Hukum yang Kelabu

Hari ini mentari tak ingin pulang dengan cepat, ia tetap memancarkan sinarnya begitu terang saat biasanya mulai meredup. Tak kusangka, di kota yang begitu sibuk ini aku berdiri dan aku jalani kehidupanku seperti cita-citaku. Namun, tak kusangka pula cita-cita ini akan membuat dadaku terasa sesak. Kupandangi lagi langit sore itu dan kusadari inilah resiko pekerjaanku dan aku harus menerima itu.

Aku adalah Jaksa terbaik di kantor, begitu kata kawan kerjaku. Karena di sana hanya ada 3 Jaksa termasuk aku. Selama aku mulai berkantor di sana, aku selalu membuat Kepala Jaksa kagum padaku, karena setiap kasus yang aku dapat selalu ku selesaikan dengan baik. Aku sangat bahagia untuk itu. aku mencintai semua yang ada di kantorku begitu pula mereka, mereka sangat memencintaiku.

Sore itu aku temui Mail di sebuah kafe, seorang teman yang baik ketika di asrama dulu. Dia menyetujui begitu saja, alih-alih tidak mengetahui bahwa pertemuan ini untuk menginterogasinya, bukan untuk temu kangen. 

Sebenarnya aku tak pernah ingin melakukan hal  ini, namun aku sadar inilah resiko menjadi seorang penegak keadilan. Siapapun yang bersalah aku harus menuntutnya, aku harus melakukannya dengan benar karena ini adalah cita-citaku.

“Ada apa kau tiba-tiba mengajakku makan disini, sebuah kafe mewah yang hanya kita berdua memilikinya?” Mail memulai dengan senyum lebar, aku yakini ini adalah kali pertamanya ia masuk ke kafe semahal ini, namun tak ku balas senyum itu. Tak perlu basa-basi, langsung ku sodorkan berkas yang memuat tuduhan kepadanya.

“Apa ini? oh jadi kau Jaksa yang akan menuntutku? Kau mengajakku ke sini karena hanya ingin menuntutku? Teman yang menuntut teman asramamu sendiri?" matanya melotot kepadaku sesekali pula bergantian menuju kertas-kertas itu

“Jika kamu menyerahkan diri maka hukumanmu akan ringan” ucapku dengan nada datar

“Haa??? Kau percaya bahwa aku yang melakukannya? Heyy! Dia siapa? saya tidak punya urusan sampai harus membunuhnya, lagipula dari mana saya mendapatkan sianida itu? Saya tidak tahu-menahu dan tak pernah melakukan ini semua.

"Kau sedang bercanda!" suara Mail terdengar lantang lagi formal, aku cukup tersiksa menghadapi suasana ini

“Tapi kamu satu-satunya orang yang paling lama menguasai minuman itu. Bahkan seragammu terdapat bau cairan itu, dengar Mail, aku sendiri tidak mau melakukan ini namun inilah pekerjaanku, aku akan menuntut siapapun yang bersalah termasuk dirimu. Maka dari itu ayo kita akhiri ini, kita percepat, aku melaksanakan tugasku dan kamu mendapatkan hukuman yang ringan atas perbuatanmu" aku mencoba meyakinkan

“Kau salah, aku tak akan pernah mengakui kejahatan yang tidak pernah ku perbuat, aku rela dipenjara seumur hidup bahkan dihukum mati sekalipun. Aku tak pernah melakukannya” suara Mail yang masih lantang seraya meninggalkan kafe itu

“Tunggu, Mail!” teriakku

“Sampai bertemu di peradilan” ucap Mail tanpa melihatku yang kebingungan

***

Malam itu kepalaku terasa mau pecah, Mail tak mau mengakui sedangkan bukti sudah jelas. Tapi sebenarnya aku pun tak yakin Mail melakukannya itu semua. Dia hanya seorang pelayan, lagi pula apa kepentingannya membunuh aktivis itu, justru harusnya Mail bersimpati pada aktivis itu. 
Tak bisa tidur, akhirnya ku putuskan untuk menyelidiki ulang kasus ini. Pasti ada yang salah. 

Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan. Aku buka lagi berkas-berkas itu dan ku buka secarik kertas berisi berita tentang sebuah demo yang dipimpin oleh aktivis lingkungan yang malang itu. Sebuah penuntutan kepada perusahaan D-Group untuk memberikan ganti rugi atas limbah yang dihasilkan, yang merugikan lingkungan sekitar.

Keesokan harinya, aku pergi ke kafe tempat pertemuan antara aktivis dengan rekan kerjanya. Aku mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi bukti lain. Nihil. Bahkan cctv pun tak ada di ruangan ini. Yang menjadi bukti satu-satunya hanyalah rekaman Mail memasuki ruangan itu dengan wajah yang cukup mencurigakan.

Tak kudapat yang kuinginkan, akhirnya aku keluar dari kafe itu. Ku tancap gas mobilku dengan laju menuju lokasi kecelakaan. Aku baca kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi, dan terus berfikir apa yang kurang.

“Rekaman!!!” tiba-tiba suaraku lantang, muncul di tengah keramaian

Aku bergegas pergi ke Kepolisian yang menangani kecelakaan tersebut. Lagi-lagi rekaman itupun tidak ada, padahal jenis mobil yang mengalami kecelakaan tersebut harus sudah ada alat perekamnya. Mengapa aktivis itu menemui orang yang tidak ia kenal? Di tempat yang formal dan tidak memiliki cctv? Terlalu banyak bukti yang hilang, yang seharusnya mampu memberikan kejelasan. Malah membuat banyak pertanyaan dan kecurigaan, ini sungguh membingungkan. Tidak mungkin aktivis itu sengaja mencopot alat rekam itu 

***

Tidak biasanya Kepala Jaksa memanggilku ke ruangannya, mungkin karena kasus ini tak kunjung juga aku sidangkan. Pikiranku melayang kemana-mana.

“Bagaimana? Sudah kau yakinkan temanmu itu untuk mengakui kejahatannya?” Kepala Jaksa memulai percakapan

“Sudah, Pak. Namun dia tak kunjung mengakuinya” jawabku

“Kapan kau akan menyidangkannya?”

“Maaf, Pak. Saya harus menyelidiki ulang, singkatnya ada banyak kejanggalan”

“Kau tidak bisa menunda-nunda suatu kasus, nanti kasus yang lain jadi terlantar. Kan di situ udah jelas buktinya. Jangan hanya karena dia temanmu, sama-sama penghuni asrama yatim-piatu dulu, kau tidak mau menuntutnya” tiba-tiba suaranya mengeras

“Tidak, Pak. Saya akan tetap menuntutnya jika dia terbukti bersalah, walaupun dia teman saya” 

“Pergi dan cepat selesaikan!!!” bentaknya
(hufftt) aku menghela nafas dalam-dalam. Kasus ini akan menjadi kasus terberatku. Setidaknya hanya karena ini aku dibentak oleh Kepala Jaksa, padahal sebelumnya dia selalu memujiku dan berkata baik padaku.

***

Pagi-pagi sekali aku berangkat kerja, walaupun aku tingal sendirian di kota besar seperti ini, dengan pekerjaan yang beresiko tinggi pula, tapi aku tak pernah takut. Kemampuan bela diriku melebihi laki-laki brengsek di dunia ini. Sudah aku putuskan untuk menyelediki kasus ini lebih lanjut. Aku akan pergi ke rumah aktivis itu dan berharap akan mendapat petunjuk di sana. 

Dengan make-up yang feminim seperti ini aku berharap istri aktivis itu bersedia menerimaku dan memberikan fakta yang memuaskan. Kugunakan mobil kesayanganku satu-satunya ini untuk menemuinya, semoga hari ini ditutup dengan hasil yang baik.

Tak sampai tiga puluh menit, aku telah sampai ditujuan ku. Rumah yang cukup besar namun menjadi suram karena awan kesedihan menyelemutinya. Aku pun menghampiri namun pintu itu tertutup rapat. Ku ketok lagi dan lagi untuk kesekian kalinya, bersyukur akhirnya pintu terbuka juga. Kulihat wajah perempuan itu, dan kurasakan kesedihannya. Aku mulai memperkenalkan diri.

“Selamat pagi Bu, saya Anisa, Jaksa yang menangani kasus suami Ibu, saya turut berduka cita atas kejadian yang menimpa keluarga Ibu” ucapku dengan nada haru, seraya menunjukan kartu identitasku

“Dia orang baik Mbak, saya tidak mengerti mengapa ada orang yang ingin membunuhnya” kata perempuan itu yang sepertinya orang Jawa, kemudian air matanya mulai turun tak terbendung

“Tentu saja, suami Ibu membela hak orang banyak” kataku seraya mengusapkan tanganku pada pundaknya
Saat itu dia mempersilakanku untuk masuk. Duduk berdua di ruang tamu. Mulailah dia bercerita, dengan tersengal-sengal. Air mata yang selalu menetes mengingat mendiang suaminya itu. Masih berbekas.

"Waktu itu, dia pergi terburu-buru setelah mendapat telepon, saya mencoba bertanya mau kemana? Telepon dari siapa? Ada urusan apa? Namun, dia tidak menjawab. Langsung saja pergi tanpa sepatah kata pun. Dalam perjalanan, dia mengabari saya dan mengirim pesan yang aneh dan tidak saya mengerti. Kemudian, dia menelpon saya dan mengatakan bahwa dia harus kembali ke sana karena ada yang tertinggal. Saya tunggu sampai larut tak kunjung sampai. Tak ada kabar sedikitpun. Tak lama kemudian ada berita kecelakaan dan benar saja itu adalah suami saya. 

Hal ini membuat saya sangat terpukul, saya merasa bersalah karena saya pikir dia kecelakaan karena sibuk bermain HP, tapi penyelidikan dari Kepolisian mengatakan ada dugaan pembunuhan” ceritanya dengan tersedu-sedu dan aku terus saja sesekali mengusap punggungnya

“Bolehkah saya lihat pesan terakhinya?” pintaku dengan lembut 

“Maaf Maj, sebenarnya Ayah mendapatkan uang banyak hari ini. Banyak sekali. Bahkan bisa kita gunakan untuk keliling dunia, tapi Ayah membuangnya. Bagi ayah keluarga kita lebih berharga dari uang itu dan sekarang Ayah punya senjata untuk menghancurkan orang itu."
Sontak saja aku terkejut.

Tak salah lah, ini ada hubungannya dengan tuntutan yang ia lakukan terhadap perusahaan itu. Tidak salah lagi, pertemuan itu adalah upaya penyuapan untuk menghentikan demo yang ia pimpin. Mail tidak bersalah. Satu-satunya yang harus dicurigai adalah orang yang menemuinya. Keparat! Bisa-bisanya bajingan itu menuduh Mail yang tidak tahu apa-apa. Tapi bagaimana cara membuktikannya? Pesan ini tidak bisa dijadikan bukti yang kuat. Aku menunduk lama.

“Kenapa Mbak?” tanya perempuan itu
“Suami Anda disuap oleh perusahaan itu, tapi ia menolak. Beruntunglah Anda memiliki suami yang sangat baik” tuturku, perempuan itu kembali menangis

“Memang beberapa hari sebelumnya, suami saya terlihat begitu gelisah. Padahal sudah larut malam tapi masih saja ada yang menelponya. Saya lihat wajahnya seperti kebingungan terkadang terlihat ketakutan. Tapi dia tak pernah cerita apapun” kata perempuan itu membuyarkan lamunanku

Dia tahu siapa yang akan dia temui, selama ini dia sudah sering dilobi, mungkin saja sampai diancam. Jika seseorang terancam harusnya dia melakukan perlindungan diri tapi ini tidak, ia menemui orang itu sendiri. Senjata? Kulihat teks itu lagi "...sekarang Ayah punya senjata untuk menghancurkan orang itu."  Senjata apa yang dimaksud? Mungkinkah... Pikiranku melayang, mencoba memilah-milah beberapa kemungkinan.

“Apakah suami Ibu membeli barang tertentu akhir-akhir ini?” kataku memberanikan

“Barang tertentu?” terlihat dia berpikir keras

“Ya, barang yang baru-baru ini dibeli atau dimilikinya?” tanyaku kembali

“Ada! Waktu itu ia sedang bermain dengan anak saya. Dia menunjukkan itu pada anak saya, barangnya seperti kelereng lebih besar sedikit. Katanya itu adalah kamera masa depan”

Tentu saja, itu adalah senjatanya. Tugasku sekarang mencari senjata itu. aku pun pamit dan berjanji akan segera menemukan pembunuh asli suaminya.

***

Aku kembali ke ruang pertemuan itu, bukan hanya mengecek tapi juga menggeledahnya. Aku angkat semua benda yang ada di dalamnya. Tidak ada. Aku berpikir sejenak, dia memilki senjata, dia berputar balik untuk mengambil senjata itu. Senjata itu adalah kamera. Jelas, kamera yang digunakannya untuk merekam apa yang mereka bicarakan. 

“Kameraa... dimana kauu!?!?” teriakku dalam diam. 

Tiba-tiba saja mataku tertuju pada hiasan dinding. Ada pot bunga kecil, yang daun-daunnya sedikit rusak. Pelan-pelan ku ambil pot bunga itu. Dan, bola kecil seperti mata itu tergeletak di balik daun-daun kecil. Aku buka laptopku dan kusaksikan rekaman video tersebut. Semoga ini memberi kejelasan.

“Anda sudah tahu tujuan kita bertemu di sini?” tanya lelaki misterius itu seraya menyodorkan koper hitam, kemudian diperlihatkan isinya kepada aktivis itu

“Anda juga harusnya tahu saya kesini untuk menolak ini semua” aktivis itu menjawab dan menutup kembali koper itu

“Anda pasti sudah tahu apa akibatnya? saya utusan Kepala Jaksa yang bisa saja membunuh Anda tanpa meninggalkan jejak”

“Kepala Jaksa? Saya tidak ada urusan dengannya, saya berurusan dengan direktur D-Group"

“Harusnya Anda juga tahu, bahwa direktur utama D-Group juga pemimpin partai politk terbesar di negeri ini” seraya menukar gelas minumannya tanpa sepengetahuan aktivis itu ketika lengah

“Keparat! Bertindaklah kalian sesuka kalian. Saya akan menjerumuskan kalian semua” 

“Tenang, Pak. Tenang. Kepala Jaksa tidak akan berbuat sejahat itu, mari kita bicarakan baik-baik. Memang benar saya utusan Kepala Jaksa, tapi di sini saya bertugas untuk mengetes Anda dengan uang ini. Tenyata anda memang orang baik” katanya sambil meminum minumannya
“Apakah itu benar?” tanya aktivis itu seraya meminum minumannya mengikuti lawan bicaranya

“Tentu saja tidak benar. Anda akan segera pergi ke neraka. Sekarang.”

***

Aku mengurung diriku di kamar sambil memikirkan banyak hal. Mengapa dunia ini begitu kejam? mengapa dunia ini penuh dengan senyum palsu? Mengapa dunia ini dipenuhi dengan orang licik. Kejaksaan, elit politik, dan perusahaan di dunia ini begitu biadab! Akan aku kirim mereka semua ke penjara. Aku tahu semua akan menentangku tapi akan kulakukan. Bagaimanpun caranya.
[The end]

Oleh: Dede Fatimah

Comments