Kalau aku bosan gimana hayo, Kokom berbicara dengan seseorang yang muncul di layar HP-nya yang mati, tak sepatah kata pun diucapkannya. Kokom diam ia ikut diam, Kokom berbicara ia juga ikut komat-kamit tak bersuara. Wajahnya meruncing dengan tatapan sinis, Kokom balik melihatnya. Kalau aku jadi gila gimana? Kata Kokom. Sibuk menimbang-nimbang kesehariannya yang berada di rumah saja, yang gitu-gitu saja, selama kurang lebih hampir dua bulan belakangan ini.
Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Teringat ia akan penggalan puisi Chairil itu, sibuk mencari jawaban sana-sini kapan kiranya ia bisa pergi keluar lagi; membuat jadwal piknik, pergi ke tempat favorit, atau sekedar beli pentol dan es wawan di Alun-alun kesayangan. Mampus. Tak didapatnya pula jawaban yang ingin diraihnya itu. Hmmmm.
“Kom...Kokom...” suara Ibu memanggil dari balik daun pintu kamarnya
“Iya Ibu!?! Ada apa?” jawabnya dari kamar, masih dengan posisi rebahan favoritnya, dua bantal ditumpuk, satu kaki mengait pada kaki lainnya, bersahutan musik Folk Indie di telinga sembari membaca buku sastra favoritnya. Ngomong-ngomong begitu saja kehidupannya.
“Ayok keluar, kita harus berjemur, biar sehat” jawab Ibu bersemangat
“Ah, Ibu. Iya, iya” daun pintu diputar, wajah Kokom masih sembab. Bukan karena menangis, tapi karena begadang semalaman melihat film sci-fi kesukaannya. Semangat sekali Kokom ini, macam ingin menjadi penyair terkenal tingkat dunia. Usut punya usut kalau tidak terkenal di negara lain minimal di negara sendiri, kalaupun tak bisa ya syukur-syukur kelas kampung. Kampung halamannya sendiri.
“Kokom... Kokom... Cuci muka dulu. Anak gadis wajahnya kusut gitu” jawab Ibu
“Nggak usah Bu, ayok ke depan aja.”
Rupa-rupanya mentari sudah hampir tepat di atas kepala, tetangga-tetangga malah sudah berjemur duluan. Ada pula yang sambil membawa kursi malas mereka, lengkap dengan es jeruk yang menyegarkan. Alih-alih tak bisa ke pantai, itu saja yang bisa menggantikan. Sementara kakak si Kokom, Denis, sudah pergi ke ladang dengan Bapak pagi-pagi buta tadi. Tak perlu berjemur, kerja di ladang panas-panasan, sudah lebih dari cukup.
Virus itu telah melumpuhkan kegiatannya, pun dengan orang-orang yang terkena dampaknya. Kokom sekeluarga tidak bisa pergi ke mana-mana, hanya bisa keliling di kampungnya saja. Dalam lamunan ia berpikir, “Kasihan sekali mereka-mereka yang tetap harus bekerja untuk menghidupi keluarga, mau tidak mau, takut atau tidak, harus dijalani. Semoga tetap dilindungi Tuhan”, hanya doa yang bisa diberikan oleh Kokom.
“Eh Mbak Kokom, berjemur juga?” Pak Mardi menyapa yang kebetulan lewat depan rumah Kokom dan membuyarkan lamunannya
“Eee... Pak Mardi, iya nih Pak. Ibu yang nyuruh” jawab Kokom
“Biar sehat, biar terhindar dari penyakit. Aamiin” sela Ibu dengan doa penuh kekhusyukan
“Hehe, ya sudah Mbak Kokom, Bu Sita, saya mau ke ladang dulu” ucap Pak Mardi
“Baik, Pak. Monggo.” Jawab Kokom dan Ibu hampir berbarengan
Hampir lama berjemur, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali masuk ke rumah. Lagi-lagi masuk ke rumah. Ibu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk Denis dan Bapak yang sebentar lagi pulang dari ladang, sementara Kokom kembali ke kamar dan sibuk melanjutkan aktivitasnya lagi. Selang beberapa jam akhirnya Denis dan Bapak tiba. Mereka makan bertiga, Kokom tetap menyendiri.
***
Sore hari seperti biasanya, mereka berempat duduk-duduk santai di beranda rumah sembari menikmati langit senja yang warnanya merah kesumba. Ditemani kopi tubruk buatan Ibu yang tak ada duanya, lengkap dengan kue kering coklat yang lezat. Kegiatan seperti ini sering mereka lakukan untuk sekedar mengusir rasa bosan, dan sebuah anugerah untuk saling mempererat rasa kekeluargaan. Apapun mereka bicarakan, dari topik yang ringan hingga ke diskusi kenegaraan. Asyik.
Kokom memulai pembicaraan “Kasihan sekali bagi mereka yang harus tetap bekerja keluar rumah ya Pak, Bu, Mas”, sedikit jeda kemudian melanjutkannya lagi “apalagi orang-orang kecil yang sangat mengharap bantuan dari Pemerintah. Kalau kita ini, ya syukurlah masih bisa dibilang berkecukupan”
“Ya begitulah, Kom. Maka dari itu kita juga tidak boleh acuh tak acuh ya, apapun yang dapat kita berikan ya kita bagi kepada yang membutuhkan. Setiap pagi kita juga menggantung-gantungkan sayur-mayur kan buat mereka juga. Semoga saja bisa bermanfaat” Bapak tersenyum
“Iya Pak, Aamiin.” Ibu menjawab dan Kokom hanya manggut-manggut saja, sementara Denis masih khusyuk dengan kopinya
Tak lama kemudian Denis bersuara “satu lagi yang terpenting, kita jangan sampai kehilangan rasa kemanusiaan. Waspada boleh, takut jangan. Masak iya, aku pernah lihat berita ada orang yang ditolak pemakamannya gara-gara sebelumnya terjangkit virus sialan itu” ia mengutuk, “jangan sampai kita kayak gitu. Amit-amit”
“Siap bos.” jawab Kokom centil, disambung gelak tawa keempatnya yang menghangatkan suasana kekeluargaan
Mereka sekarang hampir mirip dengan cerita Sampar-nya Albert Camus, dimana penduduk kota tak bisa keluar ke mana-mana, sebab virus dari tikus-tikus yang mati dimana-mana itu. Namun, mereka berempat tak pernah menyesali, yang terjadi ya sudah, biarlah terjadi. Ambil hikmahnya saja. Sementara langit yang tadinya merah kesumba, kini hampir gelap menuju kehitaman. Mereka akhirnya bergegas masuk ke dalam rumah.
Siapa pula yang akan peduli pada orang-orang kecil, jika bukan mereka yang masih memiliki hati. Dipikirnya lamat-lamat dalam kepalanya, Kokom menaruh harap semoga kehidupan akan berjalan kembali seperti semula.
***
Malam hari, saat yang tepat untuk bersantai di ruang keluarga sembari menonton televisi dengan talkshow dan berita ter-update. Bantuan telat datang, ada yang masih sibuk memasang foto diri dalam pembungkus bantuan, Dewan Rakyat terhormat (katanya) yang bersikukuh membahas RUU Omnibus Law di tengah pandemi ini, dan lain sebagainya. Hadeuuhh. Di saat yang lainnya sibuk memikirkan cara agar virus ini segera kelar, tidak dengan 'kita' yang melulu berkelakar. Kalau bukan unik apalagi namanya, mau bersedih eh lucunya bukan main.
“Ada-ada aja” Denis berucap sambil geleng-geleng kepala
“Iya ya Mas, huhh” jawab Kokom, kemudian dengan gayanya menirukan scene Cinta di AADC 2 yang fenomenal itu, “Dewan... Yang kamu lakukan ke saya itu...jahattt”. Dengan menatap tajam ke wajah Denis. Alih-alih kakaknya itu dijadikannya Rangga, sementara Denis lemas karena tertawa terus dengan adiknya itu. Percakapan yang tak ada bosannya.
“Ya udah deh Mas, aku mau ke kamar dulu. Lanjutin sendiri nontonnya.”
Siapa pula yang tak dirugikan dengan virus ini, semuanya harus berdiam diri di rumah; bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Sibuk bergumam dengan dirinya sendiri, Kokom menengadahkan doa pada bait-bait puisi ciptaannya. Sementara lagi-lagi ia memikirkan orang-orang kecil di sana, bagaimana kehidupannya sekarang, sudahkah mereka menerima bantuan. Kasihan sekali mereka, Tuhan. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bercokol dan berputar-putar di dalam kepalanya. Sebentar dia sudah dalam sepi lagi terjaring.
Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Lagi-lagi penggalan puisi itu terngiang-ngiang di telinga Kokom. Setiap nasib memang milik mereka sendiri sementara kehidupan mengharuskan mereka untuk terus bertahan dan tetap tegar menjalani. Namun dalam suasana saat ini, saling berbagi dan menjaga diri jauh lebih baik. Tak perlu disesali. Berpikir dan berkelakuan yang waras harus tetap melekat.
Di akhir kata, dalam lamunannya sebelum beranjak tidur
: Kapan kiranya ini akan berakhir Tuhan?
Oleh: Mohammad Jumhari
Comments