Kampung Durian Runtuh

Ruangan berbilik bambu itu mulai hening. Ruas keheningan merambat ke Gambar usang dan rak kayu yang dipenuhi buku-buku tebal berdebu, sedang Puntadewa tengah duduk berdampingan dengan seorang laki-laki dengan tampang beringas. Lelaki itu berdiri, lalu berjalan ke arah rak kayu. Ia mengambil satu buku dan membukanya. Tiga lelaki muda berdiri tak jauh dari Puntadewa. Pandangan mereka mengikuti gerak tubuh lelaki dengan muka beringas tersebut, tentunya dengan tatapan penuh waspada.

"Langgar ini mulai sepi, percuma saja dipertahankan," kata lelaki yang bermuka bringas tadi sambil meletakkan sebuah buku ke rak kayu yang mulai dipenuhi jaring laba-laba, "Aku akan membicarakannya dulu." Jawab Puntadewa.

"Kau akan membicarakannya dengan siapa?" tanya lelaki tadi. Ia kembali duduk di hadapan Puntadewa, ia menyahut "Tentu saja aku akan membicarakannya dengan para muridku!"
Lelaki dengan tampang beringas dan lebar dengan tatapan tajam itu mendelik, lalu tergelak, "Murid yang mana, Kisanak? Apa anak-anak itu?" Tunjuknya mengarah pada tiga pemuda di belakang Puntadewa.

"Tunggulah sebentar," Puntadewa mengabaikan tawa lelaki bringas di hadapannya
"Beri kami waktu." Ucapnya

Lelaki itu menatap dengan tajam lalu menghela napas sambil mengangkat bahu, "Okelah jika itu yang kamu inginkan. Tapi kita tak punya banyak waktu. Semakin lama proyek ini mangkrak, semakin besar juga konsekuensi yang kita terima. Aku harap kamu bisa mengerti wahai Puntadewa."

Puntadewa tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala dan ikut berdiri. Setelah basa-basi kemana-mana, lelaki itu itu pergi. Ia pergi dengan meninggalkan jejak lebam di dada Puntadewa.

Ia tahu ada kekuatan cukup besar di belakang lelaki beringas itu. Kekuatan yang tak mungkin dilawannya seorang diri. Jauh sebelum kedatangan lelaki beringas itu, Puntadewa sudah tahu bahwa semua ini pasti akan terjadi.

Pembangunan sedang gencar dilakukan di Kampung Durian Runtuh, lahan persawahan milik warga sudah banyak yang disulap jadi jalanan beraspal dengan trotoar yang agak sedikit berlubang. Tempat hiburan malam pun tak lupa dipersiapkan dan toko-toko pun mulai menjamur, berjejer rapi di sepanjang jalan yang sunyi dan sepi.

"Bagaimana ini guru? Apa pilihan yang harus kita ambil?" tanya Kumbakarna, salah seorang murid Puntadewa yang paling lama berguru pada Puntadewa, "Tidak ada." Puntadewa mengusap dahinya yang sedikit mengkerut dengan jari-jari keriputnya

Ia mulai berjalan ke sisi jendela dan mulai menyusupkan tangannya ke sela-sela bilik bambu yang mulai rapuh. Matanya yang mulai berkaca-kaca mengembara ke awan hitam di puncak langit, sementara pikirannya terus mencari cara, bagaimana agar tetap bisa bertahan dari apa yang terjadi.

Tiga muridnya yang tersisa turut memandang ke luar bilik bambu yang dipenuhi sarang laba-laba. Mata mereka yang turut berkaca-kaca juga memandang liar menuju ke langit luas, namun pandangan itu buntu dan terhalang. Seperti membentur sebuah dinding yang tebal dan  tinggi yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang. "Bagaimana ini guru, apakah ini merupakan salah satu kutukan dari si pahit lidah?" gumam Wibisana, salah seorang murid yang paling muda

"Apa kau percaya omong kosong itu?" tanya Laksamana. Usianya sama dengan Kumbakarna. Tak lebih tua dari Wibisana. "Hmmmmm Entahlah," jawab Wibisana.

"Tapi aku tetap mempercayai satu hal..." Wibisana menyela dengan penuh pikir
"Apa itu?" tanya Kumbakarna.

"Aku percaya jika terdapat lubang dalam dada lelaki bringas tadi. Lubang yang tak akan pernah membuat sesak meskipun seisi dunia dijejalkan ke dalamnya dengan wanita penghibur yang turut serta hadir," Jawab wibisana. Laksamana terdiam. Lalu hening mulai menceruat dan sunyi kembali merambat.

Wajah Puntadewa memucat dengan keringat yang terus mengalir di pelupuk matanya. Puntadewa duduk di kursi yang mungkin usia kursi itu sama dengan Puntadewa. Ketiga muridnya pun turut serta dalam kursi itu, ya memang seperti itulah murid mengikuti gurunya.

Jarak mereka tersekat oleh sebuah meja beraroma tembakau Gayo. Di meja usang  itulah mereka mengkaji semua buku yang ada di rak kayu reyot itu. Pagi, siang, petang, bahkan dini hari pun mereka tetap akan mengkaji buku-buku yang perlu dikaji. Ya itu dulu, mungkin sekarang kegiatan seperti itu nantinya hanya akan menjadi kenangan beberapa minggu atau mungkin beberapa hari lagi.

"Guru, benarkah dulu hal seperti ini sudah  dijelaskan secara rinci dalam sebuah hikayat?" tanya Kumbakarna memecah keheningan
"Ya bagaimana ya gurumu  ini menjelaskan, tapi mungkin saja kita telah telah sampai di akhir zaman, Kumbakarna. Hikayat itu sebenarnya sudah lama dilupakan orang, untuk apa kamu menanyakan hal itu?" celetuk Puntadewa
Kumbakarna tersenyum kecut, tetapi ia mengangguk juga. Ia setuju dengan kata-kata Zarnawi. Bahwa sebenarnya Hikayat memang mengandung banyak nasihat itu hanyalah isapan jempol belaka yang lekas mengering ditiup angin. 

Di balik dinding langgar yang mulai rapuh itu, Puntadewa dan ketiga muridnya tertunduk lesu meratapi nasib pilu yang telah menggerutu. Kerasnya pertikaian dengan lelaki bringas tadi telah melempar ingatan mereka pada hikayat yang tak bisa terkelupas dari kampung Durian Runtuh.

Ya mungkin ini agak sedikit lucu sih. Tapi ini cerita yang sudah  ada di kampung Durian Runtuh sejak dulu, dimana Hikayat ini menceritakan tentang pertarungan iblis dan malaikat yang memang pernah terjadi di masa lalu. Seru nih kayaknya, iblis lawan malaikat mana nih yang menang?

*** 

Dahulu kala, Kampung Durian Runtuh adalah kampung bagi orang yang memiliki ilmu hitam, tidak ada putihnya pokonya serba hitam, mulai dari ilmunya hitam, pakaiannya hitam, rumahnya warna hitam, sepertinya memang begitu sih.

Kampung itu berada di pesisir pantai Utara pulau Jawa, dipeluk oleh barisan perbukitan dan digelungi seutas sungai yang bermuara ke laut lepas. Kesan mistis dan angker terpatri di benak siapa saja yang mendengar nama desa ini, kampung Durian Runtuh, tidak begitu menyeramkan sih tapi ikut cerita ajalah.

Namun semenjak kedatangan Batara Guru dari dasar samudera, kegelapan yang mengelilingi kampung Durian Runtuh itu perlahan-lahan memudar dan menghilang. Seperti malam disibak dan mulai diterangi oleh cahaya rembulan yang sebelumnya tertutup awan hitam dan gelap.

Di kampung Durian Runtuh tidak ada yang tahu riwayat Batara Guru. Banyak cerita simpang siur yang mengisahkan tentang Batara Guru ini, ada yang mengatakan ia datang dari dasar samudera, sebagian lagi menyebut ia datang dari dalam lahar gunung berapi. Wes pokoke gak onok tandingane lah Batara Guru Iki. 

Semua tentang Batara Guru hanya melekat pada sebuah bangunan tua yang di dalamnya juga terdapat makam yang usianya juga sudah tua dan juga melekat pada bibir-bibir orang kampung. Mereka membicarakannya dari bibir ke bibir, maksudnya dari satu mulut ke mulut, duh bukan itu. Maksudnya orang kampung menceritakan lewat mulut dan orang lain menerima lewat telinga kemudian menceritakan lagi lewat mulut.Gitu

Banyak para Para bajingan yang selalu mengganggu Batara Guru dalam menghilangkan kegelapan yang ada di kampung Durian Runtuh. Dengan segala cara bajingan itu lakukan, mulai dari gangguan yang paling halus dan mulus, kayak paha ayam kampus, hingga paling kasar sekasar-kasarnya. Namun Batara Guru tentu saja memiliki bekal ilmu yang tidak sedikit. Karena ceritanya saja ia dari dasar samudera, dari gunung berapi, yang tentunya ilmunya sangat tinggi dengan cerita seperti itu. Gangguan-gangguan yang diberikan oleh bajingan kampung Durian Runtuh itu mampu Batara Guru bungkam dengan mudah, bahkan dengan menggunakan penutup mata dan hanya menggunakan satu tangan, memang mantap ilmu Batara Guru, bukan kaleng-kaleng.

Puncaknya, ada sebuah cerita yang mengakibatkan kalau gangguan yang paling kasar dan sadis datang dari si pahit lidah. Bajingan dari Kampung Durian Runtuh itu dengan sombongnya menantang Batara Guru untuk duel satu lawan satu di atas batu karang di pinggiran sungai Singkawang. Pertarungan antara keduanya ditandai dengan datangnya malam dan hujan lebat yang mulai mengguyur begitu derasnya.

Pertarungan yang menantang malaikat ini diwarnai dengan jurus-jurus tingkat tinggi, bahkan kagebunsin no jutsu dan rasenggan pun turut andil dalam pertempuran ini. Karang Singkawang bagai dilanda angin musson, karang itu pecah menjadi berkeping-keping, pasir dan karang yang ada di laut pun turut tersapu ke bibir pantai.

Saking mengerikannya pertempuran ini, pantai Utara hampir saja meluluhlantakkan Kampung Durian Runtuh. Pertarungan ini membutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam untuk menentukan siapa yang jadi pemenangnya.

Si pahit lidah  memiliki ilmu yang tak kalah sakti dengan Batara Guru yang membuatnya tak bisa mati, ya ilmu itulah yang biasa disebut dengan Rawarontek. Ilmu yang juga dimiliki oleh Rahwana si dashamuka.Namun dengan kesaktiannya, Batara Guru mampu menaklukkan dan mengalahkan si pahit lidah dengan telak.

Gembong bajingan itu melarikan diri dengan membawa turut serta urat kemaluannya yang telah dikalahkan oleh Batara guru. Namun sebelum menghilang, dihilangkan? Atau dilenyapkan? Pokoknya hilang lah. Si pahit lidah mengucap satu sumpah, bahwa nantinya ia akan kembali lagi dan membuat celaka orang-orang yang ada di Kampung Durian Runtuh.

Selepas kepergian si pahit lidah, tidak ada lagi kegelapan yang menyelimuti Kampung Durian Runtuh. Seolah awan yang hitam yang dulunya selalu menghalangi matahari kini telah pergi menjauh tertiup angin. Batara Guru menghidupkan obor di sekeliling desa yang sinarnya menuntun dan mengajak orang di sana menuju jalan kebaikan.

Di pinggir kampung tepatnya di kebun Akasia tak bertuan, obor itu ia tanamkan di atas batu badar besi yang tak berpenghuni. Ia mendirikan sebuah langgar tempat para muridnya berguru padanya.

Batara Guru seorang yang mampu mengalahkan si pahit lidah sendirian, yang pastinya orang Kampung Durian Runtuh menjadikan Batara Guru orang yang di-tua-kan di sana.  Dan itu membuat tak ada satu pun keluarga di Kampung Durian Runtuh yang tak memerintahkan anaknya untuk berguru padanya.

Hikayat Batara Guru dan si pahit lidah menjadi suatu kepercayaan, bahwa hanya di sana, karena langgar sederhana itu saja, sumpah si pahit lidah tak memiliki kemampuan untuk membuat kampung hancur.

***

Lapangan tanpa rumput yang ditumbuhi tiga batang pohon Durian itu riuh, menari nari. Di tengah-tengahnya, Puntadewa berhadapan dengan lelaki bringas itu. Lelaki bringas itu kali ini tidak sendiri, ada banyak lelaki yang memiliki tampang lebih bringas berdiri di belakangnya. Puntadewa juga tidak sendiri, ada tiga murid yang selalu berdiri di belakangnya. Pandangan mata yang sama tajam dan siap menikam.

"Langgar ini tak memiliki surat izin resmi dari pemerintah. Kalian tahu tanah ini milik negara dan kalian tak memiliki bukti kuat untuk mempertahankan langgar dan tanah ini."

"Maaf tuan, Anda salah. Tanah ini milik Tuhan. Kami sudah meminta izin kepada Tuhan. Apakah itu masih kurang?" Jawab Laksamana. Sedang lelaki beringas itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Ia membuka Koper yang ditenteng dengan tenang. "Kalian tahu ini isinya uang semua, uang ini sebagai ganti rugi. Terimalah, Puntadewa."
"Tidak bisa, kami tidak membutuhkan uangmu. Lebih baik kalian pergi dari sini, ini tanah Tuhan bukan tanah kalian, kalian tidak punya hak untuk menguasainya."

"Bagaimana kamu ini, serahkan saja tanah ini, menyerahkan tanah sama halnya dengan bersedekah, bukan begitu Puntadewa? Tanah ini juga nantinya untuk kepentingan umat." Jawab lelaki beringas itu dengan sedikit tersenyum. Namun di mata Puntadewa, senyum itu menyiratkan watak seorang yang beringas lagi rakus, yang hanya mementingkan perutnya sendiri. 

Puntadewa tak bisa melihat kejernihan dan kesucian di sorot mata itu. Yang ada hanya memancarkan kegelapan. "Bagaimanapun juga aku tidak akan menuruti permintaanmu. Kalian harus melewati mayatku dulu kalau menginginkan langgar ini." Ucapnya,

"Baiklah Kalau itu memang keinginanmu," dengan tangan yang mulai memasukkan kembali uang ke dalam koper hitam itu. Wajahnya memerah, matanya melotot tajam, tangannya mengepal. Ada amarah yang tergambar jelas dalam dirinya.

"Kita akan kesini satu bulan lagi." Lelaki beringas itu pergi diikuti beberapa lelaki yang tak kalah beringas di belakangnya.

Puntadewa memandangi diri mereka dengan dada bergemuruh dan bergelora. Ia tetap bisa  merasakan hawa kerakusan pada kalimat terakhir itu. Puntadewa memejamkan mata dan mendongakkan kepalanya ke langit seraya memanjatkan doa tolak balak.

***
Siang itu, sebuah mobil hitam datang beriringan dikawal dengan serombongan alat-alat berat memasuki halaman langgar. Puntadewa dan ketiga muridnya keluar dengan tergesa-gesa. Puluhan lelaki dengan wajah penuh amarah dan tentu saja dengan tampang yang sangat beringas, lebih beringas dari biasanya siap untuk menghadang.

Puntadewa dan ketiga muridnya menjadi santapan empuk bagi para lelaki beringas itu ketika berusaha menghentikan alat-alat berat yang mulai menggerogoti langgar. Dengan mata yang dipenuhi air mata dan tubuh yang sudah berlumuran oleh darah, Puntadewa tergeletak di rerumputan dengan hati penuh duka. Mata lelaki setengah baya itu perlahan mulai mengatup.
Namun sebelum benar-benar mengatup, ia melihat lelaki beringas itu keluar dari mobil hitam sambil tersenyum. Di mata Puntadewa, senyum itu hanya memunculkan aura gelap dan jahat.

Puntadewa hanya melihat sekilas bayangan itu, yang melihat senyuman sebagai hasrat kemenangan dari si pahit lidah yang menepati sumpahnya, untuk kembali ke Kampung Durian Runtuh. [End]

Oleh: M. Rendy Sulistyo

Comments