Nasib Desa Bala-Bala tidak pernah berubah. Berada terasing jauh dari jalan raya beraspal. Dihubungkan jalan tanah berlapis batu yang terbujur lurus diapit sawah di kedua sisinya. Jalan selebar tiga meter ini menjadi penghubung keluar masuk desa. Jalan utama ini gelap tanpa penerangan, penduduk Desa Bala-Bala sudah terbiasa dengan gangguan jin, genderuwo, pocong, dan berbagai makhluk dari kubur ketika melawati jalan tersebut di malam hari.
Dulu pada tahun enam puluh lima terjadi pemberontakan partai palu arit di Bala-Bala, jalan ini dijadikan lahan pembantaian. Mayatnya dimasukkan dalam goni, diikat rapat dan dibuang ke kali. Puluhan kantung-kantung mayat tersebut mengapung membelah kali.
Kehidupan di Bala-Bala senantiasa setia dengan hidup dengan bertani. Gabah ditumbuk untuk makan sendiri sampai panen padi berikutnya. Bila ada sisa bolehlah untuk dijual untuk memberi sabun atau keperluan lain-lain. Penduduknya hampir semua petani, hanya itu warisan nenek moyang. Bala-Bala masih terlalu asing dengan barang mewah; handphone, televisi, lemari pendinginan, atau mobil.
Listrik baru mereka rasakan lima tahun silam.
Keberadaan adanya listrik, membuat kehidupan tidak lantas menjadi mudah. Paling banter listrik itu digunakan hanya untuk lampu penerangan, selain itu tidak ada. Orang Bala-Bala tak sanggup membeli barang-barang elektronik untuk dipasang di rumah. Lima tahun terakhir penduduk Bala-Bala harus memikirkan setiap bulan membayar iuran listrik kepada negara. Dulu sebelum ada listrik sepertinya mereka cukup bebas dan bahagia dengan temaram lampu minyak. Tidak ada tuntutan iuran yang ditarik setiap bulanya.
Berbeda dengan Pak Lurah dan Bu Lurah, rumah mereka yang paling besar. Satu-satunya yang memiliki satu kendaraan roda empat asal Jerman dan memiliki roda dua merek asli Jepang. Rumah dengan keramik mengkilat warna krem dengan pagar pondasi beton dan pagar besi warna emas. Bu Lurah yang badannya sudah membengkak seperti ayam horen lebih suka berdandan daripada mengurus rumah.
Urusan dapur dan rumah diserahkan si janda Midah, pembantu mereka. Midah adalah Janda yang ditinggal mati suaminya akibat tersambar petir di sawah. Bila saja Pak Lurah tidak takut dengan Bu Lurah tentu akan secepatnya mengawininya.
"Midah, piring di dapur jangan lupa kau cuci" perintah Bu Lurah
"Baik Bu Lurah" Midah mendengarkan titah Bu Lurah dengan khidmat
"Halaman depan kotor sekali, segera bersihkan aku risih"
"Baik Bu Lurah"
"Perkakas dalemanku sudah kotor dan kolor bapak sudah pesing, jangan lupa kau cuci"
"Baik Bu lurah"
"Hari ini aku mau makan ayam balado, perutku sudah mengoceh minta diisi"
"Baik Bu Lurah"
"Ya sudah itu saja." Bu Lurah asyik dengan kaca dan tepak riasnya. Perempuan umur lima puluh tahun itu badanya sudah melar, dipenuhi lipatan belut di perutnya. Selama itu juga bertubi-tubi dihajar rudal Pak Lurah selama tiga puluh tahun angka perkawinannya. Namun berkat Bu Lurah pandai merawat diri meski badanya yang sudah berbentuk seperti ayam horen itu, wajahnya bersih penuh perawatan. Ia merangkap sebagai bendahara desa sekaligus bendahara keluarga. Namun sedikit susah memiliki jabatan ganda, kadang lupa uang desa dipakai kebutuhan keluarga sedangkan uang keluarga dipakai urusan desa.
Usut punya usut usul pengajuan listrik berasal dari gagasan Pak Lurah. Kebijakan yang diperlukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan, meningkatkan taraf hidup warga, dan upaya pemerintah desa untuk memperbaiki kehidupan warga.
"Pemerintah Desa Bala-Bala hadir untuk masyarakat" Pak Lurah meracik kata-kata. Penduduk desa mendengarkan dengan mulut ndelongop kagum terkesima mendengar kotbah Pak Lurah.
"Untuk kemakmuran, untuk kesejahteraan, untuk kemaslahatan kita semua, saya sebagai putra daerah dari hati nurani yang paling luhur bercita-cita untuk memajukan Desa Bala-Bala. Untuk kepentingan rakyat kecil, para petani, untuk kesejahteraan," hampir setiap pidatonya Pak Lurah tidak ketinggalan dengan kata kesejahteraan, kemakmuran, dan untuk rakyat kecil. Semua pidatonya diakhiri tepuk tangan meriah kekaguman untuk kata-kata Lurahnya yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang Bala-Bala.
Namun entah mengapa hampir sepuluh tahun Pak Lurah memimpin keadaan Desa nyatanya tetap sama seperti sepuluh tahun lalu. Penduduk sulit merasakan arti dari kata kesejahteraan, kemakmuran, dan untuk rakyat kecil yang Pak Lurah lontarkan hampir sepuluh tahun. Tidak ada protes dan tidak ada keluhan, mereka percaya dengan kata-kata itu dari Pak Lurah.
Penduduk mengiyakan dan menurut bagaimana baiknya hidup mereka di tangan Pak Lurah. Bagi penduduk tidak ada listrik maupun ada sepertinya hidup mereka akan tetap baik-baik saja. Namun sekali lagi mereka menurut bagaimana baiknya di tangan Pak Lurah. Usulan ini semata-mata bukan untuk kepentingan warga saja, namun agar Bu Lurah bisa membeli televisi, minum minuman dingin, dan menyejukkan rumah dengan kipas. Selebihnya penduduk bingung untuk apa listrik ini digunakan selain untuk penerang rumah.
***
Pak Min dan Bu Reng tersimpuh layu. Suami istri tersebut merana mendekap di teras rumah. Sudah satu bulan sawah kering kerontang tak dialiri air. Bila dialiri air pun dibiarkan tidak tersentuh. Rumput liar menjamur merata di keseluruhan sawah. Wabah penyakit menular yang berembus membuat warga resah dan ketakutan.
Beras sudah habis pak, besok kita mau makan apa?" Bu Reng bersandar di dekat suaminya lemas
“Sabar buk. Ini untuk kesejahteraan, untuk kepentingan kita bersama" kata Pak Min teringat pidato satu bulan lalu oleh Pak Lurah
"Jadi untuk sejahtera dan untuk kepentingan bersama, kita harus menahan lapar ya pak? Sawah kita nganggur pak kita mau makan apa? Apakah kalau kita mati dalam kondisi seperti ini pertanda kita hidup makmur seperti kata Pak Lurah?" Bu Reng bersuara penuh tanya
"Saat ini kita sejahtera buk, Bapak tidak tahu arti sejahtera, tapi kata Pak Lurah kita sejahtera dan keberdaan kita saat ini bagian untuk kepentingan bersama" mulut Pak Min berasa kering. Bahkan ludah pun sudah mengering.
Malapetaka dimulai dari berita sebuah penyakit yang tidak diketahui asalnya dari mana. Salah satu korbannya Suroso perantau asal Ibukota yang pulang sejak dua puluh tahun meninggalkan Bala-Bala. Tak lama kemudian Suroso kejang seperti kesurupan, penduduk panik, dan Mbah Tejo dihadirkan untuk menguak misteri. Demam tiga hari tidak turun, mantri pun tidak mampu menyembuhkan. Hingga suatu hari ambulans dari rumah sakit kota datang menjemput paksa Suroso.
"Kami akan membawanya ke kota. Dia terkena penyakit menular, mematikan!" petugas ambulans meninggalkan Bala-Bala dengan secepatnya. Ia dibawa masuk dan satu bulan ini ia tak kunjung kembali, entah mati atau hidup tidak ada yang peduli. Penyakit itu membuat penduduk takut, takut keluar, takut ke sawah, takut ke pasar, Bala-Bala semakin sepi, sekejap berubah menjadi desa mati.
Satu hari setelah Suroso dibawa ke kota Pak Lurah mengumpulkan penduduk di balai desa. Mengenakan penutup mulut yang sama sekali penduduk belum mengerti apa fungsinya.
Untuk kesejahteraan, untuk kita bersama, ini penyakit menular, kita tinggal di rumah masing-masing. Jangan sampai ada penduduk yang keluar rumah, biarkan sawah dan ladang, kita mati tidak membawa harta. Utamakan kesehatan dan keselamatan kita perintah Pak Lurah dan penduduk mengamininya dengan yakin
***
Di rumah Pak Lurah dengan santai mengenakan kaos putih dan sarung cokelat kotak-kotak di depan teras tengah asyik bermain burung. Burungnya begitu pandai berkicau dan manggung dengan anteng. Tiba-tiba Sarmili datang dengan tergupuh-gupuh.
Pak Lurah..Pak Lurah Sarmili sekretaris desa datang sambil terengah-engah di depan rumah Pak Lurah
"Ada apa kau kesini, kau tak ingat anjuran negara untuk diam di rumah! Bocah edan!" Pak Lurah masih asyik memainkan burungnya
"Anu pak.. anu" Sarmili masih mengatur nafas
"Anu anu anu apa? Anumu kenapa!"
"Pak Min dan Bu Reng meninggal pak, mereka ditemukan mati di dapur berdua" wajah Sarmili begitu tegang dan sangat kuatir dengan keadaan Bala-Bala yang makin mencekam. Satu hari yang lalu Sarwo mati di kamar rumah, dua hari yang lalu Mbah Mik mati terkapar di kakus, tiga hari lalu Pak Kareng mati di gentong air, empat hari yang lalu Pak Lowo ditemukan kaku di kali, lima hari yang lalu Sarmijah, Lukas, dan Parmidi, mati bersama di tempat yang berbeda.
Sejauh ini dalam kurun satu bulan sejak penduduk dilarang beraktivitas angka kematian melonjak tajam. Pak Mudin sibuk mengurusi orang mati setiap hari. Pak Mudin mencatat tiga puluh warga mati dalam satu bulan ini secara terus menerus.
"Alahhh.. kau seperti tidak tau orang mati saja. Memang sudah umurnya. Gusti Allah sudah punya catatan kapan mereka mati" Pak Lurah menyelakan pipa rokoknya dan duduk santai di teras rumah ditemani secangkir kopi dan biskuit rasa kelapa.
"Pak Lurah angka kematian tiga puluh orang dalam satu bulan hampir tidak pernah terjadi pak di Bala-Bala. Penduduk tak lagi bisa makan pak, mereka lapar tidak ada yang bisa dimakan lagi. Sawah mereka sudah satu bulan tidak ditanami apa-apa. Simpanan panen mereka sudah habis untuk satu bulan ini dan sudah dijual untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kalau terus beg..,"
"Terus apa? Ha?" Pak Lurah memotong
Mereka butuh makan pak, beras, telur, atau apapun. Kita perlu memberi bantuan untuk menyambung hidup para penduduk kata-kata inisiatif Sarmili mulai ditentang oleh Pak Lurah.
"Aku sudah upayakan, tapi belum ada jawaban, aku bisa apa? Dana desa tidak boleh digunakan selain untuk pembangunan, untuk kepentingan bersama kau juga mengertikan?"
"Bagaimana dengan bantuan dari Departemen Sosial pak?" Pak Lurah memicingkan mata kepada Sarmili. Bocah ini terlalu banyak bicara dalam semua urusan. Pak Lurah mulai meracik kata-kata.
"Ah Sarmili kau tau sendiri negara kita saat ini sedang ikut krisis. Bantuan yang kita terima untuk desa kita begitu kecil. Tidak cukup untuk membeli beras untuk warga kita, negara begitu tidak adil terhadap Bala-Bala. Aku masih menunggu tambahan bantuan, kalau sudah datang lagi tentu kita akan bagikan terhadap warga" Sarmili mendengarnya begitu terkejut. Benarkah bantuan dari Departemen Sosial begitu kecil?
"Sekarang kembalilah beritahu warga bahwa Pak Lurah mereka akan datang memberi bantuan. Tapi ingatkan mereka jangan mati dulu, suruh mereka agar lebih bersabar lagi, kepentingan bersama Sarmili" kata Pak Lurah dengan nada bangga. Sementara Sarmili dibuat terkesima sekaligus kebingungan.
Pak Lurah menyuruh Sarmili pulang untuk mengurus administrasi desa. Satu bulan di rumah benar-benar membuat perutnya buncit. Pak Lurah terkekeh dan masuk ke dalam rumah dan tersenyum sangat puas. Pak Lurah melirik keluar dan Sarmili sudah tidak kelihatan berada di pelataran halaman. Pak Lurah dengan sigap menuju dapur melirik Midah yang sedang mencuci piring. Celana Pak Lurah mulai kedodoran melihat tubuh Midah dengan daster tipis yang menggairahkan.
Pak Lurah datang tanpa aba-aba langsung mendekap tubuh Midah dari belakang. "Jangan pak! jangan Pak Lurah! ada Ibu Lurah saya takut!" Midah meronta dan tubuhnya bersikeras menolak.
"Bu Lurah sedang ke Kota, pulang nanti malam, tidak ada orang di rumah Midah" Pak Lurah mulai bergerilya ke semua arah. Merasuk dan meraba berbagai medan di semua sisi tubuh Midah. Birahinya telah membakar tubuh Pak Lurah.
"Jangan lagi Pak, jangan!" dengan perkasa Pak Lurah mengangkat tubuh kecil Midah di pundaknya. Midah meronta dan menepuk-nepuk punggung Pak Lurah, namun semua sia-sia. Bukan kali ini saja Pak Lurah bernafsu dengan Midah, saat Bu Lurah lengah Pak Lurah lihai mencubit bokong Midah. Dengan perkasa Pak Lurah menggiring Midah ke kamar dan mengunci kamar dengan rapat. Setelah itu keduanya urung keluar dalam beberapa jam.
***
Rembulan menyinari Bala-Bala. Lampu-lampu listrik mulai menerangi sejak lima tahun yang lalu. Namun tanda-tanda kemakmuran belum terlihat jelas. Jalan-jalan desa masih berbatu terjal. Usulan Sarmili untuk mempergunakan dana desa selalu gagal, Bu Lurah yang sekaligus bendahara desa selalu mengatakan kita harus memprioritaskan kepentingan bersama.
Pembangunan irigasi jauh kebih penting dari jalan beraspal, irigasi jauh dibutuhkan. Menurut hitung-hitungan Sarmili, seharusnya biaya pembangunan irigasi sawah selebar satu meter akan jauh lebih sedikit dari pembangunan jalan aspal. Namun pada kenyataanya dalam akhir tahun dana desa habis untuk pembangunan irigasi dan program-program kemakmuran lainya.
Sarmili sampai pada ujung jalan dan berdiri di salah satu teras rumah di ujung Bala-Bala dengan tampak senang. Tepat di depan rumah Midah, janda muda teman SD nya dulu. Saat umur dua puluh tahun Midah menikah dengan Maman. Sarmili saat itu masih berada di Ibukota, sedang kuliah di kota Kembang, ia belajar di Jurusan Teknik Sipil. Ia bertekad kembali akan membangun Bala-Bala dan melamar Midah orang yang ia sukai sejak SD.
Namun orang tua Midah terlalu miskin. Membiarkan Midah cepat menikah dengan lamaran Maman. Maman saat itu umurnya sudah tiga puluh tahun seorang petani yang sawahnya luas, namun doyan berjudi dan mabuk-mabukan. Keterpaksaan membuat Midah untuk menikah dengan Maman. Orang tua Midah yakin dengan mengawinkan Midah dengan Maman. Keduanya resmi menikah namun tak ada sedikitpun cinta diberi dari Midah untuk Maman.
Tak sampai satu tahun insiden tragis menimpa Maman, saat panen di sawah di siang bolong Maman tersambar petir. Badanya gosong, dengan mulut menganga dan rambut berdiri seperti sapu ijuk. Sejak itu Midah menjada, entah mengapa Midah sangat begitu bahagia saat mendengar kabar Maman mati.
Predikat janda nyatanya jauh lebih baik bagi Midah. Apa gunanya bila istri tak ubahnya seperti boneka, yang hanya dilempar-lempar untuk pemuas birahi namun tak sedikit cinta yang dapat ia berikan. Diperlakukan hanya untuk menumpas nafsu birahi tanpa adanya bentuk kasih sayang dari suami untuk berikan kepada istrinya. Bila Gusti Allah merestui doa Midah, ia lebih menyukai bila Maman mati saja. Tak lama kemudian doa Midah terkabul.
Selepas Sarmili lulus kuliah dan menjadi sarjana pertama di Bala-Bala ia mendapati Midah sudah menjanda. Bagi Sarmili Midah masih sama seperti dulu, badanya tidak terlalu tinggi, dengan rambut panjang lurus, dengan lekukan badan pas berisi, pipi bulat yang manis, serta bibir tipis merekah.
Memberikan bantuan beras dan bahan-bahan makanan menjadi alasan Sarmili untuk datang ke rumah Midah. Midah sudah menanti di luar, sambil bersisir menanti Sarmili yang begitu sumringah di hadapannya. "Kang Sarmili sudah datang," kata Midah lembut. Meskipun keduanya seumuran, Midah lebih menyukai memanggil Sarmili dengan tambahan Kakang.
"Kakang bawa beras dan telur, cukuplah untuk kau makan dengan Emak di rumah selama seminggu. Minggu depan Kakang akan ke rumah lagi, bawa beras dan bahan-bahan dari kota buat Midah," Midah tersipu malu dibuatnya dan tidak berkata apa-apa selain rasa terimakasih.
"Terimakasih Kang, Kakang terlalu baik. Midah selalu merepotkan Kakang"
"Tidak, aku punya gaji dari desa dan simpanan uang, aku tidak ingin kau mati hanya kerena kelaparan," Midah hanya menunduk dan sangat senang mendengar kata-kata yang begitu manis dikeluarkan seorang pria yang nampaknya sangat tulus kepadanya.
“Berhentilah bekerja di rumah Pak Lurah, Sarmili sebenarnya sangat tidak menyukai dengan tindakan tidak senonoh dari atasanya tersebut. Terlebih lagi kepada Midah orang yang dicintainya.
"Tadi sore Pak Lurah mamaksaku kang, aku dibawa kamarnya"
"Apa! Dia melakukanya lagi!?! Kurang ajar, buaya darat, keparat, bangsat, bajingan tengik!" Sarmili tidak terima apa yang sudah terjadi kepada Midah. Ia mengumpat dan mengepalkan tangan dengan keras siap meninju.
"Kalau aku berhenti jadi pembantu di rumah Pak Lurah aku dan emak mau makan apa kang?" mata Midah mulai berkaca-kaca dan siap meluncur meneteskan air mata.
Sarmili masih diam dan menatap ke bawah sambil mengepal dendam. Kebenciannya tersulut deras terhadap Pak Lurah. Seorang Lurah keparat bermuka dua dan hidung belang. Kemaluannya mungkin perlu diberi pelajaran agar tidak kembali berbuat liar.
"Aku akan melamarmu segera, dan kita akan segera menikah. Aku akan menjagamu dan emak. Kau tidak perlu bekerja lagi di rumah Pak Lurah, tidak akan ada yang akan mengganggumu termasuk Pak Lurah. Aku janji," Sarmili menatap tajam kepada Midah. Memegang telapak tanganya seakan tidak ingin terpisah. Midah membalasnya dengan haru dan tetes air mata mengalir di pipi.
***
Bu Mudin gupuh menyiapkan kopi saat Pak Mudin suaminya pulang. Hampir setiap hari laporan kematian masuk dari penduduk Bala-Bala. Urusan pecatatan kematian dan pemakaman menjadi urusannya untuk sepuluh tahun terakhir ini. Ia ragu bahwa ini adalah kematian sewajarnya. Kondisi jenazah tanpa muram dengan badan kurus tanpa daging, mati dengan keadaan lapar.
Bala-Bala dalam riwayat hidupnya tak pernah kekurangan makan, ada sawah untuk digarap padi. Daun-daun singkong, talas, jantung pisang, papaya, sudah cukup untuk menghidupkan tungku. Anak-anak tampak ceria tersenyum membakar ketela curian di tengah ladang. Namun satu bulan ini keceriaan tersebut hilang, tidak ada lagi tawa anak-anak bermain gundu, tawa mereka hilang karena dirundung lapar di perut mereka. Bapak-bapak tak lagi menggarap sawah, merenung di teras memandang sawah yang menghijau dijajah rumput. Dapur-dapur mulai tak mengepul lagi, beras mereka sudah habis tak ada yang bisa dimasak.
***
Sarmili mulai melakukan gerakan untuk merubah keadaan Bala-Bala. Ia mengetahui pasti berdasarkan orang-orang dari kantor desa bahwa bantuan dari negara datang satu bulan lalu sebanyak satu ton beras. Beras itu tersimpan di gudang belakang dan sengaja dirahasiakan oleh Pak Lurah. Seharusnya beras tersebut disalurkan satu bulan yang lalu kepada penduduk. Selain itu masih ada uang lima ratus juta untuk dikonversi menjadi bahan-bahan pokok, namun bantuan tersebut tidak pernah sampai di tangan penduduk Bala-Bala.
Kepandaiannya berbicara dan bernegoisasi membuat Sarmili mencoba mempengaruhi perangkat desa yang lain untuk memberontak. Mulutnya tangkas mengenai kebijakan buruk yang telah dilakukan Pak Lurah selama ini. Bila pemberontakan ini tidak dilaksanakan genap dua bulan mungkin Bala-Bala sudah menjadi ladang mayat. Tujuan pemberontakan ini pertama mengambil alih gudang penyimpanan beras, dan mengambil uang senilai lima ratus juta. Kedua menggulingkan kekuasaan Pak Lurah yang sudah melakukan penyelewengan jabatan dan korupsi.
Penduduk Bala-Bala sudah kelaparan, mereka tinggal menuju ajal kata Sarmili di depan perangkat desa.
“Kalau bukan kita siapa lagi, Pegawai Negeri seperti kita untung dapat gaji setiap bulan, tapi penduduk mereka tak punya gaji. Beras pun sudah habis, bila kita tidak memberontak korban akan semakin besar, perangkat desa mengiyakan setuju.
Sarmili, Suparjo, Supardi, perangkat desa yang muda bergerak untuk menggalang masa dari penduduk. Mencari penduduk yang masih kuat untuk melakukan pemberontakan besar-besaran. Menggulingkan rezim dari Pak Lurah. Ketika persiapan selesai Sarmili dan kawan-kawanya siap untuk memberontak.
***
Sehabis magrib Midah masih sibuk berada di belakang masih mencuci satu bak penuh pakaian dan kolor pesing dari Pak Lurah. Midah sedikit takut bila berlama-lama di rumah Pak Lurah terlebih lagi bila Bu Lurah tidak ada. Perintah mencuci baju ini datang dari Pak Lurah sendiri, Bu Lurah mengiyakan saja dan setelah itu ia diminta memijit punggung Bu Lurah. Perintah tambahan ini membuat Midah pulang terlambat dari hari biasanya.
Sementara Sarmili setelah hari mulai petang terlihat mengawasi Rumah Pak Lurah. Memantau keadaan sebab rumah Pak Lurah memiliki beberapa penjaga di pintu depan dan bagian gudang. Terdapat dua puluh orang pemberontak, perangkat desa dan beberapa pemuda Bala-Bala. Mulai dari clurit, martil, cangkul, linggis, atau apapun itu dibawa untuk pemberontakan.
Pemberontakan Sarmili di bagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok menyerbu gerbang depan untuk melumpuhkan penjagaan di depan. Sarmili menugaskan mereka mereka untuk melakukan pengamanan kondisi rumah dari depan. Kelompok kedua melakukan penyergapan dari belakang tujuanya menuju gudang beras, melakukan penjarahan beras. Kelompok ketiga akan menyusup dari belakang juga menuju rumah dan melumpuhkan Pak Lurah dan mengambil kas desa yang dibawa Bu Lurah. Semua paham dan siap bergerak menunggu komando.
***
Pijatan Midah membuat Bu Lurah terlelap begitu cepat. Tanda waktu bahwa tugasnya sudah selesai hari ini. Midah berjalan berjinjit dan keluar dari kamar Bu Lurah dengan sangat hati-hati. Ia takut sedikit suara saja dapat membangunkannya. Namun di balik pintu tanpa Midah duga Pak Lurah telah berdiri di depan tersenyum lebar dengan menggunakan sarung favoritnya.
Sepertinya badanku masuk angin Midah, keroki badanku dulu sebelum kau pulang, Pak Lurah tersenyum menyimpan sesuatu niatan buruk kepada Midah.
Maaf pak, sudah malam. Emak sendirian dirumah, kata Midah berusaha menolak.
Sebentar saja Midah, Tangan Pak Lurah mengelus rambut panjang Midah. Hasratnya sudah meluap-luap. Dengan sedikit memaksa Pak Lurah menyeret Midah ke dapur. Mulut Midah disumpal dengan kain, tak ada suara, tak ada perlawanan yang berarti. Tendangan dan lolongan Midah tidak terdengar siapapun. Pak Lurah lagi-lagi bergerilya penuh kegirangan tepat pada malam Jumat bersama Midah.
***
Supardi memimpin dari gerbang depan. Menaiki pagar dan melumpuhkan dua penjaga di depan dengan cepat. Keduanya tergeletak tidak sadarkan diri. Pertarungan sengit berada di bagian belakang Suparjo mendapatkan perlawanan sengit dari empat penjaga berbadan kekar. Dua orang pasukan Suparjo terkena pukul dan muntah darah. Namun dengan ketangkasan Suparjo kawan-kawan mereka berhasil memukul mereka semua dengan gagang pacul. Tepat di belakang kepala mereka, Suparjo bersorak.
Ketika keadaan pengamanan sudah lumpuh Sarmili dan kawan-kawanya dengan sigap masuk dan mendobrak pintu depan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Pak Lurah dan Bu Lurah. Sarmili dan kawanya berjalan berjinjit pelan memasuki rumah Pak Lurah. Mencari keberadaan kamar dari kedua birokrat busuk tersebut. Salah satu dari pasukan Sarmili menemukan Bu Lurah sudah dalam keadaan tidur terlelap. Ayam horen tersebut harus diamankan, dua pasukan cukup untuk mengikat dan dan menyabotase kamar Bu Lurah.
Batang hidung Pak Lurah masih tidak terlihat. Pemberontakan ini akan gagal bila Pak Lurah tidak dilumpuhkan. Sarmili menduga bahwa berita pemberontakan bocor dan Pak Lurah lari ke Kota. Namun Sarmili yakin tidak ada penghianat, semua perangkat desa sangat setuju untuk menjatuhkan Pak Lurah dalam pemberontakan ini. Semua sudah di periksa kecuali area dapur, Sarmili menendang dengan keras pintu dapur. Brakkkk.
Betapa kagetnya Sarmili melihat Pak Lurah yang setengah telanjang dan melihat Midah yang pakaiannya sudah terlucuti. Lurah itu berbuat mesum bergaya anjing saat digrebek Sarmili dalam posisi siap meluncurkan rudalnya dari arah belakang. Midah merasa terselamatkan atas kehadiran Sarmili yang tiba-tiba. Mulut Midah masih tersumpal kain dan merengek menangis tanpa suara.
Celeng!, bajingan, tengik!, raut muka Sarmili sudah memerah seperti orang kesurupan.
Lancang kalian masuk ke rumahku! Kalian mau apa haaa!, Pak Lurah dibuat kaget bukan main.
Lurah tengik!, Sarmili mengambil alih pacul yang dibawa salah satu pasukanya berjalan dengan api amarah yang berkobar. Sarmili mengayunkan gagang pacul dengan kuat dan menancapkan dengan keras tepat di ubun-ubun kepala Pak Lurah. Pak Lurah tergeletak kejang dan meronta-ronta, kepalanya pecah dengan otaknya berhamburan keluar. Darah menggenang di mana-mana. Midah berteriak histeris dan lari memeluk Sarmili.
Pemberontakan selesai.
***
Lima tahun setelah malam pemberontakan terjadi, keadaan desa berangsur membaik. Wabah penyakit sudah menghilang dan sawah mulai menguning kembali oleh padi yang berisi. Keesokan setelah pemberontakan, beras-beras bantuan sebanyak satu ton dikeluarkan dan dibagikan kepada penduduk. Kas desa yang dibawa Bu Lurah diambil dan dibelikan sembako di kota, dibagikan merata ke seluruh penduduk. Sarmili adalah pahlawan bagi Desa Bala-Bala, keberaniannya untuk memberontak kepada Pak Lurah tetap menjadi topik terhangat di Bala-Bala dalam beberapa saat.
Bu Lurah ditahan Polisi dengan tuduhan korupsi dana desa dan dipenjara selama lima belas tahun. Meskipun Sarmili dianggap pahlawan tetap saja dia bersalah karena membunuh Pak Lurah. Ia mendekam di penjara selama lima tahun. Pengadilan berbaik hati kepada Sarmili menurunkan meringankan hukuman penjara lima tahun dari tuntutan lima belas tahun penjara. Karena bersikap koorporatif dalam mengungkap kasus korupsi dari Bu Lurah dan Pak Lurah.
Setiap Minggu Midah dengan setia datang ke penjara di kota. Menjenguknya dan membawakan nasi. Polisi sangat menghargai tindakan yang dilakukan Sarmili dan sangat mengapresiasi apa yang dilakukannya. Namun hukum negara masih berlaku dan pembunuhan termasuk kejahatan yang mengharuskan Sarmili mendekam di penjara. Cinta mereka tak luntur berbatas jeruji penjara. Midah dengan sabar menunggu Sarmili bebas dari penjara. Midah tidak mempersoalkan itu, baginya Sarmili adalah pahlawan Desa Bala-Bala sekaligus pahlawan bagi diri Midah.
Penduduk desa akan sangat menanti Sarmili keluar dari penjara. Bukan sebagai bekas narapidana melainkan pahlawan yang selalu mereka ingat. Midah akan selalu menunggu kepulangannya dan Sarmili berjanji akan menikahi Midah setelah ia dibebaskan. Kini Midah tahu kepada siapa cintanya harus diserahkan, tiada lain hanya untuk Sarmili seorang. Sedangkan penduduk Bala-Bala akan selalu mengingat dan senantiasa menceritakan kisah Pemberontakan Sarmili pada setiap malam Jumat.
Selesai
Rasa Terpendam, 29 April 2020
Oleh: Bingar Bimantara
Comments