Lidah Srikandi


Saat fajar akan menyapa, di ufuk timur sana pandangannya selalu tertuju. Dengan tenang dan anggunnya, diselonjorkan sepasang telapak kaki seperti mengikuti alunan angin yang menggoyangkan rerumputan hijau yang saling beradu kelenturan batangnya. Tiupan angin seakan menjadi serulingnya, gesekan para ranting dan daun yang jatuh pun seolah menjadi pelengkap instrumen yang terciptakan dalam diamnya. 

Aroma khas dari kopi yang telah ia seduh, diiringi embun pagi yang mulai menguap, menjadi penyambutan manis untukku. Kulihat ia kembali duduk bersila di pelataran dengan mata terpejam, seakan menikmati kehangatan mentari yang mulai menembus jiwanya. Ku pandang lekat-lekat matanya, dengan harap saat ia membuka mata, senyum dari bibir manisnya itu membuat pagiku ini menjadi lebih sempurna.

"Apa kopimu sudah kau sesap, sayang?" ucapnya tanpa membuka matanya sekalipun

Sedang aku hanya begumam hmm saja untuk menggodanya, lalu menyandarkan kepalaku dalam pangkuannya. Aku masih menunggunya membuka mata, tersenyum saat melihatku. Ku tunggu, detik demi detik, menit ke menit, hingga setengah jam berlalu, cukup membuatku sedikit kesal ternyata. "Kamu tau?" ucapku mengawali

Rupanya dia juga hanya membalas dengan bergumam hmm saja padaku, ah sialan. Sayangnya hal itu tidak membuatku menyerah untuk menggodanya lagi, jadi ku tunggu saja dia yang memulai. "Kenapa diam?" katanya, dengan posisi yang sama 

Aku terheran, bagaimana bisa wanita biasa di hadapanku saat ini bisa setenang itu, bahkan melebihi tenangnya air yang mengalir. "Aku hanya tidak ingin mengganggu ketenanganmu saja, aku takut kamu akan melakukan kesalahan seperti yang Dewi Kunti lakukan" celotehku

"Maksutmu?" jawabnya keheranan 

“Kamu ingat, saat Arjuna membawa Srikandi untuk dikenalkan pada Dewi Kunti? saat itu Dewi Kunti sedang bersemedi dan tidak ada yang bisa mengganggu ketenangannya" ucapku sedikit menggantung

Ia membenarkan posisinya dan menatapku dengan wajah yang dipenuhi ribuan pertanyaan, tapi yang terucap hanya, "jadi?"

"Jadi aku tidak ingin mengganggu ketenanganmu sayang" ulangku. Sedikit ku tekan agar ia menyangka aku kesal, karena yang ku tunggu sedari tadi tidak juga tiba. Dan tanpa aba-aba, seketika itu dia tertawa.

"Yang kutunggu hanya senyuman, eh malah dapet lebih" dalam hatiku kegirangan.

"Kamu ini ada-ada saja, gimana bisa kamu samakan aku dengan Dewi Kunti, aku cuma mempraktekkan teknik yoga dari internet kemarin, kamu malah keenakan tidur di sini" ucapnya sambil menepuk pahanya sendiri yang tadinya sempat kubuat bantal.

Aku sendiri tidak tau kenapa bisa aku membawa Dewi Kunti, padahal awalnya aku hanya teringat cerita Srikandi dengan ke-lima Pandawanya. 

"Andaikan kamu bisa menjadi sosok wanita yang kisah cintanya dikenang dalam sejarah, kamu ingin menjadi siapa? Srikandi dengan lima arjuna yang gagah perkasa atau Juliet dan Romeo yang kesetiannya enggan diragukan" tanyaku

Dipandangnya ranting yang saling bergesekan satu sama lain, tatapannya seakan menerawang apakah akan ada daun yang mengalah dan menggugurkan diri di sela ranting yang bergesekan itu. Sedang angin terus berhembus, disusul awan kelabu yang mulai bergemuruh. Suara-suara dari langit pun seakan mengiringi gugurnya daun yang memisahkan diri dari rantingnya, sementara rumput-rumput yang tadinya mulai diam kini bergoyang kembali mengikuti alunan angin yang berhembus syahdu.

"Bahkan untuk memikirkan menjadi mereka aku rasa tak sanggup. Aku hanya ingin menjadi seperti ini, menjadi kekasihmu tanpa menjadi siapapun, sayang" katanya cukup serius

Suaranya begitu dekat, seperti berbisik namun terdengar nyaring sekali di dalam gendang telingaku, kata-katanya bak puisi yang dibacakan dengan panah Arjuna yang langsung akan mengenai siapapun yang di dalamnya masih ada ruang hampa

"Yakin tidak mau menjadi Srikandi?" tanyaku lagi

“Tidak sayang, cukup seperti ini, bersamamu”

"Andai dulu Srikandi yang membawa Arjuna, dan Arjuna yang mendapat 5 Srikandi apa kau ingin menjadi Arjuna dengan 5 Srikandi itu, Sayang?" balasnya, semacam pembalasan bagiku

“Jika memang ada, kenapa tidak?” godaku sambil mencubit ujung hidungnya, lalu kita terbahak bersama-sama. 

Terkadang perkataannya membuatku berpikir, jika memang benar-benar ada, apa aku bisa bertahan dengan 5 Srikandi sepertinya. Satu saja perkataannya sudah membuatku menjadi papan sasaran, menjadi Arjuna dan menjaga 5 Srikandi sepertinya, mungkin membuat kesaktian Arjuna pun akan kalah dengan puisi yang selalu menjadi senjatanya. Dan demikian aku juga berpikir sama sepertinya, cukup menjadi seperti ini, menjadi kekasihnya tanpa perlu menjadi siapapun. Akan tetapi, entah kenapa aku terus-menerus membayangkan menjadi Arjuna dan memiliki 5 Srikandi sepertinya yang begitu rupawan, kuat dan setiap saat kata yang ia ucapkan seperti lantunan syair yang kudengar. 

Awan kelabu yang tadinya bergemuruh, kini mulai meneteskan buliran air yang begitu dingin dan menyadarkan khayalanku yang begitu asik memerankan sosok Arjuna dan membayangkannya menjadi Srikandi. Tak lama kemudian, rintik gerimis mulai turun saat aku dan dia masih menikmati semilir angin dan tetesan rintik yang jatuh secara lembut di kulit.

Suasana berubah seketika saat guyuran air menyerbu begitu deras. Ia telah sampai di teras rumah dan mengisyaratkanku untuk segera mengikutinya agar tidak semakin basah karena serbuan air hujan. Meski sebenarnya aku masih ingin bermain air di bawah hujan itu, tapi sayangnya ia tidak setuju.

"Nanti kalau sama-sama masuk angin siapa yang susah?" katanya, dan aku hanya bisa menurut saja dengan apa yang ia ucapkan. Mungkin jika ia menjadi Srikandi dan Aku Arjuna kita tidak memikirkan akan masuk angin nantinya, bahkan Arjuna saja bisa mengendalikan angin dengan anak panahnya. Ah, lagi-lagi aku terbayang menjadi sosok Arjuna.

***

Hujan yang kupandangi sejak tadi tak juga reda, hingga bulan enggan menampakkan diri di langit yang kegelap-gelapan. Sepertinya memang disengaja tidak menyapa malam ini, mungkin bulan lebih memilih untuk rebahan saja bersama bintang di atas sana. Sementara aku di sini bersama dia yang selalu bersamaku, yang lebih setia dari Juliet kepada Romeonya.

Di teras rumah, sambil menikmati kopi dan camilan yang sudah tersedia, kami melihat beberapa orang terpaksa berjalan dengan pancaran lampu yang temaram, sedikit redup karena tertutupi payung di kepalanya.

"Apa kamu tidak ingin membayangkan mereka menjadi Romeo dan Juliet seperti yang kamu bayangkan kita menjadi Arjuna dan Srikandi tadi?" katanya, saat melihat sepasang kekasih melintas di depan rumah dengan bergandengan tangan dan berhimpitan agar tak kena percikan air hujan atau semata-mata hanya modus salah satu diantara keduanya.

"Tidak ah, aku hanya suka membayangkan kisah kita saja" ucapku sedikit kuberi nada manja seperti bocah yang sedang tidak cocok dengan mainan yang dibelikan ibunya

"Kenapa harus kita?" jawabnya dengan memandangiku seakan jawabannya adalah sebuah hadiah yang sedang ia tunggu saat itu juga.

Kunaikkan alisku dan menatap langit yang begitu pekat. Berlagak seperti orang yang sedang berpikir, dia juga mengikuti apa yang aku lakukan, dan membuatku semakin gemas melihat tingkahnya itu. Tiba-tiba saja dia tertawa lalu tersenyum seolah kembali menggodaku 

"Sejak kapan kemampuan telepati itu ada?" kataku sambil membalas dengan senyum yang lebih menggoda tentunya, hehe.

Dia hanya memalingkan wajah dengan senyum yang terus melekat pada bibir mungilnya itu. Membuat malam ini menjadi lebih bersinar, meskipun rembulan saat ini sedang bermalas-malasan untuk menampakkan kemilaunya. [Tamat]


Oleh: Mutiara Adelia Putri

Comments