Dampak Social Distance; Daring



Social distance atau pembatasan sosial kini menarik untuk diperbincangkan. Dampak dari penyebaran virus corona yang membludak di negeri +62 memaksa semua masyarakat harus berdiam diri di rumah. Tujuan utama tentu untuk menghambat wabah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penularan virus itu. Sesuai mandat dari Bapak Jokowi selaku Presiden RI yang menegaskan agar segala aktivitas yang mengundang kerumunan untuk diberhentikan sementara waktu sampai virus corona mereda.

Social distance berlaku untuk semua kalangan masyarakat. Tak terkecuali dalam lingkup pendidikan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan sistem pendidikan Indonesia yang awalnya tatap muka secara langsung kini berubah menjadi sistem dalam jaringan (daring). Yang mana penulis beranggapan bahwa social distance ini pada intinya menutup ruang publik.

Seketika pula, banyak cuitan melejit terkait perubahan sistem pendidikan daring ini. Utamanya kaum milenial ataupun para mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi. Bilamana hashtag (Baca: #dirumahaja) viral di linimasa baik Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan media sosial lainnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk benar mengikuti anjuran dari Bapak Jokowi jilid II tersebut.

Jika sejatinya manusia ialah makhluk sosial yang berarti tak akan jauh-jauh dari sosialisme itu sendiri. Apalagi jiwa-jiwa lahiriah manusia di usia 18 tahun ke atas yang susah untuk tidak melakukan kegiatan apapun. Meski pada faktanya kegiatan paling luar biasa enaknya adalah rebahan. Tetapi manusia sendiri tak akan luput dari rasa bosan yang sudah melekat dalam kehidupan. Semantap dan senyaman apapun suatu hal, apabila dilakukan terus dan berulang kali pasti timbul rasa bosan atau kejenuhan. Akhirnya langkah terakhir dalam menangani rasa bosan itu ialah dengan mencari hiburan entah dalam bentuk nongkrong bareng temen (ngopi), travelling, ataupun pergi ke pelukan yang lainnya, misalnya.

Kembali kepada topik social distance bagi mahasiswa. Hampir seluruh perguruan tinggi baik swasta maupun negeri di Indonesia pada akhirnya mengeluarkan kebijakan melalui surat edaran untuk menerapkan sistem perkuliahan daring. Redaksinya sudah jelas, kegiatan pembelajaran tetap berjalan hanya saja terdapat perubahan terkait bagaimana praktik kerjanya.

Mahasiswa tentu merasa lega akan sistem daring tersebut, karena mereka berfikir bisa belajar dengan santai, peluang untuk pulang kampung pun meningkat. Ya itung-itung dalam misi perbaikan gizi. Bahkan yang masih di kos bisa berselancar sepuasnya menikmati wifi. Entah memperbarui semua aplikasi yang lama tak sempat diperbarui, streaming live channel BTS, marathon drama Korea, atau sekedar stalking mantan, gebetan, gebetannya gebetan, atau dia yang sudah punya gebetan.

Tidak perlu bergegas mandi untuk mereka yang tidak anti air. Tidak perlu mengorbankan uang untuk membeli bensin bagi mereka yang naik kendaraan ke kampus karena sudah cukup pengorbanan materill yang dikeluarkan untuk berbucin ria meskipun belum ada kepastian hubungan. Tidak perlu berpeluh keringat mengejar waktu agar tidak tertinggal kelas bagi para kaum pejalan kaki. Serta khususnya untuk beberapa orang yang perasaannya tidak terbalaskan lantaran timbul kelegaan tidak akan bertatap muka untuk sementara dengannya. Namun mirisnya malah timbul bibit-bibit rindu yang terus memberontak, hehe.

Oleh karena itu, penulis berinisiatif melakukan penelitian sederhana dengan menelisik beberapa pesan online dan instastory kawan dalam kurun waktu dekat setelah daring itu sendiri diterapkan. Dan isinya bukan kepuasan diri yang mereka rasakan, hampir semua isinya justru memuat keluh kesah atau sambatan. Yang awalnya jarang, bahkan tidak pernah share di media sosial pun kini masuk dalam status pembaruan di akun. Dari mulai bukti screenshot terkait penugasan maupun meme yang beredar tentang daring menjadi asupan pribadi ketika bermedia sosial.

Sistem daring kemudian menjadi salah satu alasan persambatan mahasiswa. Sebagian mahasiswa berpendapat, bahwa sistem daring ini bukannya meringankan namun semakin menambah beban mahasiswa. Bukan hanya materi pembelajaran yang dikirim secara online, tugas pun kian menumpuk setiap harinya. Edmodo, Google Hangout, Google Classroom, Zoom Cloud Meet dan aplikasi pembelajaran online lainnya menjadi agenda jelajah harian mahasiswa. Seketika mahasiswa kini menjadi ahli microsoft dan editing video serta menjadi seorang aktivis dadakan dalam media sosial. Tidak ada lagi istilah silent rider dalam sebuah obrolan, khususnya yang di dalamnya beranggotakan dosen pengampu salah satu mata kuliah.

Tak ada lagi kata liburan. Kemungkinan liburan masih terfikirkan untuk mereka yang rajin mengirim pesan spam ke rekan seperjuangan dengan tujuan tak lain adalah ingin copy paste kerjaan temannya. Atau mereka memang ahli dalam membagi waktu keseharian dan mungkin saja sedang dalam keadaan di ujung kepenatan. Nahasnya, meskipun liburan dicanangkan tampaknya tak akan terealisasi. Malahan sekedar agenda ngopi bareng saja harus ditahan dulu, karena beredar wacana penutupan warung kopi yang memang rawan menjadi tempat kerumunan publik. Kendati demikian, masih belum ada penegasan secara mendalam dari warung kopi terkait wacana tersebut. Kecuali jika salah satu warung kebetulan beruntung didatangi aparat kepolisian, entah sekedar sosialiasi Corona atau menampar pikiran baik pengunjung maupun penjual, lantaran social distance tadi.

Tulisan sederhana ini tidak ditujukan kepada siapapun. Hanya sebagai bahan bacaan ketika gabut melanda ataupun ketika menunggu notifikasi yang diharapkan. Sedikit pesan sebagai penutup kali ini, bahwa cobalah belajar menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang. Jangan hanya melihat bagaimana banyaknya penderitaan. Tak ada seorang guru atau dosen yang menginginkan muridnya dalam kesusahan. Tujuannya tak lain ialah untuk mencerdaskan. Begitu, misalnya.

Selayaknya manusia mempergunakan sepenuh hidupnya untuk belajar dan belajar. Anggaplah ini sebagai tanjakan dalam meraih kesuksesan di masa depan. Ya kita pun sama-sama lelah. Tapi masih ada yang benar-benar lelah di sekujur tubuhnya, di sepanjang hidupnya, di segala takdir yang diberikan kepadanya.

Teringat sebuah kalimat sederhana yang pernah seseorang layangkan,Kalau kau tak mampu menahan lelahnya belajar, maka sama halnya kita dengan memelihara kebodohan. Positifnya bisa kita ambil, negatifnya toh bisa jadi bahan lelucon dan gibahan di grup WhatsApp masing-masing. Hehe.


Penulis : Nur Fitri Prihatiningsih

Comments