Sutradara : Mike Wiluan
Pemeran : Adinia Wirasti, Marthino Lio, Michael Wahr, Edward Akbar, Jamie Aditya, Zack Lee, Alexandra Gottardo, Toshiji Takeshima, Joanne Kam, Ully Triani, dan lainnya.
Durasi : 1 jam tiap episode
Tayang Perdana : 4 November 2019
“Mengambil nyawa tidak membuatmu kuat, dan membiarkan orang hidup tidak akan membuatmu lemah.”
Terinspirasi dari sejarah salah satu kota pada masa penjajahan Belanda, yang terkenal sebagai pelabuhan dagang internasional di abad ke-15. Serial bertajuk Grisse ini terbagi menjadi 8 episode tayangan yang mengambil latar waktu sekitar 1800-an. Penggabungan budaya Timur dan Barat yang disuguhkan masih terbilang cukup kental dengan suasana Indonesia pada masa lampau yang sedikit disentil dengan nuansa koboi.
Atas dasar keinginan untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan dari kungkungan tirani, sekelompok orang yang tertindas kemudian bersatu melakukan pemberontakan dengan dipimpin seorang perempuan untuk menggulingkan gubernur yang bengis dan brutal. Mereka berencana akan mengambil alih kendali markas tentara Belanda bernama Grisse.
Kisah ini bermula ketika gadis desa bernama Kalia yang tanpa sengaja terendus keberadaannya oleh tentara Belanda saat memburu rusa. Karena khawatir akan nyawa yang terancam, Kalia membidikkan senjatanya ke tentara Belanda dan menyisakan 1 diantara ketiganya untuk dapat melarikan diri.
Setibanya di rumah, gadis itu merasa cemas, karena mestinya yang tersisa akan kembali untuk mencari dirinya. Rupanya benar adanya, saat Kalia tengah terjaga, tentara tadi sudah masuk ke rumah dengan menyodorkan senjata ke kepala ibunya. Negosiasi yang awalnya dibicarakan, kenyataanya hanya menyisakan kematian ibu juga adiknya. Bahkan Kalia pun sempat ingin dijamah, namun dengan sekuat tenaga Kalia berhasil menyingkirkan bedebah itu. Meski nasibnya akan berakhir di tiang gantung di depan gubernur bernama Daan, dan masyarakat Grisse. Di sinilah permulaan perlawanan nantinya akan terjadi.
Sayangnya, setelah pengambil-alihan berhasil didapatkan, terjadi pergulatan dalam hati Kalia akan tuntutan menjadi petarung untuk melanjutkan kehidupan setelah itu. Akhirnya dengan keberanian dan tujuan yang jelas untuk menyatukan perpecahan, Kalia mendeklarasikan kebebasan untuk kota Grisse.
Akan tetapi bukan perkara sederhana, bagaimanapun juga kolonial tidak akan menerima kekalahan begitu saja. Dan memang benar, setelah badai berlalu, peristiwa terburuknya segera datang. Dengan saran dari Moresby, wakil EIC Perusahaan India Timur, Kalia menyetujui pembentukan pemerintahan secara demokrasi. Orang Inggris itu juga memberikan bantuan, nahasnya di balik kebaikannya tersimpan kebusukan yang tak terduga. Dengan tipu muslihat surat perjalanan impor dan ekpor opium, sumbernya dan suplai yang sedang dicari-cari.
Di sisi lain, datangnya adik dari penguasa kerajaan tengah secara tiba-tiba menimbulkan kecurigaan bagi Kalia yang kemungkinan tak jauh beda dengan kakanya sebagai boneka Belanda. Apa boleh buat, Sultan Adnan yang mengaku terlahir sebagai nasionalis mengambil kendali kepemimpinan kota itu.
Ketidakberesan makin meruak, namun ketidakjelasan tersebut perlahan terjawab. Hal yang lebih kuat dari opium, yang harusnya dilindungi nyatanya menjadi banyak incaran kolonial. Apabila ada yang berhasil menyempurnakan formulanya ke dalam merchandise baru, bisnis akan sangat berkembang pesat dan benar-benar menguntungkan. Tentu kesempatan ini, membuahkan jalan terang bagi Kalia.
Nampaknya gerakan revolusi melalui karakter perempuan kuat dan tangguhlah yang ingin disuguhkan dalam serial ini. Persaingan dagang, pun perjalanan heroisme yang sarat akan konflik, juga penggambaran akan momen dimana perempuan hanya dipandang sebelah mata, karena dianggap subordinat saja, secara tidak langsung dimunculkan di dalamnya.
Serial Grisse ini juga mengingatkan pada kita, terutama bagi generasi millenial, bahwa kehidupan terdahulu sangat penuh akan perlawanan dan ketidakadilan. Dan barangkali masih bisa direfleksikan pada masa sekarang, yang bilamana seseorang saling berebut kekuasaan seringkali membuat akal sehat dan kemanusiaannya menjadi binasa. Bahkan keadilan yang diagung-agungkan, seakan ditujukan hanya untuk mereka yang memiliki kepentingan.
Jika dilihat, serial ini sekilas hampir mirip film Buffalo Boys yang sama-sama menggunakan nuansa western, meski dengan sisi ke-Indonesiaan dan koridor sejarah yang berbeda. Sekaligus karena serial ini adalah penggabungan antara fiksi dan realita, maka wajar saja bila terdapat suspention of disbelief. Jadi tak perlu dipermasalahkan akurasi sejarahnya. Jika membingungkan, cukup dinikmati saja.
Selain itu, perkara bahasa yang digunakan dalam serial Grisse ini juga menjadi salah satu celah tersendiri. Walau targetnya pasar global, menurut lidah nusantara saya, keputusan pemilihan bahasa dalam dialog terkesan kurang autentik. Sebab, mungkinkah seorang pribumi atau yang mengenakan kemben lihai bertutur Inggris?, ya mungkin saja, tapi kurang relevan pada masa itu. Selebihnya, intrik yang disajikan cukup menawan. Sekian.
Oleh: Lailyatus Shofiyah
Comments