Wabah Virus Corona (covid-19) masih jauh dari kata selesai. WHO memperkirakan, virus covid-19 tidak bisa hilang dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait langkah adaptasi kebiasan baru, khususnya di bidang pendidikan tinggi. Pelaksanaan program pada era adaptasi kebiasaan baru ini mengutamakan kesehatan dan keselamatan mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, serta masyarakat.
Terdapat tiga kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi di era New Normal, antara lain terkait pelaksanaan tahun akademik baru, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penggunaan fasilitas atau layanan kampus.
Kebijakan pertama, terkait pelaksanaan tahun akademik baru, tahun akademik 2020/2021 tetap akan berjalan sesuai dengan kalender akademik yang telah ditetapkan yaitu dimulai pada akhir Agustus 2020.
Kebijakan kedua, terkait pelaksanaan proses pembelajaran di kampus. Selama masa adaptasi tatanan kehidupan baru, proses pembelajaran di kampus diutamakan menggunakan pembelajaran daring untuk mata kuliah teori.
Ketiga, mendorong pimpinan perguruan tinggi untuk mengizinkan pelaksanaan aktivitas prioritas jika memenuhi protokol kesehatan dan kegiatannya tidak dapat dilaksanakan secara daring. Aktivitas tersebut antara lain penelitian di laboratorium untuk pemenuhan pelaksanaan tugas akhir mahasiswa misalnya skripsi, tesis, dan disertasi.
Dengan adanya kebijakan di atas, dapat dikatakan daring tetap menjadi pilihan utama dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan metode daring, tentunya tidak adil jika mahasiswa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) penuh. Apalagi ditambah dengan mayoritas pekerjaan orang tua mahasiswa yang terhambat akibat adanya pandemi covid ini.
Beberapa waktu lalu, mereka (mahasiswa) dari seluruh Indonesia menuntut keringanan UKT sebab perkuliahan dilakukan secara daring. Keluhan itu bahkan sempat trending di medsos Twitter. Sebagian besar warganet menuntut UKT selama pandemi Covid-19 digratiskan atau diturunkan seiring dengan kuliah daring yang berpotensi akan terus berlanjut.
Beberapa diantaranya menganggap beban UKT yang mahal tidak sebanding dengan hak yang didapatkan mahasiswa selama kuliah daring. Lalu mereka menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim untuk segera mengeluarkan kebijakan terkait UKT.
Menjawab keluhan mahasiswa, Mendikbud menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian dan Kebudayaan.
Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 Tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum.
Melalu Permendikbud tersebut, dapat diperoleh bahwa mahasiswa yang sedang cuti kuliah atau telah menyelesaikan seluruh pembelajaran tetapi belum lulus, Mahasiswa dibebaskan dari kewajiban membayar UKT.
Dalam hal Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayai Mahasiswa mengalami penurunan kemampuan ekonomi, antara lain dikarenakan bencana alam dan/atau non-alam, Mahasiswa dapat mengajukan 4 hal yaitu:
Pertama, pembebasan sementara UKT.
Kedua, pengurangan UKT, mahasiswa tetap membayar UKT, namun dapat mengajukan penurunan biaya dan jumlah UKT baru disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Ketiga, perubahan kelompok UKT. Dan keempat, pembayaran UKT secara mengangsur, Mahasiswa dapat mengajukan cicilan UKT bebas bunga (nol persen) dengan jangka waktu pembayaran cicilan disesuaikan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Proses penurunan UKT telah disepakati dan dalam pelaksanaan oleh seluruh PTN, dengan "syarat", penambahan jumlah penerima bantuan akan diberikan sebanyak 410.000 mahasiswa utamanya Perguruan Tinggi Swasta di luar 467.000 mahasiswa yang menerima Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi dan KIP Kuliah. Dana Bantuan Pandemi ini khusus untuk mahasiswa dengan kondisi keuangan yang terkena dampak pandemi.
Kriteria mahasiswa yang dapat menerima dana bantuan pandemi, yakni: Pertama, kendala finansial: orang tua atau penanggung biaya kuliah mengalami kendala finansial dan tidak sanggup bayar UKT semester ganjil 2020. Kedua, status beasiswa: tidak sedang dibiayai program KIP Kuliah atau program beasiswa lainnya yang membiayai UKT secara penuh maupun sebagian. Ketiga, jenjang kuliah: mahasiswa PTS dan PTN yang sedang menjalankan perkuliahan semester ganjil tahun 2020.
Namun, pada kenyataannya tidak semua PTN patuh terhadap Permendikbud ini. Beberapa PTN nampaknya tidak menghiraukan adanya Permendikbud tersebut dan tetap memberlakukan UKT penuh pada mahasiswanya. Padahal jika dilihat, mahasiswa sama sekali tidak memakai fasilitas kampus, lantas pembayaran UKT penuh sebenarnya untuk apa? Jika memang UKT semester berikutnya tetap dibayarkan secara penuh, maka hendaknya disertai dengan transparansi data penggunaan dana UKT yang telah mahasiswa bayarkan. Belum lagi UKT semester ini yang belum jelas kemana arahnya. Lantas yang menjadi pertanyaan mendasar adalah lari kemana UKT yang dibayarkan mahasiswa di masa pandemi ini?
Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tepatnya pada Pasal 78 dijelaskan yakni akuntabilitas akademik maupun non akademik, pertanggungjawaban yang seharusnya dipublikasikan kepada masyarakat. Jadi tanpa mahasiswa meminta akuntabilitas maupun transparansi biaya, sudah menjadi kewajiban pihak kampus untuk mempublikasikannya. Pihak kampus juga hendaknya mengikuti Permendikbud, karena terciptanya Permendikbud juga tentunya melalui berbagai pertimbangan.
Oleh: Sevia Ari Elviana
Comments