Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Halaman : 460 halaman
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Sembilan, Desember 2017
ISBN : 978-979-91-0515-8
Ketika revolusi mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo yang seorang eksil politik Indonesia bertemu dengan ViVienne Deveraux, seorang mahasiswa Prancis yang ikut demonstrasi melawan pemerintahnya. Pada saat yang sama, Dimas Suryo menerima kabar dari Jakarta bahwa sahabatnya Hananto Prawiro ditangkap tentara dan dinyatakan tewas.
Dimas Suryo merasa cemas dan bersama puluhan wartawan serta seniman lain dia tidak bisa kembali ke Jakarta karena paspor telah dicabut oleh pemerintah Indonesia. Sejak itu mereka mengelana ke negeri orang tanpa status kewarganegaraan yang jelas, mulai dari Santiago ke Havana, lalu ke Peking, hingga kaki tersebut mendarat di tanah Eropa dan menetap di sana.
Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris bersama tiga kawannya, mereka terus dikejar rasa besalah karena kawan-kawannya di Indonesia yang lain satu persatu tumbang, diburu, ditembak, disiksa, dan menghilang begitu saja dalam perburuan Peristiwa 30 September.
Keempat sekawan tersebut sama-sama memiliki nasib sial, bahwa mereka tidak bisa pulang ke tanah airnya. Hubungan yang dibangun sangat harmonis, saling menopang, saling menjaga, dan bagaimana masing-masing dari mereka mampu menjaga diri mereka sehingga tidak menjadi sepahit kopi yang setiap hari diminumnya. Selalu ada sisi yang manis pula yang tinggal dalam diri mereka, persis seperti rokok kretek yang mereka puja-puja.
Rupanya tidak semudah itu melakukan aktivitas pulang untuk Dimas Suryo dan Putrinya, Lintang Utara. Bagi Dimas Suryo pulang memiliki arti bertemu dengan rumah yang dirindukan, dengan wanita yang dicintai, dan dengan negara yang porak poranda yang membuangnya ke negeri entah kemana saja.
Pulang ialah hadiah paling sulit didapatnya, karena keadaan politik tanah air yang tidak memungkinkan baginya. Bagi Lintang pun sama, ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kisah sang ayah tentang sejarah tanah leluhurnya. Lintang yang dipaksa pulang justru awalnya menolak dan memberontak karena beranggapan tanah air menyimpan masa lalu suram ayahnya.
Perlu dilihat, bertahun-tahun hidup di negeri orang, bukan di sana rumah yang sebenarnya milik Dimas Suryo. Rumahnya ialah di tanah kelahirannya. Dimas Suryo tidak membenci Indonesia kendati dirinya ditolak pulang. Semacam kain batik, wayang kulit Bima, Ekalaya, cengkeh dan bubuk kunyit yang disimpan dalam toples selalu hadir di kediamannya untuk mengobati rindu. “Rumah adalah tempat dimana aku bisa merasa bisa pulang”.
Lintang menolak mencari tahu tentang akarnya. Sampai di kemudian hari Lintang dihadapkan pada situasi yang membuatnya berpikir “Bagaimana semua ini bisa terjadi sampai ayah dan aku jadi seperti sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi pada akarku?” Akhirnya Lintang memutuskan pergi ke Indonesia dan kebetulan di saat negeri itu lagi-lagi diancam tragedi ’98. Setelah mengenal Indonesia, manakah negara yang merupakan rumah baginya? Yang membuatnya merasa bisa pulang?
Kejadian begitu beruntun terhadap keturunan eks tapol. Rama yang merasakan ketidakadilan dan sebagai korban yang membuatnya menanggalkan nama keluarga agar diterima dalam masyarakat. Ada pula Alam yang sama statusnya dengan Rama, Alam memiliki pemikiran yang cerdas dan kritis walaupun dibayang-bayangi dengan dendam masa lalu yang kemungkinan akan berakibat di kemudian hari.
“Siapakah pemilik sejarah? Siapa yang menentukan siapa yang jadi pahlawan dan siapa yang jadi penjahat? Siapa pula yang menentukan akurasi setiap sejarah?” -209.
Semua yang harus disikapi dalam novel karya Leila S. Chudori ini adalah bukan tentang cerita sejarahnya, melainkan ini tentang bagaimana sejarah sangat memiliki dampak pada kehidupan manusia kelak dan bagaimana manusia tersebut menyikapi sejarahnya.
Karena sepertiya dunia permerintahan dan politik indonesia lebih kompleks dari hanya sekedar siapa yang jahat, siapa yang baik, maka kemajuan pengetahuan sejarah akan berhenti sampai di titik 30 September ’68 terjadi penculikan para Jenderal kemudian PKI ditumpas hingga akarnya, Soeharto menjadi Presiden selama 32 tahun dan akhirnya rakyat telah bosan dan pada puncakya ’98 terjadi demo besar-besaran yang akhirya menelan banyak korban. Selesai dan tamat. Itulah sekelumit sejarah di buku.
Bagi pembaca yang buta politik dengan berbagai detail kejadian penting yang ada di dalam buku, akan membuat semakin menikmatinya lebih mudah. Karena di satu sisi tidak perlu mengkritisi apakah semua peristiwa itu nyata dan benar adanya, apakah detailnya tepat, apakah faktanya akurat. Di satu sisi pula itu semua tidak penting karena novel sejatinya adalah fiksi, lantas bukan berarti mengecilkan apa yang ingin disampaikan penulisnya, Leila S. Chudori.
Oleh: Erika Juliatin
Comments