Penulis : Fakhrisina Amalia
Apakah kamu pernah merasakan keinginan untuk mati? Keinginan untuk mengakhiri hidupmu karena kamu merasa sudah tidak berguna lagi?
Fakhrisina Amalia atau Iis, seorang perempuan yang sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Profesi melalui karya tulisannya berupa novel remaja yang mengusung tentang isu kesehatan mental. Dengan mempercayakan pada satu kata sebagai tajuk yaitu “Represi”, dengan jelas memberikan pemahaman secara sepihak kepada pembaca mengenai apa isinya meskipun belum menggauli lembar demi lembar buku tersebut. Sangat direkomendasikan untuk menjadi bacaan selanjutnya, karena Represi menyadarkan kembali betapa pentingnya kesehatan mental pada diri sendiri maupun orang lain.
Novel yang dipublish di tahun 2018 ini merupakan representasi dari tidak adanya keberanian untuk speak up tentang luka di masa lalu yang menggerogoti jiwa dan raga seorang perempuan bernama Anna. Sebagai gantinya, sekian purnama terpaksa ia lewati beriringan dengan lukanya yang tak kunjung pergi. Dampaknya, Anna kehilangan gairah untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Percobaan bunuh diri acapkali Anna lakukan. Namun atas kehendak Tuhan, ia masih diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan yang mayoritas manusia dambakan.
Konteks permasalahan yang disuguhkan oleh Iis tak jauh dari apa yang kebanyakan orang alami di masa kini. Hubungan remaja dan isu kesehatan mental seperti depresi yang mengacu pada bunuh diri, misalnya. Novel ini menarik pembaca untuk berkaca, betapa seringnya kita terjebak dalam dilema di mana selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk orang lain namun sengaja mengubur mati kebenaran bahwa diri sendiri sedang terbebani. Seakan tidak baik-baik saja dijadikan aib yang sejatinya enggan untuk diakui. Melukis harapan kebahagiaan yang divalidasi orang lain sebab ekspektasi sewajarnya terus diidahkan.
Represi menyuguhkan sebuah kejadian yang takkan jauh dari segala sebab dan akibatnya. Latar belakang Anna, sosok perempuan yang jauh akan kasih sayang dari kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang jarang berdiam diri di rumah lantaran urusan pekerjaan. Ibunya yang selalu bertutur lembut, tak pernah sekalipun terdengar nada kemarahan di setiap pelafalannya, namun Anna merasa bahwa tindakan ibunya selama ini justru tak memberikannya ruang untuk berfikir dan membuat gadis itu mau tidak mau harus menuruti. Pun dengan Anna yang selalu dituntut menjadi perempuan tahan banting bahkan meneteskan air mata seperti pantangan untuk ia lakukan. Semuanya seakan sengaja melupakan, bahwa Anna tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya.
Iis menyentil pembaca untuk berasumsi bahwasanya terkadang apa yang tampak di permukaan memiliki peluang jauh berbeda dengan kenyataan. Baik orang tua Anna maupun ke-empat sahabat Anna sejak SMA; Saka, Ouji, Nika, dan Hani; semuanya tidak pernah tahu bagaimana Anna merasakan jijik terhadap dirinya sendiri hingga ia begitu tertatih menghirup udara selama ini. Dan benar adanya, bahwa luka yang tidak dibagi, sampai kapan pun, tidak akan pernah bisa dimengerti.
Gejolak terus menyesakkan dadanya hingga Anna menemukan satu pintu terbuka berkat bantuan malaikat tanpa sayapnya, Dr. Nabila. Bermula dari paksaan ibunya akibat kekhawatirannya pada keadaan yang menimpa putri tunggalnya, pelan-pelan mengupas benang merah dan segala kebenaran pun terkuak melalui konseling rutin yang Anna jalani. Sikap dan perlakuan Dr. Nabila yang setia mendampingi Anna tanpa pernah menghakiminya. Semuanya tampak sudah menjadi tupoksinya sebagai seorang ahli di bidang psikologi. Karakter Dr. Nabila seakan paham betul bahwasanya melupakan seseorang di masa lalu saja sulit dilakukan, apalagi untuk melupakan sebuah kejadian traumatis yang terus terbayang. Kehangatan selalu ia utamakan untuk merengkuh Anna, bukan malah menjadikannya sebagai pendosa yang harus diadili dengan segera.
Alur yang disuguhkan Iis sungguh memberi pelajaran bahwa setiap manusia selalu memiliki racun di setiap jiwa bernyawa. Tugas kita bukan hanya hidup bebas tanpa racun, akan tetapi untuk bisa lebih kuat menghadapi sepak terjang peristiwa beracun sehingga kita bisa mengeluarkannya sebelum racun itu mengendap terlalu lama. Memang ada kalanya kita tidak tahu jawaban atau jalan keluar di setiap masalah. Terlalu malu mengakui hingga membuat diri lebih memilih menutupi segala hal yang terjadi antara takut disalahkan, takut tak dimaafkan, maupun tak diterima. Dan ketika ada seseorang yang mengaku mencintai dirinya, memberinya perlindungan, membuatnya merasa dibutuhkan, mampu menjadikannya buta dan sampai pada sebuah toxic relationship.
Sama seperti yang dialami tokoh utama buku ini, Anna. Hubungan yang tak menemukan kepastian, seolah hanya kamuflase agar bahagia terpaksa Anna hentikan bahkan sebelum ia berencana untuk memulai. Ia harus menghadapi betapa menyedihkannya ketika seseorang yang terlanjur memenuhi sel-sel otak dan hatinya, melarangnya untuk jatuh hati terhadap dirinya. Rasa insecure dan merasa tidak pantas untuk dicintai timbul namun pertemuan tidak sengaja antara Anna dengan Sky membuatnya mulai merasa dibutuhkan kembali. Meskipun tiada sangka, perlahan Anna menjauhi sahabatnya bahkan keluarganya, sengaja memberi sekat, merelakan hal-hal yang sebenarnya membuat ia bahagia, sampai kehilangan dirinya dan penuh luka.
Rentetan peristiwa meskipun mengambil alur maju-mundur, Iis menjawab semua kejadian awal di pembuka buku satu persatu. Tidak terlihat adanya plot twist, sehingga terkadang pembaca mampu menebak apa yang akan terjadi dan tidak mengurangi semangat pembaca untuk melanjutkan membaca hingga akhir lantaran karakteristik dan kondisi Anna yang begitu membuat penasaran serta peran tokoh lainnya.
Banyak sekali pesan tersirat yang disampaikan oleh Iis melalui buku setebal 268 halaman ini. Semua manusia tak pernah lepas dari kesalahan namun bukan berarti ia sepenuhnya kehilangan harapan dan angan-angan. Selalu ada celah untuk lebih senang bersikap rapuh kemudian berlarut-larut dari keadaan daripada berusaha menyelesaikannya. Terkadang pula manusia dibutakan oleh keadaan hingga merasa menjadi manusia paling malang sedunia. Padahal, di setiap substansi kerikil permasalahan selalu diiringi pilihan. Memang, ada kalanya stereotipe mengenai tiada gunanya bercerita lantaran menganggap kebanyakan hanya merasa penasaran tanpa ada setitik kepedulian harus dibuang. Karena, ketika berada di ambang batas kelemahan pun, tidak ada salahnya untuk memaksakan diri mempercayakan beberapa orang untuk meringankan beban kehidupan. Juga, perlu diingat sampai titik akhir perjalanan; maaf, tolong, dan terima kasih; bukanlah kata memalukan justru merupakan basic yang sangat diperlukan untuk lebih menghormati satu sama lain.
Manusia hanya mampu berencana, namun Tuhan yang menentukan karena-Nya lebih mengetahui apa yang terbaik dari semua pilihan terbaik lainnya. Dari sekian masalah yang dihadapi tetap utamakan keselamatan dirimu, keselamatan hatimu, keselamatan jiwamu. Semangat dan jangan lupa bahagia ya!
Oleh: Nur Fitri Prihatiningsih
Comments