"Apa yang paling kita banggakan ialah yang tidak ada pada kita - halaman 48."
Judul Buku : Kappa
Penulis : Ryunosuke Akutagawa
Penerjemah : Winarta Adisubrata
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Cetakan Pertama, Juni 2016
Tebal Buku : iv + 83
ISBN : 978-602-424-095-0
Karikatur kehidupan masyarakat modern Jepang yang maju setelah mengalami zaman teknologi modern tetapi mengalami kemerosotan derajat rohani, digambarkan Akutagawa melalui novel Kappa ini.
KAPPA ITU mirip anak manusia umur 10 tahun. Biasanya mereka tidak memakai busana (Baca: telanjang). Berdirinya tegak dan dapat bicara dengan bahasa manusia. Kepalanya yang berambut pendek mempunyai cekung yang berisi air sedikit. Hidup di air, biasa keluar di malam hari untuk mencuri semangka, apel, dan hasil ladang lainnya. Itulah sedikit pengantar yang menjelaskan tentang karakteristik Kappa. Jelasnya mereka memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki manusia sekalipun.
Singkat cerita, sebenarnya novel ini mengisahkan seorang lelaki berusia tiga puluh tahun, penghuni kamar nomor. 23 sebuah Rumah Sakit Jiwa di pinggiran kota Tokyo. Kegilaan dari tokoh utama ini dan kewarasan manusia diluarnya bisa dikatakan sebelas-dua belas. Ke nyeleneh an kisah ini berawal dari pertemuannya dengan makhluk misterius atau yang disebutnya Kappa.
Bagaimana pertemuan itu bisa terjadi?
Bermula dari perjalanannya mendaki Gunung Hodaka melalui Lembah Azusagawa tanpa petunjuk jalan. Di tengah-tengah perjalanan, saat ia sedang mengejar seekor Kappa yang dilihatnya kala dirinya sedang beristirahat, ia terpelosok ke dalam lubang kegelapan yang kelam hingga membuatnya tak sadarkan diri. Ketika laki-laki tersebut sadar, ia sudah sampai dan hidup terdampar di dunia Kappa.
Satu atau dua pekan, menurut hukum di negeri Kappa. Laki-laki ini harus tinggal di sebelah rumah Chack sebagai penduduk yang dilindungi secara istimewa. Silang hari ia mulai menepakkan diri, bahkan banyak sekali hal-hal baru diluar logika yang baru ditemunya.
Lambat laun, lelaki itu mulai bosan tinggal di dunia Kappa dan berkeinginan tuk kembali ke dunia asalnya. Dengan bantuan serta informasi yang diberikan oleh Kappa tua yang hidup tentram dengan suling dan buku di rumah kecilnya. Ia pun dapat kembali ke kehidupan asalnya melalui semburat cahaya yang bundar pada langit cerah dan terang benderang.
Sayangnya setelah berhasil kembali ke dunia manusia, ia malah sangat terganggu oleh bau-bau kehidupan di sekelilingnya. Jika dibandingkan, Kappa jauh lebih bersih. Sialnya lagi, polisi membawanya ke rumah sakit karena katanya ia menderita dementia praecox. Padahal, menurut dokter di dunia Kappa, keadaan laki-laki itu sehat wal'afiat.
Tentunya novel ini dapat dikatakan mengejutkan dan menggelikan. Bayangkan saja, jika di dunia manusia pembatasan kelahiran dilakukan dengan program keluarga berencana ataupun jika si perempuan sudah terlanjur hamil dan tak bermaksud melahirkan maka pembatasan kelahiran dilakukan dengan menggugurkan kandungan atau aborsi yang selama ini oleh manusia dianggap suatu perbuatan yang biadab.
Hal itu berbanding terbalik dengan kehidupan Kappa, dimana sang jabang bayi itu sebelum keluar dari lubang peranakan sudah lihai berbicara untuk memilih ingin dilahirkan atau tidak. Saat si bayi memilih untuk tidak ingin dilahirkan, perut si ibu yang asalnya gendut menjadi kempis seperti balon karet yang kehilangan udara. Jika ditinjau dari sudut pandang pembaca, tak ada yang lebih lucu daripada cara Kappa melahirkan.
Sangat menarik dan imajinatif, itulah kata yang cocok untuk mengomentari novel ini. Pembaca juga akan disuguhkan perjalanan surealis antara dunia manusia dan dunia Kappa. Pun sindiran-sindiran sosial yang secara implisit dimunculkan di dalamnya menjadi nilai lebih tersendiri bagi pembaca. Diketahui pula, novel ini ditulis tak lama sebelum Akutagawa meninggal karena bunuh diri. Kejadian yang bisa dibilang hampir sama dilakukan oleh salah satu tokoh penyair dalam novel tersebut.
Oleh: Lailiyatus Shofiyah
Oleh: Lailiyatus Shofiyah
Tags
Resensi