tucci
Berdasarkan : “Marie Colvin’s Private War” oleh Marie Brenner
Negara : Amerika Serikat
Durasi : 150 Menit
Tanggal Rilis : 02 November 2018 (AS)
Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang jurnalis di medan perang. Dua tahun sebelum kematian menjemputnya, Marie Colvin, seorang koresponden The Sunday Times sempat memberikan sebuah pidato tentang betapa pentingnya peliputan perang. Nyaris 30 tahun, Colvin berkarir menjadi wartawan perang.
Colvin tewas kena mortir di Homs, Suriah bersama fotografer Remi Ochlik dari Prancis pada Februari 2012 saat pasukan Suriah melancarkan serangan mortir dan rudal di bangunan tempat darurat para jurnalis asing berkumpul. Tersiar juga kala itu kalau pemerintah Suriah secara jelas mengancam akan membunuh jurnalis Barat yang ditemukan di Homs. Sehingga pemberitaan ramai menyebut rezim Bashar al-Assad memang sudah menargetkan lokasi para jurnalis asing sebagai sasaran.
Perang akan selalu dibayar dengan nyawa. Risiko yang harus siap ditanggung jurnalis perang. Colvin mengakui pekerjaan yang ia pilih adalah sebuah panggilan yang sangat sulit. Namun kebutuhan terhadap informasi dari garis depan, melakukan pelaporan seobjektif mungkin, menurutnya tidak pernah lebih menarik.
Sikap watak Colvin merepresentasikan panggilan profesi seorang jurnalis. Melaporkan dari lapangan, termasuk dari garis paling depan medan perang. Hal itu jauh lebih penting dan utama ketimbang merasa cukup dan puas mengantongi informasi dari ujung telepon.
Enam tahun setelah kematiannya, di sekitar sepuluh tahun terakhir kehidupan Marie Colvin, difilmkan Matthew Heineman dengan merujuk pada tulisan Marie Brenner: Marie Colvin’s Private War yang dimuat di Vanity Fair, Agustus 2012. Sosoknya diperankan Rosamund Pike.
Rosamund Pike mewujud menjadi Colvin yang menyadari benar meliput perang sudah pasti pergi ke tempat berbahaya, penuh kehancuran, dan dekat dengan kematian. Mereka, para wartawan di medan perang juga berperan menjadi saksi atas banyak peristiwa kemanusiaan di tengah tugas besar mencari kebenaran di tengah propaganda pihak yang terlibat konflik dan perang.
Keberanian Marie Colvin seorang wanita punya harganya sendiri. Sosoknya menjadi legenda dengan ciri khas sebelah matanya yang ditutup bak bajak laut. Sepak terjangnya dalam tiga puluh tahun berkarier tercatat dalam banyak laporan. Ia juga salah satu wartawan yang pernah mewawancarai diktator Libya, Moammar Gaddafi. Ia juga menjejakkan kakinya di kawasan berbahaya di Sri Lanka, zona perang di Irak, Timor Leste, Chechnya, dan Kosovo.
Colvin kehilangan sebelah matanya digambarkan dalam film ini. Saat Colvin disergap Angkatan Darat Sri Lanka. Colvin digambarkan sempat menyerah, menyebut identitas jurnalisnya, ia mengangkat kedua tangannya, namun ledakan besar terjadi di dekatnya. Colvin kehilangan mata kirinya setelah diam-diam memasuki daerah yang dikuasai Macan Tamil di Sri Lanka pada 2001.
Kehilangan sebelah mata tak membuat ia gentar. Ia tetap memilih berada disisi terburuk di dunia. Begitu pun saat Colvin didiagnosis mengalami gangguan stress pascatrauma (PTSD), ia masih bersikeras tetap meliput kawasan konflik hingga harus adu pendapat dengan bosnya, Sean Ryan yang menahannya untuk melakukan peliputan di kawasan berbahaya.
Bukan rentetan dari beragam strategi perang yang menarik perhatian Colvin, melainkan kehidupan manusia yang menerima konsekuensi perang yang menjadi fokusnya. Ia ingin selalu pergi dan berada ditempat paling kejam di dunia untuk memberikan kesaksian tentang apa yang dilakukan manusia terhadap manusia.
Maka bohong apabila kehidupan seorang jurnalis perang akan baik-baik saja. Colvin kerap mengalami mimpi buruk. Bayang-bayang korban perang kerap hadir, belum lagi ia punya ketergantungan terhadap alkohol yang begitu tinggi.
Semua sisi psikologis Colvin ini digarap dalam A Private War, alih-alih menunjukkan sisi heroisme seorang wartawan perang dengan kesuksesan melaporkan kisah perang, meski tak ada yang salah dengan hal ini.
Pike hadir dalam sosok perempuan yang rambutnya nyaris selalu acak-acakan, tak lupa alkohol dan rokok yang nyaris selalu ada di tangannya kala menulis. Di balik penampilannya yang semrawut, Colvin menggenakan La Perla di balik busanan dan jaket antipelurunya. Ia berdalih, agar saat mayatnya dievakusi dari parit ia bisa membuat orang terkesan. Colvin, masih punya sisi humor yang sebetulnya miris.
Colvin pun bisa membalas saat ada pertanyaan dari mana ia mendapat penutup mata yang ia pakai dengan jawaban pendek “at treasure island,” daripada ia kudu bercerita soal momen tragis yang ia alami di Sri Lanka.
Pike berhasil menjelma menjadi Colvin dengan raut wajahnya yang senantiasa serius, suara yang berat dan tegas, kerap penuh tekanan, namun ia juga tetap bisa hadir sebagai sosok yang hangat bagi beberapa kawannya, berhati-hati saat mewawancara korban, tegas di hadapan para penguasa. Baginya, perang tidak begitu mengerikan bagi pemerintah, karena mereka tidak terluka atau terbunuh seperti masyarakat sipil.
A Private War menunjukkan dampak kerja Colvin yang tak kenal takut di tengah kengerian perang yang semuanya memuncak pada kematiannya di Suriah. Momen-momen Colvin menyelinap ke kota Homs melalui terowongan rahasia, perjuangannya bertahan hidup usai terkena serangan granat yang membuatnya harus merelakan sebelah mata diperankan Pike begitu bernas, sehingga banyak adegan tersaji dan terasa begitu nyata.
Pike juga menunjukkan sisi rapuhnya Colvin. Bagaimana kesulitanya menghapus trauma, hingga kerap dibayangi mayat anak perempuan di atas ranjang, atau juga sisi kehidupan pribadinya yang sulit punya keturunan.
Saat Pike melakukan adegan wawancara tentang bentrokan yang terjadi di Homs dan bercerita soal kematian seorang anak, ini wawancara terakhir yang dilakukan Colvin sebelum ia tewas. "Kematian bayi itu hanya menyedihkan," katanya kepada CNN. Colvin menyatakan kekecewaan dan kesedihannya yang mendalam saat itu. Kematian anak yang menurutnya baru menjadi salah satu dampak kekerasan yang terjadi di Homs. Karena itu medan perjuangan terakhir Marie Colvin adalah Horm atau Baba Amr.
Sedikit kata untuk mengomentarinnya. Film ini keren dan meningkatkan jiwa barbar.
Oleh: Lutfy Susila Adi I.
Tags
Resensi