Rasisme dan Demonstrasi

George Perry Floyd Jr. atau yang kita kenal George Floyd lahir pada bulan oktober, 1973 silam di Amerika. Floyd meninggal pada tanggal 25 Mei lalu karena kesusahan bernafas akibat dadanya ditindih oleh seorang polisi bernama Derek Chauvin. Semua bermula ketika pria berkulit hitam itu membeli barang pada sebuah toko dengan uang palsu. Sang penjaga toko yang menyadari itu segera meminta Floyd untuk mengembalikan barangnya, namun Floyd yang saat itu dalam keadaan mabuk menolaknya. Sontak saja penjaga toko tersebut memanggil polisi setempat.

Polisi pun datang dan memaksa Floyd untuk masuk ke dalam mobil.  Polisi mengklaim bahwa Floyd menolak untuk diborgol dan melakukan perlawanan sehingga Floyd ditarik keluar mobil. Sedangkan menurut pemilik toko tersebut yang mengamati kejadian tersebut lewat kamera pengawasnya Floyd tidak memberikan perlawanan sedikitpun. Selanjutnya Polisi sempat mengeluarkan pistol dan menjatuhkan Floyd hingga terbaring. Derek Chauvin sebagai polisi yang paling lama bertugas di Minneapolis meletakan lututnya ke bagian dada dan leher pria malang itu. Floyd pria berkulit hitam yang sehari-harinya bekerja sebagai security dan sopir truk itu sempat mengatakan bahwa ia tidak bisa bernafas namun hal itu tidak diindahkan oleh Derek, ia tidak mengangkat lututnya hingga hampir 9 menit lamanya dan akhinya Floyd meninggal dunia saat dilarikan ke rumah sakit.  Kompas.com kamis 4/6/20
Kematian George Floyd itu pun mendapat banyak perhatian dan menyulut demonstrasi besar-besaran di Minneapolis, hingga seluruh Amerika bahkan negara-negara di dunia. Masyarakat sangat mengecam tindakan kepolisian yang begitu semena-mena terhadap warga yang berkulit hitam. Bahkan sampai para artis dunia pun seperti Ariana Grande, Camila Cabeo, Harry Style dan lain-lainya turun ke jalan menyuarakan keadilan untuk Floyd.

Menurut penjelasan Merdeka.com Derek Chauvin yang menindih leher Floyd adalah polisi yang paling lama bertugas di Minneapolis yaitu sudah 19 tahun. Selama bertugas Derek mendapat 18 keluhan dan 2 diantaranya berujung dengan “tindakan disiplin”. Polisi kedua yaitu J Alexander Kueng polisi yang membantu meringkus Floyd. Thomas Lane dan Thou Tou adalah dua polisi lainnya yang saat itu bertugas dan menyaksikan penyiksaan dan pembunuhan terhadapa Floyd. Dari keempat polisi tersebut diketahui bahwa hanya Derek Chauvin yang memiliki catatan indisiplin sedangkan yang lainnya tidak ada catatan bahkan satu diantara mereka baru empat hari bertugas di daerah tersebut. 

Dikutip dari TribunNews.com, Jumat (29/5/20) menjelaskan bahwa keempat polisi tersebut akhirnya dibebas tugaskan. Garret Parten sebagai juru bicara kepolisian Minneapolis mengatakan hal tersebut kepada media dan diamini oleh Jacob Frey sebagai Walikota Minneapolis. Masih pada sumber yang sama menjelaskan bahwa akibat demonstrasi yang marak di berbagai tempat di Amerika rupanya membuat istri Derek Chauvin syok bahkan keluarga besarnya harus menanggung malu. Hingga akhirnya istri Derek pun memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian.  

Kasus rasisme di Amerika bukanlah yang pertama kali, Amerika sebagai negara yang plural memiliki banyak masalah perbedaan. Namun tindakan rasisme pada orang kulit hitam oleh orang kulit putih selalu menjadi masalah utama di Amerika bahkan Barrack Obama selaku presiden kulit hitam pertama pun tidak mampu membuat isu rasisme ini berhenti. 

Bersumber dari suara.com pada tahun 1919 kematian Eugene Williams yaitu seorang remaja kulit hitam yang dibunuh karena telah berenang di bagian  khusus “kulit putih” di danau Michigan. Hal tersebut membuat massa geram dan memacu terjadinya demonstrasi yang berujung kekerasan yang membuat 15 orang kulit putih mati, 23 orang kulit hitam dan 500 orang terluka. Selain itu juga ada pembunuhan Michael brown  yang ditembak polisi sebanyak 6 kali 2014 (Wikipedia). Bahkan menurut Keisha N Blain, seorang professor madya bidang sejarah di Universitas Pittsburgh menulis di Washington Post bahwa kekerasan terhadap Floyd terjadi hanya berselang dua bulan setelah kematian wanita berkulit hitam bernama Breonan Taylor. Ia meninggal tertembak sebanyak 8 kali dan tak satu pun polisi yang ditangkap. 

Masalah rasisme yang tak kunjung selesai mendorong para peneliti dari Universitas Rutgers, Universitas Michigan dan Universitas Washington di St. Louis meneliti resiko ancaman rasisme pada warga kulit hitam dari penegak hukum seperti polisi dan lainnya.  Hasilnya sangat mengejutkan yaitu pria kulit hitam paling beresiko, dimana mereka menghadapi 1 dari 1000 kemungkinan terbunuh oleh polisi. 

Diantara penjelasan dari penelitian tersebut satu diantaranya mengatakan bahwa orang kulit putih merupakan kurang dari separuh korban pembunuhan di Amerika, namun 80 persen dari para terpidana yang duhukum mati adalah yang membunuh seorang kulit putih. Dari penelitian tersebut kita dapat mengetahui bahwa ancaman rasisme bagi warga berkulit hitam masih sangat tinggi di negeri Paman Syam tersebut.

Untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada negara adidaya tersebut kita dapat melihat pendapat seorang dosen UGM yang bernama Achmad Munjid, menurutnya apa yang terjadi di AS saat ini memiliki momentum berbeda jika dibandingkan sebelumnya “saya kira ini momentumnya berbeda, jadi problemnya laten yang sudah terjadi bahkan sudah ratusan tahun tapi menemukan momentum puncak sekarang ini dan saya kira ini karena kombinasi berbagai macam hal, ekonomi yang semakin besar gapnya, situasi politik makin memanas mendekati pemilu dan juga presidennya yang sejak awal dia naik dengan memompa energi rasisme.” Kompas.com, sabtu 6/6/2020.

Terkait pernyataan Munjid, ketimpangan sosial yang semakin meningkat benar adanya. Ketimpangan sosial tersebut terjadi akibat pandemi Covid-19 dan juga fakta bahwa orang kaya di AS justru mendapat peningkatan pendapatan sampai 2 kali lipat sedangkan kebanyakan warga biasa banyak yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga pengangguran marak terjadi. Sedangkan terkait pemilu, dijadwalkan pada hari Selasa, 3 november 2020 yaitu terhitung 6 bulan lagi dari terjadinya kasus rasisme yang menimpa Floyd. 

Oleh: Dede Fatimah

Comments