Balada Kehidupan



“Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati. Dari mana datangnya duit? Dari kerja turun ke bini. Jiiaahhh... Hahaha.” Celetukan receh si Gembul kepada salah satu temannya sesama sopir pemandu wisata kelas 'kampung'

Pagi yang tak pernah ada bedanya bagi mereka; asap kendaraan yang hitam dan pekat itu selalu membubung ke langit, tak pernah kenal waktu. Manusia di negeri ini senang sekali memelihara kendaraan pribadi, entah motif apa yang mereka simpan di baliknya. Gembul dan teman-temannya sesama sopir pemandu wisata tentu akan terpacu adrenalinnya ketika berada di jalanan. Gejolak antara uang yang harus tepat sasaran dan macet yang menjadi penghalang pun berkepanjangan. Sebab jalanan dipenuhi oleh kendaraan pribadi yang menumpuk sesak tak karuan.

Hari itu, tepat giliran si Gembul yang menjalankan tugasnya. Teman-teman yang lain sedang leha-leha sembari minum kopi dan menyetel musik dangdut dari radio yang lumayan bobrok suaranya. Beberapa tengah berjoget dengan syahdunya, tak lupa pula ada yang ikut bernyanyi. Sialnya, suaranya sumbang luar biasa. Dia enggan menyadarinya, terkutuklah!!!!. Manusia di negeri ini sangat percaya diri dan memiliki semangat luar biasa. Patut diacungi jempol. Produk unggulan jawabnya, hehe.

Tiba waktunya Gembul untuk mengantarkan turis-turis baik lokal maupun luar negeri ke tempat tujuan yang telah disepakati. Dia menikmati pekerjaan ini. Konsistensi baginya dan negerinya adalah prinsip yang harus dipegang teguh. Ini sudah menjadi cerminan bangsanya.

Semua penumpang sudah masuk ke dalam bus yang terlihat reyot sana sini. Tapi syukurlah tak ada yang protes, turis lokal tentunya sangat terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Tak ada yang aneh bagi mereka. Lamat-lamat bus itu berjalan namun beriringan dengan sebuah pertanyaan yang datang dari seorang turis asal Jepang bernama Katsuo. Ia duduk di depan, tepat di samping Gembul yang sedang menyetir. Untung saja, rupanya Katsuo sudah lumayan mahir berbahasa Indonesia, karena di Jepang dia sedikit-sedikit mempelajarinya. Jadi tak perlu lah si Gembul ambil pusing.

"Maaf pak sopir, kenapa bus yang sudah jelek begini masih dipakai (di negeri ini) ya?" Tanya Katsuo penasaran.

Wah, ini bukan pertanyaan yang sulit bagi Gembul. Sudah terlalu terbiasa menjawab hal-hal seperti ini. "Kami bangsa yang amat mencintai konsistensi dan menyayangkan yang namanya mubazir, mas Katsuo. Kalau masih berfungsi kenapa tidak, reyot sana-sini tak menjadi masalah." Sambut Gembul penuh percaya diri
"Prokk... Prookkk... Prookk..." Tepuk tangan riuh dari Katsuo yang terkesima dengan jawaban Gembul yang mantap.

Sesampainya di jalan besar, macet mulai terjadi dan tak mungkin dihindari. Dari ujung sana sampai ujung sini tempat bus itu terdiam, tak ada celah sedikit pun. Lama, pengap, karena AC di dalam bus kebetulan sedang tertidur pulas, tak tega untuk membangunkannya. Bau-bau ketiak yang tak diundang kehadirannya pada bermunculan. Beberapa terkapar, pingsan, dan yang lain membantu mengolesi minyak kayu putih agar siuman. Beberapa lagi hanya bisa kipas-kipas sana sini, memakai benda apa pun yang mereka lihat. Untuk satu hal ini lagi, 'kreatif', manusia di negeri ini sudah terlalu lihai dalam mengaplikasikannya, mengusir bebauan itu. Tak perlulah untuk disebutkan, takut dikiranya menjadi bangsa yang sombong.

***

Kepulan asap hitam dari masing-masing knalpot kendaraan menghiasi langit di atas mereka. Salah satu pemandangan yang khas dari negeri ini di beberapa sudut di kota-kota besar. Panorama yang menjadi kualitas unggulan di saban harinya. Lambat laun saking lamanya kemacetan terjadi, beberapa orang minta izin keluar. Ada yang kebelet hendak ke toilet, ada yang ingin membeli es, ada yang pamit untuk mengerjakan skripsi, ada juga yang membeli es sambil mengerjakan skripsi (?). Setiap jamnya bus hanya berpindah posisi beberapa meter saja ke depan, begitu terus, konstan. Sial.

Jelas yang paling tak terbiasa adalah Katsuo, ia masih belum mengenal budaya-budaya di negeri ini. Untuk memecah kebuntuan, Gembul menyetel radio yang ada di busnya. Musik dangdut berkumandang dengan khidmat di tengah-tengah kemacetan yang melelahkan. Untungnya, beberapa orang manggut-manggut selaras dengan alunan musik dangdut.

Dua jam terjebak kemacetan, schedule yang sebelumnya dipersiapkan menjadi hancur berantakan. Gembul meminta maaf kepada semua penumpangnya karena tak bisa menyesuaikan jadwal. Setelah kurang lebih selama dua jam terjebak di kemacetan tersebut, akhirnya bus bisa kembali melaju dengan normal, sampai saatnya bertemu dengan lampu merah di ujung perempatan besar di depan. Hitungan sampai lima puluh untuk berganti ke lampu hijau. Lama, membosankan, tentunya. Panas pula.

Hingga saatnya angka itu menunjukkan angka lima, klakson-klakson kendaraan berbunyi dengan nyaringnya, bersahut-sahutan begitu ramainya.

Tiiittt... Tiiitttt.... Tiiittt....
Oyyy... Yang di depan, buruan dong
Udah mau ijo tuh....
Cepetan gaiss !!!! Gue buru-buru nih....
Keparat.... Sial....

(Beberapa cuitan orang-orang yang tidak sabaran, alih-alih sudah ada juga yang melaju begitu kencang. Menerobos lampu merah yang sebenarnya tersisa beberapa detik saja. Ngeengggg... Breeeemmm...)

Rupanya hal ini kembali menimbulkan pertanyaan pada diri Katsuo, sembari bus itu bergerak lagi karena lampu yang telah berganti ke warna hijau. Ya wajar saja Katsuo keheranan, belum begitu terampil dalam menerjemahkan peristiwa-peristiwa di negeri ini. Sementara yang lain begitu lihai dengan keadaan yang tengah dihadapinya.

"Lagi-lagi saya dibuat terheran-heran, Pak. Mengapa pula mereka membunyikan klakson begitu nyaringnya, bersahut-sahutan? Padahal lampu masih merah dan sisa lima detik lagi." Tanya Katsuo.

"Yah, Mas Katsuo. Ini lagi yang patut kami banggakan. Sampean nggak tahu sih... kami adalah bangsa yang suka bergotong-royong, bahu-membahu dan bekerja sama, serta memiliki semangat yang menggelora. Sampean lihat tadi kan, betapa semangatnya orang-orang. Ini menunjukkan karakter bangsa yang kuat, semangatnya tinggi, lampu merah saja diterobos. Klakson-klakson tadi dibunyikan bertujuan untuk membuat ciut nyali si lampu merah. Sehingga detiknya ke lampu hijau beralih lebih cepat. Begitulah, kiranya jawabnya Mas." Jawab Gembul panjang lebar berapi-api.

Sempat terkaget dengan jawaban Gembul, Katsuo hanya mampu tepuk tangan dan manggut-manggut ala kadarnya, "Karakter bangsa Anda sungguh kuat, Pak." Puji Katsuo.

"O ya jelas. Ini sudah menjadi prinsip." Respon Gembul sambil memonyong-monyongkan bibirnya

***

Tiba di tempat wisata pertama, sebuah pantai yang panoramanya indah. Namun sayang sekali, sampah-sampah plastik pada berserakan. Utamanya bekas makanan ringan dan botol minuman. Sudah ada tempat sampah tapi tak dihiraukan, ya kalaupun tak menemukan tempat sampah kan bisa dibawa pulang.

Mau tidak mau para turis penumpang Gembul harus tetap menikmatinya. Saat yang lain pada sibuk bermain air, Katsuo lebih memilih berteduh di bawah pohon-pohon nyiur. Gembul bergabung dan duduk bersamanya. Nampak sesuatu yang ganjil di benak Katsuo, namun urung mengutarakan dan menanyakannya pada Gembul. Desir angin yang begitu kencang cukup melegakan tubuh yang sedari tadi kepanasan di dalam bus. Walaupun lagi-lagi aroma sampah cukup menyengat terbawa angin dan berbau bacin. Menghempas tubuh mereka.

"Apa yang kau pikirkan Katsuo? Nampaknya ada sesuatu yang ingin kau tanyakan. Terus terang saja, apa pun pertanyaanmu itu pasti bisa kujawab." Ucap Gembul.

"Begini, Pak. Betah sekali negeri Anda yang indah ini dengan keadaan seperti ini ya. Baru satu hari saja sudah cukup melelahkan bagiku. Tapi lihat mereka (menunjuk penumpang-penumpang lain), masih saja sempat-sempatnya bermain air. Aku lelah." Jawab Katsuo.

"Maklum saja lah, kau bukan asli sini. Kami-kami ini sudah terbiasa, tubuh kebal, (sampah berserakan) sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang susah untuk dihilangkan. Biasakanlah dirimu." Sahut Gembul

Setelah satu jam kemudian, mereka kembali melanjutkan ke tempat-tempat yang telah disepakati sebelumnya. Katsuo yang harus membiasakan dirinya dan Gembul yang harus meyakinkan semua penumpangnya. Mereka melaju dengan bus yang reyot (sana-sini) itu, tak lupa ditemani dengan alunan musik dangdut yang keluar dari radio. Bertemu dengan kemacetan-kemacetan panjang yang selanjutnya. Huh. [End]

oleh: Mohammad Jumhari



Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post