Judul Buku: Berapa Luas Tanah yang Dibutuhkan Seorang Manusia
Penulis: Leo Tolstoy
Alih Bahasa: Muhammad Iqbal Suma
Penerbit: CV. Global Indo Kreatif
Cetakan: Kesatu, Oktober 2019
Tebal buku: 74 halaman
ISBN: 978-602-53696-8-1
“Perut petani kecil, tapi bisa tahan lama; kami tak akan bertambah kaya, tapi selalu memiliki cukup makanan.”
Inilah kisah klasik tentang kebutuhan manusia melawan ketamakan. Yang semula setiap orang dapat hidup bahagia dengan kebutuhan mereka masig-masing, iming-iming untuk mendapatkan lebih banyak harta ternyata menghancurkan kebahagiaan tersebut. Bagaimana moralitas manusia dipengaruhi ketidakpuasan duniawi, tercerminkan pada kehidupan Pahom, seorang petani desa yang mengukur segala sesuatu berdasar maujudnya harta benda. Ialah sebuah simbol, kehausan manusia akan hasrat kemewahan.
Akibat tak kuat hati mendengar bualan istri dan kakak iparnya, Pahom yang semula hidup sederhana, seketika meratapi nasibnya yang dirasa begitu-begitu saja. Pada saat itu juga, ternyata syaithonirrojim tengah menguping dan tertawa dengan ada apanya.
Pahom yang sudah tertawan hatinya pada hektaran tanah, langsung terpelosok perangkapnya. Mulailah ia menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan tanah yang subur dengan harga yang murah. Demikian, upaya demi upaya yang dilakukan membuahkan hasil dan menghantarkan kebahagiaan. Sayangnya, semua itu tak membuatnya terpuaskan.
Mungkin di sini Pahom selalu merasa bahwa apa yang dia inginkan adalah apa yang dia butuhkan, padahal tidak demikian. Akhirnya, dia malah dipusingkan atas keinginan yang tak pernah ada habisnya. Bahkan, seringkali terlena oleh hal-hal yang semestinya tidak pada lazimnya.
Silang hari, dia bertemu pedagang yang mengantongi info menarik. Dan setelah cuap-cuap panjang kali lebar, Pahom pun langsung pergi mengembara ke perkampungan Samara, bertemu orang-orang Bashkir, meninggalkan tanah kelahirannya, anak istrinya, demi meraih tanah impiannya.
Alhasil, tak perlu menunggu lama, Kepala Suku memberi Pahom kebebasan untuk mengukur tanah semaunya, dengan syarat—ia harus kembali ke titik awal keberangkatan sebelum senja menenggelamkan dirinya. Dengan begitu berapa luas dan banyak pun tanah yang dia peroleh, bakal menjadi miliknya. Pahom kegirangan.
Puaskah Pahom? Tidak. Ironisnya, justru tengah hari, ia berhasrat pulang—meregang nyawa dan membawa tanah seukuran keranda.
Barangkali kehadiran kisah ini bisa dijadikan cermin atas realitas orang-orang yang selalu beranggapan bahwa ketika memiliki banyak tanah dimana-mana, itu dianggap sebuah representasi dari kekayaannya yang berlimpah-ruah. Nyatanya? Tidak dibawa kemana-mana. Tidaklah mutlak.
Barangkali kehadiran kisah ini bisa dijadikan cermin atas realitas orang-orang yang selalu beranggapan bahwa ketika memiliki banyak tanah dimana-mana, itu dianggap sebuah representasi dari kekayaannya yang berlimpah-ruah. Nyatanya? Tidak dibawa kemana-mana. Tidaklah mutlak.
Tokoh Pahom di sini juga dapat diibaratkan orang yang tidak pernah merasa bersyukur dan selalu merasa kekurangan. Bahkan, dewasa ini dikhatamkan atas beberapa orang yang selalu gelap mata bila melihat yang mewah-mewah.
Untuk itu, jelas konsep kehidupan yang ingin disampaikan dalam cerita ini agar manusia dalam menjalani hidup seadanya, secukupnya saja, tak perlu dilebih-lebihkan. Karena, sejatinya kepuasan dunia hanyalah bersifat nisbi.
Demikian, cerita ini sangat apik untuk dibaca. Meski berangkat dari keseharian manusia, namun kritik moral yang tersaji cukup menunjukkan betapa absurdnya keserakahan manusia akan materi. Melalui buku ini juga, siapapun dapat memetik hikmah yang bergelantungan di sepanjang cerita. Menyejukkan.
Hakikatnya, kisah ini mengingatkan kita (baca: manusia), bahwa seluas dan sebanyak apapun tanah yang didapatkan di dunia, saat waktunya tengah tiba, toh tak lebih dari seluas ujung rambut hingga kaki saja yang ditutupi tanah.
Diakhir kata, mengutip kata-kata Erich Fromm, “sejauh manusia masih termakan ketamakan, nalar tidak akan memberi arti pada hidup manusia”. Ah, semoga kita tetap berada di jalan kewarasan dalam kefanaan. Menghamba, pada-Nya yang Maha Kuasa.
Oleh: Lailiyatus Shofiyah
Comments