Beradaptasi di Masa Pandemi


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan 5 tahun sekali, akan tetapi pada tahun ini pilkada dilaksanakan dengan cara berbeda dengan tahun sebelumnya. Oleh karenanya, hal ini menyebabkan banyaknya pro dan kontra di dalam masyarakat. Berdasarkan hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dengan 100% sampel, data golput pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mencapai 19,24%. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat golput 23,30% pada Pilpres 2004, 27,45% pada 2009, dan 30,42% pada 2014. Data golput dalam sigi LSI diperoleh dari 100% dikurangi tingkat partisipasi pemilih atau voters turnout di pilpres berdasarkan hitung cepat, yaitu 80,76%.

Jika dalam Pilpres angka golput terbilang cukup tinggi, apalagi jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan di tengah wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang belum juga reda, tingkat partisipasi pemilih akan menurun dan angka golput akan meningkat, pengawasan juga akan berkurang yang artinya kemungkinan adanya praktik curang dalam Pilkada terbuka lebih lebar.

Namun, jika pilkada tetap dilakukan, maka hal ini akan menimbulkan banyak resiko. Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah Pilkada tetap harus dilanjutkan atau tidak? Ada beberapa hal yang menjadi alasan kenapa pilkada harus tetap dilanjutkan, yaitu menjamin hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan memilih sesuai dengan agenda yang telah diatur dalam undang-undang dan atau dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Pandemi Covid-19 belum bisa diketahui kapan akan berakhir. Karena itu, apabila Pilkada ditunda sampai pandemi selesai, maka akan menimbulkan ketidakpastian. Pemerintah tidak ingin daerah yang menggelar Pilkada hanya dipimpin pelaksana tugas alias Plt dalam waktu bersamaan. Karena Plt itu tidak boleh mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Pemerintah telah menunda Pilkada sebelumnya dari 23 September ke 9 Desember. Pilkada Serentak yang dijadwalkan September ini sudah dilakukan penundaan, sehingga pelaksanaannya di bulan Desember sudah ditetapkan sebagai gantinya.

Akan tetapi, banyak pihak yang menyepakati bahwa Pilkada tahun 2020 akan tetap dilaksanakan dengan syarat tetap mentaati protokol kesehatan. Seperti yang disampaikan juru bicara Joko Widodo, Fadjroel Rahman mengatakan bahwa penyelenggaraan Pilkada tahun 2020 ini tetap sesuai dengan jadwal yaitu pada tanggal 9 Desember 2020, akan tetapi Pilkada ini dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Berbeda dengan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, ia berharap bahwa Pilkada serentak yang rencananya akan dilakukan pada bulan Desember ini ditunda. Selain itu, ia meminta kepada pemerintah untuk memberi anggaran untuk Pilkada ini direlokasikan untuk penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring penanganan sosial. Ketua umum PBNU Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti juga menginginkan pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini ditunda, menurutnya keselamatan masyarakat di tengah pandemi ini merupakan yang paling utama terlebih jumlah kasus pasien positif di Indonesia semakin hari semakin bertambah. 

Tiga Menteri kita yaitu Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan Menteri Agama Fachrul Razi sempat positif Covid-19, akan tetapi pemerintah sepertinya tidak terlalu mempermasalahkannya. Kasus positif Covid-19 meningkat drastis dari hari ke hari bahkan sempat mencapai rekor terbanyak, tetapi pemerintah kita menganggap Covid-19 bukan masalah besar. Sikap pemerintah yang seperti ini lah yang justru membuat para penganut bahwa corona merupakan sebuah teori konspirasi tumbuh subur di Indonesia. Pernyataan mereka tentang hal ini seolah-olah sadar kalau Covid berbahaya, tapi mereka bersikap seolah Covid hanyalah konspirasi belaka.

Banyak sekali sebenarnya hal-hal yang harus dikhawatirkan jika Pilkada tahun ini tetap akan dilaksanakan, seperti pengerahan massa dalam kampanye, terdapat kerumunan orang waktu pemilihan, masih banyak orang yang tidak peduli dengan protokol kesehatan, dan yang lainnya. Hal ini dapat menyebabkan penambahan jumlah infeksi yang signifikan dan justru akan lebih banyak orang yang berisiko kehilangan nyawa. Hal ini menyebabkan keadaan ekonomi di Indonesia menurun.

Dengan adanya kesadaran bahayanya penyebaran Covid-19 saat Pilkada, mulai dari kampanye dangdutan yang diperbolehkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga proses pencoblosan sendiri yang rentan berkumpulnya massa. Belum lagi bahaya yang mengintai petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang harus menangani puluhan atau ratusan kertas suara yang berpindah-pindah tangan. Covid-19 bukan perkara yang main-main, maka dari itu jangan sampai karena ambisi segelintir elit, saudara-saudara kita petugas KPPS dan masyarakat luas menjadi korban.

Namun sebenarnya, yang perlu diboikot bukan Pilkadanya, melainkan berkumpulnya manusia. Jadi Pilkada bisa tetap dilaksanakan jika tetap stay at home. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah mana yang lebih mudah? menerapkan sistem Pilkada stay at home yang aksesibel dan reliabel karena mengingat sekolah dari rumah aja masih banyak rintangannya? Atau ditunda aja?

Oleh: Dea Aprillia

Comments