Dilema Mahasiswa di Masa Pandemi


Memasuki triwulan kedua sejak kedatangan Corona Virus Disase 2019 (Covid-19) di bumi pertiwi yang tiap hari semakin meningkat, menjadikan krisis global bagi manusia modern. Segala jenis batu kerikil kehidupan terpaksa harus dihadapi oleh semuanya, baik masyarakat biasa maupun pemerintah. Pun dengan dunia pendidikan. Kebijakan physical distancing untuk meminimalisir persebaran virus membuat segala rutinitas menjadi amat terbatas. Akhirnya, hampir semua kegiatan pembelajaran dilakukan serba digital melalui aplikasi chating, video call, dan lainnya.
Akhir-akhir ini, masalah krusial yang tengah dihadapi ialah terkait dampak daring itu sendiri. Sistem daring yang diterapkan hampir semua Perguruan Tinggi Indonesia membuat semangat juang mahasiswa Indonesia nampaknya menurun drastis. Selain dikarenakan minimnya kejelasan dalam penyampaian materi dan tugas yang dinilai sangat berlebihan, yang menjadi keresahan mahasiswa adalah pengeluaran yang membludak untuk pembelian kuota internet. Usut punya usut, masalah ekonomi-lah yang melatarbelakanginya. Tak sedikit mahasiswa yang tetap harus mengayuh rodanya dalam menghadapi penurunan daya beli atau ekonomi, apalagi di tengah jeritan pandemi Covid-19 yang mengharuskan work from home.
Setelah sekian lama mahasiswa tidak dapat mengakses dengan baik pelayanan akademik, sarana dan prasarana kampus, akhirnya mahasiswa melakukan upaya untuk meminta keringanan saat pandemi termasuk dalam hal pemberian subsidi kuota maupun penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) kepada pihak kampus yang bersangkutan. Banyak pihak kampus yang langsung merespon permintaan mahasiswa, namun tak sedikit pula yang justru mengabaikannya. Bahkan ada beberapa kampus yang sebenarnya sempat mengimingi mahasiswa soal bantuan kuliah selama pandemi. Pemberian subsidi kuota sebesar “x” digaungkan di penjuru semesta, hingga media massa bersorak ramai gembira mengangkat berita terkait pemberian subsidi tersebut. 
Beruntung jika adanya realisasi setelahnya meskipun dinilai amat sangat terlambat, tapi bagaimana yang hanya bualan semata? Apa-apa yang digemborkan di linimasa media sosial tak pernah dirasakan oleh mahasiswa. Padahal, harusnya pimpinan kampus mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban mahasiswanya, baik psikologis maupun ekonomi. Namun justru umpatan yang menciderai otoritas lahir sebagai bentuk implementasi terhadap kebobrokan pihak kampusnya sendiri.
Selain itu, dampak Covid-19 yang menyasar semua pihak, termasuk orang tua mahasiswa, manakala sebagian dari mereka kehilangan pekerjaan, terutama yang berada pada sektor industri dan manufaktur. Tak sedikit pula yang rela dirumahkan hingga di PHK. Yang berprofesi sebagai pekerja sektor informal pun  juga tak bisa menjalankan pekerjaan. Bagi yang menjalani bisnis wirausaha, sebagian juga terbengkalai bahkan berhenti secara keseluruhan lantaran macetnya sistem distribusi dan permintaan pasar. Hal tersebutlah menjadi alasan tak adanya kepastian terkait sumber pendapatan mereka. 
Gelombang polemik pun terjadi kembali kepada pihak mahasiswa yang masih saja terabaikan oleh pimpinan. Suara mahasiswa bergema semakin lancang untuk meminta keringanan UKT. Dan terjadilah, sebagian mahasiswa seluruh Indonesia melakukan turun aksi secara virtual untuk mengajukan protes bukan lagi kepada otoritas kampus, melainkan ditujukan langsung kepada Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim.
2 Juni kemarin, terlihat  #MendikbudDicariMahasiswa sukses menjadi trending topik dalam Twitter. Terlebih lagi, ditemukannya poster tersebar yang menampilkan sosok Nadiem tengah tutup mata dan tutup telinga di tengah situasi sulit yang dihadapi mahasiswa.

Memang secara gamblang, pandemi Covid-19 berimbas terhadap tata kelola pihak kampus khususnya anggaran yang berjalan setiap tahun. Problematika dihadapi kampus lantaran kewajibannya untuk memenuhi standar mutu yang berlaku. Implementasinya,  secara periodik ketercapaiannya ditinjau  oleh lembaga audit mutu internal dan eksternal. Namun, otoritas kampus tak boleh gagap begitu saja, lepas tanggung jawab dan anti pada keluhan, serta bungkam melihat ketidakberdayaan mahasiswanya sendiri.

Hingga pada akhirnya, aksi virtual itu pun mendapat respon dari pejabat terkait yang menyatakan tidak adanya kenaikan UKT. Pun telah disepakati beberapa opsi bagi mahasiswa yang terdampak pandemi guna mengatasi masalah UKT oleh Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri. Mulai dari penundaan pembayaran, menyicil pembayaran, pengajuan penurunan, hingga pengajuan bantuan finansial yang mekanismenya diserahkan kepada kampus masing-masing. 

Meskipun begitu, mahasiswa tetap merasa digantung lantaran ketidakjelasan pihak kampus. Media massa dibanjiri kembali pemberitaan terkait demonstrasi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi guna menuntut penurunan UKT. Tak lama berselang demo dilakukan, melalui teleconferensi oleh Nadiem Makarim, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merealokasikan dana Rp 1 triliun guna meringankan beban mahasiswa di masa pandemi Covid-19 yang diberikan kepada 410 ribu mahasiswa terutama di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 

Setelah terbitnya aturan resmi melalui Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbid) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri diharapkan pihak kampus sendiri serius dan  segera mengeksekusi terkait mekanisme UKT. Tak perlu berbelit-belit kembali, apalagi sampai melakukan stand up comedy seperti halnya para petinggi negeri ini. 

Oleh: Nur Fitri Prihatiningsih

Comments