Segala-galanya Ambyar


“Aku telah mencoba untuk menjalani hidupku sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang kurasakan justru kegembiraan bukan ketakutan,” - hal 12

Judul : Segala-Galanya Ambyar
Penulis : Mark Manson
Ahli Bahasa : Adinto F. Susanto 
Pernahkah sepanjang usiamu hingga kini mengalami suatu hal yang membuatmu jatuh tersungkur parah? Menghadapi situasi di mana segalanya tampak benar-benar parah dan bagaimanapun kau tak sanggup membenahi. Namun kau dipaksa terus melangkah meskipun di atas kobaran api menyala. Suara batinmu memberontak, mengoyak sampai ke ulu hatimu. Nahas, tenggorokanmu kering kerontang tak mampu bersuara sedikitpun. Begitu mengerikan layaknya datang ke perkawinan sang mantan.

Sebuah buku fenomenal tentang harapan karya Mark Manson berjudul Everything is F*cked yang setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Segala-Galanya Ambyar. Yang mana sebelumnya, Mark menerbitkan bukunya yaitu The Subtle Art of Not Giving a F*ck yang diterjemahkan menjadi Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat.

Bilamana tulisannya yang dominan provokatif namun tak mengurangi minat dari pembaca. Keluwesannya dalam menganalisa dari fakta dan kasus yang ia suguhkan baik dalam pendekatan psikologis maupun saintifik benar tak bisa diragukan lagi. Mencoba mencari benang merahnya di setiap masalah mulai dari agama, politik, ekonomi, hiburan, dan teknologi.

Di awali dengan kisah Witold Pilecki, pemuda asal Polandia yang memiliki rasa nasionalitas yang tinggi kepada negerinya. Ia hidup di masa rezim Adolf Hitler dan kekejian  tentara Soviet. Tujuannya hanya satu, Polandia berdaulat dan merdeka. Hingga suatu ketika dalam menjalani misinya untuk menyelamatkan tawanan baik tentara maupun masyarakat Polandia, Pilecki divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati. Pilecki dihujani dengan segala tuduhan mulai dari pemalsuan dokumen dan pelanggaran jam malam hingga keterlibatannya dalam spionase dan pemberontakan. Ia pun tak mampu mengelak lagi. Hingga di ujung penderitaan yang dialami, ia masih mengatakan hal yang sungguh menyayat hati. “Aku telah mencoba untuk menjalani hidupku sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang kurasakan justru kegembiraan bukan ketakutan,”. Ia dengan tegas menyatakan bahwa kesetiaannya senantiasa hanya ditambatkan untuk Polandia dan segenap warganya. 

Mark bukan hanya sukses membawa karya tulisannya ke kancah internasional, namun ia benar mampu membangun emosi pembaca setianya. Contoh kisah yang ia berikan mampu mengaduk nalar pikiran pembaca. Dari sepenggal kisah di awal buku bersampul biru muda ini, kau takkan mampu membayangkan sosok seperti apa Pilecki di era milenial ini. Bosan rebahan karena diterapkan Social Distancing yang membuatmu ingin memaki dengan level kata paling kejam yang kau tujukan kepada virus sialan itu. Atau kau ingin meloncat saja ke lautan paling dalam (bukan kenangan) lantaran tugasmu yang terus menumpuk kian hari. Semua takkan mampu menggambarkan kepedihan yang pernah dialami Pilecki semasa hidupnya.

Berlanjut dengan kisah seorang pengusaha sukses bernama Elliot yang menjadi dambaan setiap kaum hawa. Ia harus menjalani operasi pengangkatan tumor di kepalanya yang sudah sebesar bola kasti. Elliot tak menyadari bahwa setelah operasi dilakukan, ada perubahan yang signifikan dalam tubuhnya. Hal itu berdampak pada kehilangan pekerjaan, keluarga, dan jati dirinya. Setelah menjalani berbagai tes kesehatan, seorang dokter syaraf berspekulasi bahwa ia telah kehilangan perasaannya. Ia tak bisa lagi membedakan mana yang lebih penting dalam hidupnya. Kini ia hanya pria miskin, terkucilkan, dan sebatang kara. Pria yang pernah memandangi segepok foto mengerikan dan menjijikkan namun tetap menyunggingkan senyumannya setiap saat. Ini benar situasi dengan keambyaran yang sesungguhnya. Sungguh lebih menyedihkan juga dibandingkan ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Kisah Friedrich Nietszche, pria dengan mata tajam serta kumis tebal. Ia mewarisi gangguan syaraf yang menyebabkan migrain sepanjang hidupnya hingga gila di usia tuanya. Ia juga peka akan cahaya yang membuatnya tak bisa keluar rumah tanpa kaca mata dan membuatnya hampir buta. Ya, Nietszche seorang pria pesakitan sepanjang hidupnya. Berbeda dengan kisah Immanuel Kant, pria yang menjunjung tinggi martabat manusia. Sikap bodo amatnya bisa diacungi jempol. Lantaran ia tetap berdiri tegak di hadapan para dewa dan menantang mereka. Dan masih banyak lagi kisah yang disuguhkan dalam buku ini yang tidak mampu ditulis dengan begitu rinci.

Secara keseluruhan Mark ingin menyampaikan bagaimana harapan selalu ada di setiap masalah yang tengah menggerogoti akal pikiran manusia. Semuanya memang tampak ambyar. Tapi, sejatinya di sana ada sesuatu yang berkilauan dan indah. Di sana terdapat harapan. Buku ini agak susah dipahami dibandingkan sifatnya yang dingin sejak lahir eh maksudnya dibandingkan dengan buku yang pertama (Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat). Uraiannya bersifat anjuran sederhana yang dibalut argumen para filsuf yang membuat penulis membutuhkan waktu pemahaman yang cukup lama. 

Setiap kalimat yang disuguhkan memiliki tingkat bahasa yang tinggi bagi penulis yang  tergolong masih awam. Namun tak mengurangi konsistensi untuk tetap melanjutkan perjuangan hingga akhir karena buku ini layaknya magnet dalam diri "aku dan kamu" yang selalu ingin bersanding menikmati fananya waktu. 

Oleh: Nur Fitri Prihatiningsih

Comments