Di penghujung petang, dari balik jendela kamar, beberapa laki-laki sedang berlalu lalang di seberang jalan. Srikandi memalingkan mukanya, tanda bahwa dia sangat membencinya. Karena bagi Srikandi, yang ada dalam pikirannya, setiap wanita merupakan seseorang yang biasa dijajah kaum pria, mereka tidak memiliki kebebasan apalagi karir, dan harusnya juga bertempat di dapur, berteman dengan beraneka macam senjata tempur berbahan aluminium.
Dalam berbagai permasalahan yang ada, wanita selalu mengalah, apalagi apa yang dikatakan seorang ayah. Wanita tak akan pernah berani membantah, karena itu sama saja anak yang durhaka. Wanita mencabut seluruh hak-haknya dan memberikan segalanya kepada suaminya kelak.
Hal itu tidak berlaku bagi Srikandi, salah satu seorang wanita cantik yang memiliki angan untuk menuntut ilmu lebih tinggi. Srikandi ingin membebaskan wanita dari belenggu ketidakadilan dan penindasan kaum pria. Namun semuanya sirna dan hanya menjadi angan-angan semata. Semua terjadi karena permasalahan serius yang ada di keluarga Srikandi, yang membuat ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya.
Tapi bukan Srikandi namanya kalau menyerah begitu saja, baginya permasalahan itu merupakan sebuah tantangan yang harus ia taklukkan. Ia mengambil buku apapun yang ada di rak buku, mulai buku pelajaran, buku dongeng, buku tabungan, tagihan pembayaran listrik, dan masih banyak lagi buku yang Srikandi ambil dari rak bukunya. Semuanya ia baca tanpa ada satupun yang terlewat. Dari semua buku itulah Srikandi memiliki ilmu yang cukup luas dibandingkan anak lain yang ada di sekolahnya.
Di malam yang teramat tenang, Srikandi sedang membaca dan memahami inti dari setiap bait yang terkandung didalam buku yang ia baca. Dalam ketenangannya saat membaca buku, tiba-tiba ibu Srikandi memanggilnya.
“Srikandi, kemarilah sebentar nak” Teriak ibu
“Iya Bu, sebentar” Sahut Srikandi
Perlahan Srikandi merapikan buku yang baru ia baca ke tempat semula. Dengan tergesa-gesa ia menuruni tangga dan menemui ibunya. Srikandi tampak kebingungan, karena ada seorang pemuda yang agak lumayan tampan. Dengan rambut klimis, kumis tipis, dan alis bergaris-garis. Dengan ekspresi yang agak songong, ia memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan, nama gue Basudewo” Ujar pemuda itu
“Iya bang, saya Srikandi” Jawab Srikandi
“Jangan panggil gue bang dong, panggil mas aja biar lebih akrab. Oh iya, gue datang kesini untuk melamar lo” Ucap Basudewo.
Tentu saja Srikandi sangat terkejut mendengar ucapan dari pemuda itu, Srikandi tidak ada niatan sama sekali untuk menikah. Apalagi dengan laki-laki songong dan bahasa yang tidak karuan itu. Srikandi hanya ingin mengejar cita-citanya untuk mengeyam pendidikan setinggi-tingginya. Dengan wajah memela, Srikandi pun merengek kepada ibunya.
“Ibuuu, pokoknya aku nggak mau menikah, aku masih ingin belajar dan belajar, pokoknya yang aku ingin cuma belajar bukan malah menikah” Pinta Srikandi
“Srikandi, dengar kata ibu. Basudewo anak baik dan pintar, jadi kamu ngak usah belajar dan tidak perlu menjadi pintar” Jawab ibu
“Ibuuu, untuk apa aku menikah dengan pria tampan dan pintar jika aku sendiri tidak pintar? Aku hanya ingin menyamakan posisiku agar bisa setara dengan pria, bu” Ucap Srikandi
“Srikandi anakku, sepintar apapun dirimu, tetap saja kamu akan kembali ke dapur nak, karena sejatinya wanita memang seperti itu” Jawab ibu.
Srikandi dan ibunya saling beradu argumen dan beradu pandang. Dan untungnya tidak sampai terjadi baku hantam di antara keduanya. Disisi lain Basudewo merasa muak dan bosan melihat drama itu, ia kemudian berpamitan pulang daripada juga ikut terbawa kedalam perdebatan.
“Anu buuu begini saja, kalau Srikandi tidak menerima lamaran gue untuk saat ini, ya sudah tidak apa-apa. Lain kali gue kesini lagi” Ucap Basudewo.
“Baiklah kalo begitu, terimakasih atas kunjungannya” Jawab ibu.
Basudewo melangkah pergi dari rumah Srikandi dengan songongnya. Saat Basudewo telah pergi, ibu Srikandi kembali membicarakan soal lamaran yang telah diajukan Basudewo kepada Srikandi.
“Srikandi! Jangan pergi dulu kamu, pokoknya kamu harus mau menerima lamaran dari Basudewo. Kamu harus melakukan seperti apa yang ibu lakukan dulu. Tidak menolak ketika ada orang yang melamar, karena jika ibu menolak itu sama saja ibu telah durhaka kepada orang tua ibu. Jadi sekarang kamu harus melakukan apa yang ibu katakan. Pokoknya kamu harus menerima lamarannya” Perintahnya dengan nada marah, lalu meninggalkan Srikandi sendirian di ruang tamu.
Selayaknya wanita biasa, Srikandi pun menangis tersedu-sedu. Kata-kata ibunya masih terngiang di telinganya. Demi menghilangkan rasa sedihnya, ia menuangkannya dalam secarik kertas yang berada di mejanya. Apapun yang ada di pikirannya, ia tuangkan kedalam coretan-coretan penuh makna di atas lembaran kertas putih itu. Dan tanpa Srikandi sadari, ia telah menghabiskan puluhan lembar kertas dan puluhan pulpen standar warna hitam.
Hari demi hari telah Srikandi lalui dengan membaca segala jenis buku. Bukan hanya membaca, ia bahkan membagi ilmunya kepada wanita-wanita yang ada di sekitar rumahnya.
Setiap sore, ia selalu berada di taman belakang rumah untuk menunggu wanita yang memiliki semangat untuk belajar. Sesuai harapannya, ingin menyatarakan derajat wanita sama seperti laki-laki. Hal sederhana itulah yang dapat membuat Srikandi bahagia, berbagi ilmu dengan sesama.
Tetapi kebahagiaan Srikandi tidak bertahan lama, di sore yang meneduhkan. Saat ia akan pergi ke taman belakang, Basudewo datang bertamu ke rumahnya. Dan itu berbarengan dengan perginya kedua orang tua Srikandi mengunjungi saudaranya.
“Permisi, om, tante. Ini Basudewo datang”
“Iya, sebentar” Srikandi pun membuka pintu untuk Basudewo dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah.
Seperti biasa, dengan sikap songongnya Basudewo duduk di kursi yang berada di ruang tamu dengan menaruh kakinya di atas meja. Sedang Srikandi lekas-lekas membuat minuman dan mengambilkan sedikit cemilan untuk Basudewo.
“Silahkan di minum tehnya”
“Baik, terimakasih” Jawab Basudewo
“Ada maksud apa anda datang kemari?” Tanya Srikandi
“Apa lo lupa? Gue kesini sebenarnya mau menanyakan jawaban soal lamaran kemarin” Ucap Basudewo
“Oh maaf, saya masih belum memikirkan jawaban apa yang akan saya berikan kepada tuan” Ucap Srikandi.
Basudewo pun berulang kali meyakinkan Srikandi untuk menerima lamarannya. Tapi Srikandi tetap berpegang teguh pada pendirian, bahwa ia masih ingin mengejar angan-angannya. Srikandi masih harus banyak belajar, masih harus banyak membaca buku, dan masih harus membagi ilmunya kepada wanita di sekitar tempat tinggalnya.
Karena sudah berulang kali telah menyakinkan Srikandi dan Srikandi menolak. Basudewo pun murka. Dengan wajah yang memerah dan mata yang melotot tajam, Basudewo langsung gelap mata. Matanya telah dibutakan oleh setan yang sejak dari tadi mengikutinya. Basudewo akhirnya memaksa Srikandi, dan langsung melakukan perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan.
Srikandi pun menangis dan berteriak sekencang-kencangnya, berharap ada orang yang mendengarnya. Srikandi berusaha meminta tolong, juga berusaha melepaskan dekapan Basudewo.
Srikandi tak sanggup melepaskan diri dari dekapan Basudewo karena dekapan itu sangat kuat. Ia juga memohon-mohon kepada Basudewo agar tidak diperlakukan seperti itu. Tapi Basudewo terlanjur dikendalikan oleh hawa nafsu dan emosinya.
“Tolong lepaskan aku, jangan lakukan ini” Pinta Srikandi
“Gue tidak akan menuruti apa permintaan lo, karena lo ngak mau menuruti permintaan gue” Basudewo mulai melucuti pakaian Srikandi dengan bringas, layaknya kucing yang mendapatkan ikan di kantung plastik.
Sebelum Basudewo berbuat yang lebih bejat lagi, orang tua Srikandi tiba-tiba datang. Ibu Srikandi buru-buru menghampiri putrinya yang berteriak minta tolong. Ibunya terkejut melihat anaknya minta tolong karena ulah bejat Basudewo.
“Dasar laki-laki bangsat, apa yang kamu lakukan pada anakku. Pergi kau dari sini, dasar laknat kau?” Ucap ibu Srikandi
Basudewo seketika pergi meninggalkan rumah Srikandi dengan raut muka marah bercampur malu. Disaat itu pula Srikandi langsung memeluk ibunya sambil menangis tersedu-sedu. Ibunya merasa bersalah karena telah memaksa Srikandi untuk menikah dengan Basudewo.
“Srikandi anakku, maafkan ibumu ini yang telah memaksamu untuk menikah dengan lelaki bangsat itu” Sesal ibunya.
“Iya bu, tapi aku takut. Aku tidak mau bertemu dengan lelaki itu lagi. Lelaki busuk” Jawab Srikandi.
“Ibu tidak akan memaksamu lagi untuk menikah nak, kamu boleh menentukan pilihanmu sendiri” Ucap ibunya.
Setelah kejadian itu, Srikandi masih merasa trauma dan merasa takut, jika sewaktu-waktu kejadian seperti itu terulang kembali. Namun lagi-lagi, bukan Srikandi namanya kalau tidak bisa melawan rasa takutnya. Dan Srikandi pun kembali bersekolah karena dorongan dari orang tuanya.
Selama sekolah ia mendapat banyak pelajaran. Ditambah kalimat yang selalu di ingat selama menempuh pendidikan, “Berprestasilah setinggi mungkin karena orang akan menghargai kita jika kita berprestasi”. Kalimat yang ia dapat dari seorang gurunya, yang merupakan salah satu perempuan yang memperjuangkan kaumnya.
Karena bagi Srikandi, wanita tidak boleh lemah, wanita sama seperti laki-laki, wanita berhak mendapatkan pendidikan dan menggapai cita-citanya. Bagi Srikandi wanita bukanlah seorang yang bisa digunakan hanya untuk memenuhi kepuasan lelaki saja, tetapi wanita merupakan pahlawan yang diperlukan untuk menjadikan suatu bangsa menjadi maju.
Di tengah-tengah kesibukan dalam belajar, ia sempat melanjutkan tulisannya yang sudah terbengkalai beberapa waktu. Di rangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, lembar demi lembar, agar tersusun tulisan tersebut. Tak sampai dua bulan, ia menyelesaikan tulisannya. Akhirnya ia mencetak dan menerbitkan puluhan lembaran, bahkan ratusan, sebuah buku yang berjudul “Majulah Perempuan Bangsa”. [TAMAT]
Oleh: M. Rendy Sulistyo
Comments