Nestapa: Tanah dan Seorang Perempuan


Waktu itu masih dini hari. Warna kemerahan belum hilang dari laut yang nampak kebiru-biruan. Beberapa perahu kecil meluncur dengan laju sesuai dengan kondisi mesinnya. Sementara di kejauhan, para penangkap ikan mendayung-dayung perahu, menggoyang-goyangkan tubuhya agar segera sampai pada rumah dengan hasil bawaan yang sesuai dengan harapan keluarganya.

Dude, seorang lelaki setengah umur berkumis kelabu, dengan rambut gondrong yang diikat seadanya, melambaikan tangan pada buah hati yang masih dikandung istrinya. Tanpa sepatah kata, si istri yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu menyambutnya dengan duduk manis di depan meja dan mulai menuangkan kopi hitam dengan tangannya yang telanjang sampai siku.

Dengan roman termenung Dude berkata “Susah”
“Istirahatlah mas,” balas Sekar dengan nada lirih.

Belum habis disesap kopi buatan istrinya, seorang laki-laki berbadan besar mengenakan pakaian sutera dan beledu dengan sebatang cerutu yang tak habis dihirupnya, datang ke atas geladak desa dengan berteriak sekencang-kencangnya memanggil para warga untuk berkumpul di hadapannya. 

Orang-orang berjalan sambil mewanti-wanti, karena rumornya pihak dari pabrik semen sebelumnya diketahui sudah mendapatkan izin hak atas tanah dan pendirian bangunan atas wilayah di desa itu, meski bukti tersebut tak pernah ditunjukkan pada  warga-warga.

Mereka juga terlalu bebal; tidak pernah memikirkan, bahwa di balik proyek yang akan dibangun tersebut ada limbah dan asap pabrik yang mengotori lingkungan. Jika yang awalnya adalah hijaunya alam, yang membuat mata tenang. Berubah menjadi tegang. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi ketika manusia hanya bisa membangun dan menghancurkan.

Pun ketika manusia sudah dibutakan hasrat untuk menguasi wilayah, hak rakyat kecil ikut-ikutan terbengkalai. Kemudian memicu pertikaian, hingga akhirnya dengan mudahnya orang yang punya uang membereskan sesuatu yang dilihatnya benar walau kenyataannya adalah kesalahan.

Sebenarnya tidak menjadi masalah besar jika usaha pendirian pabrik itu didirikan atas dasar majunya pemikiran seseorang dan perkembangan zaman. Hanya saja kadang mesti berlawanan dengan tatanan masyarakat dan pelestarian lingkungan.

Tak ambil pusing. Dengan dalih kesejahteraan, atas perintah bosnya--pak Doni mengumumkan bahwa dalam waktu dekat ini lahan dan rumah-rumah di sekitar wilayah tersebut harus segera ditinggalkan dan dikosongkan. Padahal para warga sangat bergantung pada perkebunan dan persawahan. Entah kesejahteraan yang digaungkan itu untuk siapa, perorangan atau banyak orang. Alih-alih untuk perutnya sendiri.

“Sudah saya siapkan uang ganti ruginya, tinggal kalian yang menentukan mau pergi secara hormat atau …”

“Cuma uang ganti rugi? Kami orang miskin lho, tapi ciptaan Tuhan” sela Dude

“Memang kenapa? Tau apa kau soal uang?”

“Lalu bagaimana dengan orang-orang...." 

“Tak peduli, persetan. Saya punya bukti kepemilikan sedang kalian tidak. Sudah baik bos saya masih mau kasih uang kompensasi karena kasihan.” 

Para warga hanya berdiam diri tak tahu harus berbuat apa. Dude termasuk salah satu warga yang bersikukuh menolak adanya pembangunan pabrik semen tersebut. Satu atau dua perlawanan yang telah dilakukan Dude pada saat itu dikecam pak Doni beserta antek-anteknya. Situasi pecah, ketika Dude berteriak “Tolak Penggusuran, Tolak Penggusuran”

Dude paham sekali dengan siapa yang ia hadapi. Meski begitu, apalah daya upayanya akan tetap kalah. Tentunya yang paling penting adalah secarik kertas penggusuran dari pemilik. Padahal beberapa tanah warga itu milik sendiri-termasuk kepunyaan Dude. Kendati demikian, entah bagaimana mereka bisa mendapatkan bukti kepemilikan itu. Sedang yang di tangan warga dianggap sampah.

Barangkali memang benar kesejahteraan yang digaungkan hanya untuk pemuas perut penguasa, sedang rakyat yang tak punya apa-apa menjadi terlupakan.
Sesungguhnya hanya karena demi kesempurnaan manisnya hidup para pemilik modal, para warga pun terpaksa meninggalkan rumah beserta lahannya. Hasil keringat bertahun-tahun yang berujung kerugian dengan imbalan uang ganti rugi yang tak sepadan. 
                                       
                                      *** 
Proyek pembangunan mulai digenjrotkan. Perkampungan di dekat pantai pun terlihat makin kecil jika dibandingkan dengan perkampungan sebelumnya, begitu pula dengan jumlah warganya. Sangat sedikit rumah atau ladang, bahkan hampir tidak ada. Hanya ada rambu pembangunan yang tegak membisu dengan bertuliskan “Lahan ini akan dibangun pabrik, yang tidak berkepentingan dilarang masuk." Satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak di sana adalah rumah milik Dude. Ia terus hidup dengan caranya walau tak selurus yang dibayangkan.
   
Bahkan Dude juga sudah meminta bantuan pengadilan untuk menghentikan proyek itu. Usahanya berhasil, pembanguan mulai terhenti. Tapi tak lama kemudian berlanjut kembali karena Bupati mengeluarkan keputusan yang menyatakan persetujuan atas kelanjutan dibangunnya pabrik semen di sana.
Dude kesal dan kecewa. Ditumpahkan amarahnya dengan merusak alat-alat pembangunan itu. Sedang para pekerja hanya melihatnya sambil senyam-senyum bengis.
“Lihat saja, dia tidak tau sedang berurusan dengan siapa,” tutur salah satu tukang bangunan yang sedang santai beristirahat. 
Tak perlu lama lagi bagi orang-orang mengetahui kemalangannya; Dude yang babak belur dihakimi oleh orang suruhan, entah siapa. Sumber penghasilannya selama ini sengaja dihilangkan, istrinya yang keguguran, bahkan rumahnya hampir saja dirobohkan kala badai saat itu tak datang. Bagaimanapun juga kerisauan kian bertambah. Apalagi kesedihan istrinya yang tak kunjung reda.

Belakangan, kehidupan yang mulanya berjalan baik-baik saja, selang waktu nampak sunyi dan menyedihkan. Sedikit terdengar tawa kebahagiaan yang tampak dipaksakan. Bahkan tak ada satu pun binatang terbang di langit yang sesekali bersiul memberi mereka hiburan. 
Matahari kian meninggi, cahayanya yang mengenai Dude membuat udara bertambah panas. Silaunya pun tak mampu lagi membangkitkan semangatnya. Ada yang berkecamuk dalam dirinya, seperti kekecewaan, tapi bukan.

“Barangkali benar yang dikatakan istriku, jika saja aku berlapang dada menerimanya mungkin keluargaku tak akan sekarut marut ini” ucap Dude

Apa boleh buat, Dude hanya ingin mempertahankan tanah peninggalan mendiang ayahnya. Meski sebenarnya rumah itu tak bisa dikatakan bagus dan layak, namun baginya, kenangan, suka, cita, duka. Segalanya tak ada yang lebih baik dari itu.

“Tak perlu sering kau pikirkan. Kita adalah rumah” ucap istrinya sambil tersenyum
“Akhirnya kau bicara juga. Hampir 2 minggu aku tak pernah mendengar suara keluar dari bibir manismu itu.” balas Dude dengan perasaan yang aneh

Sejujurnya apa yang bibir merah kemudaan itu ucapkan? di balik matanya yang terpancar, ada maksud yang tidak demikian. Tergambar dengan jelas ada hal yang disembunyikan. Sayangnya tidak bisa dibedakan antara kebaikan dan kebusukan, masing-masing selalu memiliki banyak wajah.

Hingga pada suatu malam saat langit begitu gelap dan mendung begitu berat, ia melihat Sekar sedang berdoa. Wajahnya yang terlihat penuh beban dan duka menengadah pada dinding yang dibuat dengan anyaman bambu tepat di atas kepalanya hingga terlelap. Saat Dude menyelimutinya dengan kain putih yang dibawanya, Sekar tiba-tiba menikamnya dengan sebilah pisau tepat di jantungnya. Dipeluknya Dude erat-erat, sambil bergumam “Dan benar demikian, Dude sayang. Tuhan menempatkanmu dimana kau dicintai tanah ini dan seorang perempuan... Maafkan aku sayang. Lebih baik kita mati bersama."

Oleh: Lailiyatus Shofiyah

Comments