NENEK Asma meringkuk pilu mengingat cucu satu-satunya Mutoh telah lebih dulu mati sepuluh tahun silam. Tubuh kecilnya ditemukan mengambang kaku di lubang bekas galian tambang batu bara. Desa yang dikelilingi tiga lubang menganga besar dari bekas tambang batu bara. Mutoh, salah satu korban dari lima dari seluruh korban tenggelam dalam insiden yang tidak pernah bisa dilupakan Nenek Asma. Mati sia-sia, mengambang beku, terbujur kaku membisu selamanya.
Kepada siapa meminta pertanggungjawaban atas insiden itu? Perusahaan tambang atau kepada negara? Tak ada yang peduli atas kematian kelima bocah-bocah malang itu. Polisi pun hanya memperjelas bahwa ini murni sebuah kecelakaan. Mungkin sudah menjadi takdirnya untuk mati, orang tua memang seharusnya lebih memperhatikan anak-anak mereka masing-masing. Jangan hanya kerja saja, atau malah hanya main di kamar saja ha-ha-ha-ha, kata Pak Bupati saat kunjungan pertamanya di Batu Kaban. Tidak melegakan, justru memperparah duka keluarga.
Ah, mungkin memang benar bila kolam-kolam itu banyak hantunya, bekas tambang peninggalan orang Jepang itu keramat. Anak-anak memang tak seharusnya main di sana. Bisa ditarik masuk untuk dijadikan tumbal. Jawaban itu pula tidak turut melegakan, justru menambah kebencian terhadap keacuhan Kades Batu Kaban.
Saat orang-orang yang memiliki kepentingan ditanya soal kematian tentang tragedi itu justru semua mengelak. Memilih mengalihkan pembicaraan seolah-olah lupa dengan tregedi tersebut. Melontarkan argumen yang irasional dan berbau metafisika. Kekuatan ghoib dan takdir, sudah menjadi garis Tuhan. Jangan-jangan memang semuanya ingin tutup mulut? Membiarkan semuanya seperti tidak terjadi apa-apa. Sebuah kematian yang wajar dari bocah yang nakal saat bermain yang justru dipersalahkan dari orang tua yang tak pandai menjaga anak-anaknya?
Bila memang demikian bagaimana tanggungjawab terhadap reklamasi tambang-tambang itu? Tanpa ada tanggungjawab, hanya memikirkan untung. Setelah itu uang hasil tambang diboyong ke Ibukota untuk para bos kolongmerat. Tanpa memberikan kesejahteraan kepada Batu Kaban, desa ini tetap miskin, dan jusru semakin miskin! Membiarkannya menganga dan menggenang berisi air untuk menunggu korban berikutnya.
***
Matahari tengah terik-teriknya mengguyur Batu Kaban. Musim kemarau nampaknya masih betah menyelimuti orang-orang di sini. Hampir semua laki-laki Batu Kaban memilih bekerja sebagai pekerja gali tambang di perusahan batu bara Tuan Lalim. Saudagar dari Ibukota yang sudah dua puluh menambang di kawasan tanah Batu kaban.
Sepuluh tahun lalu Tuan Lalim memutuskan menutup lokasi tambang di daerah Batu Kaban dan memindahkannya ke lokasi baru yang tidak jauh dari galian; tambang yang lama. Konon katanya galian tambang di Desa Batu Kaban pertama kali ditemukan oleh orang-orang Jepang. Lama tambang tradisional itu terbengkalai, saat negara ini fokus untuk membangun kegiatan ekonomi dan infrastruktur tambang ini dibeli oleh Tuan Lalim dan dibangun kembali.
Semenjak itulah desa ini menjadi kawasan tambang batu bara, jarak yang tidak sehat sebuah pemukiman bersanding dengan pemukiman yang berdekatan dengan tambang. Beberapa rumah yang terlalu dekat digusur dan dibeli namun untuk rumah yang tidak terlalu dekat dibiarkan saja, dan kawasan itulah yang menjadi kawasan desa Batu Kaban untuk melanjutkan hidup sampai sekarang.
Topo salah penduduk yang tidak mau bekerja dengan perusahaan tambang Tuan Lalim. Tragedi sepuluh tahun lalu membuatnya manaruh dendam yang tak kunjung padam. Haram baginya mencari makan dan menjadi budak di tanahnya sendiri. Mendapat upah yang rendah dan perlakuan semena-mena. Membuatnya menjadi pemimpin beberapa aksi penolakan atas keberadaan dari beroperasinya perusahaan tambang Tuan Lalim.
Bersama teman-temannya sewaktu kecil dan pemuda desa yang lain Topo mempersiapkan diri untuk melakukan pemberontakan dan sabotase perusahaan tambang. Demonstrasi dan audiensi tidak pernah berujung kesepakatan, pemberontakan adalah aksi nyata. Pembalasan dendam harus segera dilaksanakan!
"Itu bagus dia akan menjadi penerusku, anak laki-laki yang berani," kata Topo sambil menikmati makan siang dari istrinya Utami yang sedang hamil enam bulan. Saat mendengat kabar bahwa anak yang di kandung Utami adalah laki-laki membuat Topo jauh lebih bersemangat.
"Dia akan aku sekolahkan tinggi-tinggi, jadi orang pandai dan tidak akan hidup melarat seperti kita," kata Topo masih melahab nasi hangat dengan lauk ikan pepes dengan sambal terasi.
"Sudahlah jangan kau berbicara tentang urusan tambang itu lagi di dekat anakmu ini, kalau dia mendengarnya aku takut saat sudah lahir dia bisa ikut-ikutan berbuat onar seperti bapaknya," kata Utami merengut.
Utami adalah orang yang paling kuatir dari setiap aktivitas suaminya yang suka melakukan perlawanan terhadap keberadaan tambang batu bara milik Tuan Lalim. Matinya sahabat karibnya Mutoh atas tragedi sepuluh tahun lalu membawa dendam yang terus dikobarkan dari salah satu tuntutan pertanggungjawaban kepada Tuan Lalim. Topo juga menuntut untuk memberikan upah yang layak bagi pekerja tambang dan memberikan kepedulian terhadap kelangsungan lingkungan yang telah dicemari dari keberadaan tambang batu bara selama ini.
"Mereka layak bertanggungjawab atas semua yang menimpa desa kita," berkali-kali Topo selalu berdebat masalah tambang dan Utami harus mengalah untuk menerima kenyataan dari keras kepalanya suaminya Topo.
"Aku hanya kuatir mas, Tuan Lalim punya banyak preman apalagi katanya dia punya kenalan orang-orang gede di pendopo dan di Ibukota sana. Semua aparat tunduk kepada Tuan Lalim, aku kuatir mas nanti menjadi korban," Utami menatap serius kepada Topo.
"Kau tambah cantik Utami," kata Topi berusaha mencairkan suasana.
"Aku serius mas,"
"Aku juga serius lho," sejak hamil kecantikan Utami justru berlipat ganda. Aura keibuannya muncul. Cahaya wajahnya bertambah cerah dengan kulitnya yang semakin halus. Membuat Topo kesensem dan semakin jatuh cinta kepada istrinya itu.
***
Keberadaan Perusahaan Tambang batu bara Tuan Lalim tak seindah janjinya yang pernah ia ucap dulu. Kerusakan serius telah mengkikis selama dua puluh puluh tahun terakhir. Aliran sungai keruh bercampur sisa-sisa batu bara. Hutan terbabat habis diekploitasi tanpa basa-basi. Penduduk dimanfaatkan sebagai pekerja murah bergaji rendah setiap hari. Setelah puas mengeduk uang, mereka pergi meninggalkan lubang menganga tanpa perlu direklamasi.
Di pasar tempat Topo bekerja sebagai kuli angkut pasar ia mendengar bahwa perusahaan tambang batubara milik Tuan Lalim banyak melanggar hukum. Tidak melakukan reklamasi dan konservasi atau semacam pemulihan kembali bekas galian tambang. Namun berbagai gugatan itu mudah sekali dipatahkan ketika kedekatan Tuan Lalim terhadap para birokrat dan petinggi di kementerian. Bahkan Tuan Lalim begitu mudah menyewa para aparat untuk mengamankan tambang dari ancaman-ancaman orang yang ingin mengusik usaha tambangnya.
Hak masyarakat pula dilanggar. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik yang diatur konstitusi telah dikacangi oleh si tua bangka Lalim. Desa Batu Kaban yang dulunya asri kini berhawa panas dan gersang, digilas oleh buldozer dan truk beroda besar. Tanahnya digeduk setiap harinya, namun semua keuntungan itu tidak pernah dirasakan secara langsung oleh penduduk Batu Kaban. Masih miskin, dan semakin miskin, dan mungkin di kemudian hari semakin miskin semiskin-miskinnya. Seharusnya orang-orang Batu Kaban punya hak di sini. Berdikari di tanah leluhurnya sendiri.
***
Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berpasrah. Hidup pasca reformarsi tak seindah yang pernah dijanjikan. Apalagi di tengah rezim yang semena-mena. Dipenuhi dengan kata-kata dusta dan janji-janji manis. Jangan katakan demokrasi ketika rakyatnya digulung ketika kritisi pemimpinnya. Hukum bukan lagi menjadi penata masyarakat, namun instrumen penebar ancaman kepada siapa yang terlalu banyak bicara.
Kepasrahan itu yang bisa dliakukan Nenek Asma. "Aku pasrah, aku memaafkan semua yang telah terjadi agar cucuku tenang di sana. Namun aku tidak pernah lupa tentang semua hal yang telah mereka perbuat," Nenek Asma kepada Topo yang ditemuinya seusai bekerja dari pasar. Nenek itu masih gesit dalam urusan memotong kacang panjang untuk dimasak nanti sore.
"Seharusnya aku bisa lebih cepat saat itu, pasti
semuanya tidak berakhir seperti ini," sejauh ini Topo masih diselimuti rasa bersalah. Mutoh adalah teman satu sepermainan yang saat itu berniat memancing ikan di dekat lubang tambang di pinggir desa. Mutoh mengerti di bagian mana terdapat ikan besar berada. Bagian dengan warna air gelap tentunya dalam, namun pasti ikan yang besar tinggal di sekitar sana pikirnya. Saat mengayunkan gagang pancing tanah pinggiran kolam tidak lama tanah di pinggir kubangan itu ambrol, tubuh Mutoh jatuh ke air.
Saat Mutoh terjebak masuk dalam air ke-enam temannya yang lain justru menertawakannya. Namun sepertinya mereka lupa bahwa anak itu tidak bisa berenang. Kepanikan jelas dari gerakan Mutoh yang semakian memberontak di dalam air, tubuhnya melemas dan berkali-kali berusaha untuk tidak tenggelam. Melihat keadaan yang sebenarnya ke-enam temannya berlari untuk menyelamatkan dua orang melompat berusaha berenang menyelamatkan. Namun penyelamatan itu justru berbuah celaka. Keterampilan penyelamatan yang minimalis membuat kepanikan diantara ketiganya. Apalagi gerakan Mutoh yang berusaha menarik tubuh sebagai pegangan teman-temannya justru dibalas dengan kepanikan di galian tambang itu.
Saat itu Topo masih berjalan untuk masuk ke arah bekas tambang membawa gagang pancing andalannya. Ia pasti akan ditertawakan karena gagang pancing bambunya yang kuno ini. Namun itu tidak masalah, keahlian mancingnya jauh lebih baik dari teman-temannya yang lain. Ketika akan Topo akan menuju ke area bekas galian tambang Topo melihat Mail berlari ke arahnya dengan tergopoh-gopoh sambil melompat-lompat liar sambil ngompol kocar-kacir di celana.
"Mutoh, Kemen, Nuoh, tenggelam Po! tenggelam di tambang!," kata Mail tergagap-gagap sambil terengah-engah saat itu. Topo dan Mail langsung berlari dengan kecepatan yang bisa mereka lakukan. Namun semuanya terlambat, justru ke-lima temannya sudah tidak terlihat lagi. Hanya tinggal Pardi yang berdiri gemetar sambil kencing di celana melihat proses kematian yang cepat itu.
"Dimana yang lain!," tanya Topo
"Mereka sudahsudahh sudahh," kata Pardi tangannya menunjuk ke arah galian sambil gemetar kaku.
Siang itu seketika galian tambang itu menjadi pusat perhatian. Ketika badan penolong kabupaten datang dan tim dari rumah sakit kabupaten membantu evakuasi korban tenggelam. Bahkan Bupati pun datang membuat bekas tambang batu bara asing itu menjadi bahan tontonan yang terhadap penyelematan korban.
“Aku sudah merelakan kematian Mutoh, aku tidak akan menyalahkan siapapun. Bahkan aku menyesal seharusnya aku melarangnya untuk pergi keluar saat itu, Namun semua ini tidak akan terjadi bila perusahaan si bangka Lalim itu mau menutup bekas tambangnya itu. Mau mengeluarkan sedikit uang dari keuntungan besar dari hasil mengeduk batubara," Kata Nenek Asma menahan air matanya jatuh.
***
Dua galian bekas tambang batu bara itu menganga besar melongo terisi air. Entah sejak kapan terakhir kali digeduk namun Topo sejak kecil pun sudah terbiasa menyaksikan bekas tambang ini sedari dulu. Dibiarkan melongo tanpa ada upaya mengembalikan sedia kala. Akankah ini yang akan terjadi di kemudian hari kepada tambang-tambang yang masih beroperasi? Setelah mengeduk habis isi tanah, meleburkan gunung, dan menyingkirkan hutan. Mendapatkan keuntungan dan lepas tangan ketika sudah habis isi perutnya.
Tak kuasa lagi dilihat aliran sungai yang tak lama lagi mengalirkan kejernihan. Ikan-ikan pula tak lagi berkecimpuk di aliran sungai di pinggiran desa. Aliran itu semakin lama, semakin menyusut tak lama lagi memudar. Pohon-pohonnya sudah lama sirna tergilas dozer pengeruk tanah.
Terbabat habis oleh ledakan dinamit pengoyak tanah. Hutan yang dulu makmur dan subur kini sudah dirusak oleh orang-orang kufur.
Tak semua orang-orang Batu Kaban bisa menikmati kekayaan desanya sendiri. Hanya segelintir orang yang mampu makan enak hasil warisan para leluhur. Yang lain hanya merundung pilu, menerima nasib setengah desanya dicaplok habis digerus oleh perusahaan tambang.
Kita beruntung nak Topo, hidup di desa yang kaya raya akan sumber daya alam. Kita orang-orang pilihan yang diberi amanat dari Gusti Pangeran menerima anugerah ini, kata Pak Julok sambil menghisap kreteknya. Tugas Julok selain sebagai kepala desa adalah melakukan propaganda kepada masyarakat tentang kebaikan-kebaikan dari perusahaan.
Memberikan kata-kata manis, dan menyakinkan penduduk desa bahwa perusahaan tambang membawa kemakmuran bagi semua penduduk. Bahkan bukan hanya untuk kebaikan Desa Batu Kaban, kita penyumbang kekayaan negara juga. Kita mampu menghidupi negara yang dirundung susah ini.
Orang-orang Batu Kaban tak perlu risau, pekerjaan tersedia melimpah di tambang. Jaminan upah yang siap diberikan kepada para kuli. Namun Pak Julok tidak pernah mengatakan sejujurnya bahwa penduduk hanya bisa mentok-mentok menjadi kuli tambang saja. Karena semua urusan teknisi, operator, terlebih administrasi dan pekerjaan yang memerlukan keterampilan dipilih orang-orang luar. Batu Kaban dinilai desa yang tidak memiliki sumber daya manusia yang bagus. Tidak ada orang-orang yang punya pendidikan bagus di sini. Hanya segelintir sarjana yang ada di Batu Kaban, begitu lulus pun sesegera mungkin mereka akan pergi ke Jawa atau di kota untuk mencari peruntungan yang lebih mapan.
"Tak lihatkah orang-orang di sini hanya menjadi kuli rendahan, gaji yang sangat rendah. Kita terinjak-injak di tanah kita sendiri pak!," perbedaan paham inilah yang membuat Topo kesal dengan kepala desanya sendiri.
Memang tak bisa disangkal dan rahasia umum bahwa Julok menjadi kaki tangan Tuan Lalim di desa. Tiap bulan sedikit persenan selalu mengucur untuk Julok, cukup untuk makan enak, memperbaiki rumah, dan membeli roda empat. Itu belum lagi dana bantuan desa yang diperuntukkan untuk orang-orang desa tidak pernah sampai ke rumah.
Uang-uang itu tentu masuk ke dalam rumah gedong Julok. Masuk kutang istri baru Julok si Astutik kembang desa kualitas nomor dua yang berhasil diperistri. Urusan kelakian boleh Julok berbangga hati sudah menikah dua kali, istri pertamanya meminta bercerai ketika akan dimadu. Namun Julok harus berlapang dada kembang desa kualitas nomor satu justru jatuh ke pangkuan Topo, Utami istrinya. Saat ini ia sedang bunting anak laki-laki jagoannya di masa depan. Sedangkan Pak Julok masih berjuang di setiap malam dengan Astutik.
"Ah, kita harus pandai bersyukur nak Topo, orang-orang bisa makan setiap hari karena bekerja di tambang bukan? Lihat desa kita jauh lebih makmur jalan-jalan dibangun, lampu-lampu penerangan berdiri, sungguh selayaknya kita bersyukur nak Topo," katanya dengan santai sambil menyemburkan asap kreteknya.
"Apa nak Topo tidak ingin bekerja di tambang? aku bisa bicarakan ini, apalagi nak Topo ini lulusan SMA jadi asisten administrasi bisa, apalagi aku yang meminta, itu perkara gampang hehehehe," Topo tidak tertarik dengan basa-basi itu.
"Aku tidak sudi bekerja pada mereka, aku tidak mau bekerja kepada penindas tanah leluhurku," kata Topo kaku.
"Lalu apa bedanya dengan bekerja sebagai kuli di pasar? Sama saja dengan kuli kan? Apa bedanya, nak Topo juga ditindas, harus sungkem kepada bos-bos pasar ya toh?,"
Setidaknya aku tidak memakan uang kotor dari hasil menjilat pantat orang yang menindas desa ku sendiri! Permisi aku pamit!," Topo melongos pergi. Ia sadar percakapan itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
"Ya sana pergi! Suatu hari kau akan berlutut mengemis di kaki ku! Merengek minta kerja, hahaha,"
***
Setiap malam persiapan pemberontakan disusun. Berada di atas bukit jauh dari pemukiman. Hanya ada sepuluh orang yang ikut dalam rencana persiapan, namun pada malam eksekusi ini Kotok salah satu anggota tidak datang. Otomatis hanya tersisa sembilan orang. Tujuan pemberontakan ini adalah melakukan sabotase terhadap kantor perusahaan, melakukan peledakan kepada buldozer, truk, dan kantor. Alat peledak didapat dari perusahaan yang biasa digunakan untuk meledakkan tanah.
Pemberontakan ini telah dipersiapkan selama enam bulan. Lewat mata-mata yang sengaja diselundupkan Topo untuk melakukan pemetaan lokasi tambang. Sebagian lagi mencuri alat peledak dan membuat jalan pintas untuk masuk dari kelengahan penjagaan. Sebagian lagi mempelari medan lokasi tambang yang penting dan perlu untuk dihancurkan. Semua persiapan sudah siap, keesokan harinya perusahaan akan hancur lebur. Semua alat-alat tambang rusak, dan kantornya akan ludes habis dilebur dinamit. Malam ini malam pembalasan.
***
Utami tidak bisa tidur. Topo mengatakan bahwa ia harus menurunkan sayur-sayuran yang baru sampai di pasar. Banyak pula barang-barang kota yang butuh diusung. Ia janji akan kembali sebelum subuh, ia berpamitan dengan senyum paling merekah kepada Utami. Aku pergi tidak lama katanya.
***
Dalam gelap malam gerombolan Topo bergerak. Mimin dan Kusman telah selesai memasang semua alat peledak. Sedikit rakitan dari Kusman yang semuanya akan diledakkan secara bersamaan. Topo membagi menjadi tim peledak, tim penjarah, dan tim pengawasan. Persiapan selama enam bulan jauh lebih banyak untuk memetakan kondisi dari medan tambang.
"Semuanya sudah beres, mas Topo," kata Mimin
"Sebagian uang berhasil aku jarah, pengamanan hari ini tidak terlalu ketat rupanya," lapor Sukat
"Malam ini kita akan merayakan kemenangan Topo, kemenangan kita di depan mata," imbuh lainya.
"Ya pukulan telak, kepada tambang keparat ini!"
"Berapa banyak uang yang kita dapatkan?" tanya Topo
Tidak sebanyak yang mereka bisa dapatkan tapi ini cukup untuk membantu janda, orang tua, dan keluarga perlu uang dalam beberapa minggu,
Dada Topo berdegup kencang. Dipandangnya keseluruhan tambang mulai ujung ke ujung, melihat kerusakan yang menimpa desa yang amat ia cintai. Setiap hari keluarga Lalim mungkin lebih dari mampu untuk makan enak setiap hari. Sedangkan dirinya dan orang-orang Batu Kaban lainnya, hanya bisa meringis menahan rintih. Bisa makan hari ini sudah untung, upah yang diberikan tidak layak. Perusakan lingkungan yang mereka lakukan adalah perbuatan illegal dan perlu mempertanggungjawabkannya. Terlebih lagi tragedi sepuluh tahun lalu, tua bangka itu harus bertanggungjawab sepenuhnya.
Tugas mereka hanya tinggal keluar dari area tambang, berlari ke atas bukit dan meledakan alat peledak itu. Menyaksikan pesta terindah atas berakhirnya riwayat tambang Desa Batu Kaban. Saat gerombolan ini bergerak keluar, dari kejauhan cahaya lampu datang - jauh dari depan menyoroti mereka.
"Berhenti! Kalian sudah dikepung!"
Polisi! Gerombolan Topo mendengar kepastian sorot lampu itu dari polisi langsung lari tunggang-langgang mencari pelarian. Berpencar ke penjuru arah keluar dari tambang dan masuk ke hutan-hutan. Topo berlari secepatnya namun jumlah polisi yang mengejarnya jauh lebih banyak.
Bagaimana polisi bisa tahu, rencana ini disusun sudah lama dan sangat rapi. Penyergapan itu tidak mungkin dilakukan bila informasi tidak dibocorkan oleh seseorang. Siapa yang berkhianat? Tanpa memikirkan bagaimana itu terjadi Topo berlari sekuat tenaga lari menuju bukit terseok-seok melewati rapatnya pohon.
Jantung Topo berdegup kencang, suara tembakan dari belakang masih bersuara mendesing. Suara itu sangat dekat, seperti bisa mencium bau Topo. Mereka kira mereka sedang memburu maling, namun sebenarnya mereka memburu orang-orang yang terlalu putus asa dari penindasan yang diterimanya. Sudah bosan mendengar kata-kata diplomatis, dan kelelahan menunggu harapan yang tidak pernah mereka bisa tunggu.
Topo hanya minta pertanggungjawaban dari perusahaan tambang dan negara atas kematian sahabatnya Mutoh. Bertanggungjawab kepada pemulihan lingkungan bagi desanya, dan memberikan upah layak untuk orang-orang Batu Kaban. Bila memang usahanya akan pupus sampai di sini biarlah, biarkan orang mengenang itu. Biarkan semuanya menjadi catatan hidupnya. Topo merasa lega, tubuhnya seakan melayang ringan menerima kenyataan atas semua kegagalan yang ia terima malam ini.
Derrr! Derr! tubuh Topo ambruk terpelanting. Ambruk ke tanah tidak mengeluarkan suara. Timah panas melesat menembus tubuhnya, mematikan semua sendi-sendi hidupnya. Menyudahkan segala usaha dan cita-citanya, meninggalkan Utami dan anak yang masih di kandungan. Membawa cerita dan cita-citanya yang belum bisa terwujud. Ia tersenyum, sebentar lagi ia akan bertemu Mutoh.
Selamat tinggal
***
Insiden malam itu membuat tiga orang harus dilumpuhkan dengan tembak mati secara langsung. Termasuk Topo dan dua rekannya yang lain. Enam diantaranya dijebloskan ke penjara atas tuduhan pencurian dan percobaan perusakan barang-barang perusahaan. Ketidakhadiran Kotok tidak lain bahwa dirinya sudah disuap oleh Tuan Lalim. Ia dipaksa untuk membeberkan rencana dan gerakan apapun dari kelompok bawah tanah dari Topo. Uang, uang, dan uang, Kotok tidak bisa menolaknya.
Nasib Kotok beruntung tidak ikut dibawa ke penjara, pengkhianat itu diamankan oleh Tuan Lalim. Kematian Topo dan dua temannya tidak lain karena ulahnya yang tidak pandai menjaga informasi. Bila Kotok bisa menutup mulut kepada Tuan Lalim tentu Topo dan dua orang temannya sekarang masih hidup. Sebuah rasa bersalah yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Hujatan dilayangkan kepada kematian Topo. Mereka mengira pencurian itu dilandasi karena mungkin saja alasan ekonomi untuk biaya kelahiran Utami. Bagi orang-orang Batu Kaban kematian Topo adalah sebuah kehinaan dari kegagalan sebagai manusia. Namun Utami tidak mendengarkan umpatan itu, pencurian itu bukan untuk diri Topo sendiri.
Utami mengetahui niat dari Topo, membebaskan dari belenggu penindasan dari perusahaan tambang. Menuntut hak dan pertanggungjawaban yang berkali-kali ia upayakan. Kebenaran itu hanya Utami simpan dengan senyum yang bisa ia torehkan. Sama halnya dengan Nenek Asma, Topo tidak sekedar mati dalam kesia-siaan. Ia hanya ingin membela hak-hak orang Batu Kaban. Kebenaran yang tak dilihat orang-orang lain. Ia menghela nafas atas empat puluh hari kematian Topo.
***
Angin dari utara membawa hujan untuk mendinginkan hati. Menyuburkan semua lara yang dirasakan sekitar. Menumbuhkan lara-lara yang pernah tertebang, kembali berdamai dalam bentuk segela kepergiaan yang membekas.
Mas Topo apa yang kau cita-citakan sudah terwujud, perusahaan Tuan Lalim diduga terjeret kasus korupsi dan penyuapan di jajaran kementerian. Perusahaannya pula melanggar ijin usaha tambang yang diberikan. Termasuk kades Julok yang melakukan korupsi dana desa dan menerima uang hasil pencucian uang diberikan dari perusahaan Tuan Lalim.
Utami meringkuk menebar bunga-bunga yang ia taburkan di makam Topo, bersama harta kecilnya yang dulu dikandungnya. Astaguna namanya, yang berarti selalu berbuat kebaikan. Semoga kau menjadi anak yang suatu hari nanti akan berguna, sama seperti cita-cita Bapakmu.
Oleh: Bingar Bimantara
Comments