Musim Kesunyian yang Semakin Tak Karuan

 


Selama musim kesunyian yang panjang, rerumputan dan semak semakin lama semakin berdiri lebat menantang angin di beberapa titik. Lintasan rel sudah berkarat rupanya, sebab sudah lama tak dilintasi kereta, penumpang-penumpang nampaknya juga enggan bepergian. Musim sunyi, musim pagebluk, tiba-tiba menghebohkan orang-orang saja saat kedatangan pertamanya. Apa boleh dikata. Walau begitu tak ada yang berubah dari Karman, apa pun musimnya, warung Mbak Yanti tetap menjadi tempat tongkrongan favorit. Kopi, rondo royal maupun gorengan lainnya tentu sudah terbiasa akan kedatangannya. Entah karena suguhan di sana nikmat atau karena pesona Mbak Yanti yang sungguh memikat; dengan mata lentik dan tubuh yang begitu ideal di umur yang tak jauh-jauh amat dari si Karman.

Suara kokok ayam di pagi hari itu memberikan peringatan kepada Karman agar lekas-lekas untuk pergi ke pasar. Karman adalah pemuda penjual sayur-mayur, pemuda dengan badan yang tambun dan memiliki ketampanan yang cukuplah untuk memikat gadis-gadis di desanya. Hanya saja sejak musim kesunyian ini wajahnya harus terbungkus kain, sayang sekali ketampanannya tak bisa diumbar. Bukan keseluruhan yang harus ditutup, hanya bagian hidung dan mulut yang diutamakan. Hal ini berlaku untuk semua orang, tanpa terkecuali.

Karman bersiap-siap dan bergegas dengan mendorong gerobak sayurnya. Tak langsung ke pasar, tentunya ia menawarkan dagangannya itu selama perjalanan. Memasuki gang-gang sempit, jalan-jalan desa yang tak semua beraspal, beberapa masih bebatuan dan kerikil-kerikil kecil. Dengan suara lantang ia mencoba memikat ibu-ibu di segala penjuru, “Yurrrr..... Saaaaa..... Yurrrrr.... Yurrrr..... Sayur Mas Karman!!!! Paling tampan!!!!” ada pula imbuhan seperti itu rupanya. Hal-hal yang seperti itu hanya cara Karman menarik perhatian, toh juga tak pernah menemui kekecewaan.

Menuju jalan yang lumayan besar, ibu-ibu rupanya sudah menunggu kedatangan tukang sayur kesayangan mereka. Sementara di seberang jalan, lintasan kereta masih saja lengang. Sunyi. Entah perbincangan apalagi yang akan terjadi diantara mereka, informasi yang didapatkan dari ibu-ibu rumpi di tukang sayur terkadang tak kalah akurat dari intel pengalaman mana pun. 

“Kok suwi men to Mas?” ujar Bu Karti dan Bu Sum hampir bersamaan

“Nggeh Bu, maaf. Biasa, tadi di gang-gang lumayan ramai yang beli.” 

Tak selang beberapa menit, Bu Supinah, Yu Sri, dan Yu Nah mulai ikutan nimbrung sembari membeli pula. Namun sayang, di musim kesunyian ini tentunya rumpi-rumpi tak se-ekspresif biasanya; mulut yang dimonyong-monyongkan pun tak akan tampak, hidung kembang-kempis, dan mungkin beberapa cipratan air ludah yang biasa meluncur saking semangatnya berbicara pun akan terlewatkan begitu saja kali ini. Kesunyian di dada mereka masing-masing akibat keadaan dunia yang tak seperti biasanya itu. Harap-harap cemas bila terkena penyakit.

Yu Nah menimpal, “Eh Yu.... Katanya si Sarkun dan Sari mau menikah yo?

“We ladalaaa... Yu Nah ini tahu dari mana to? Kupingnya kok udah dengar aja.” jawab Bu Supinah

“Yu Nah gitu loh.” Dan tentu mulut Yu Nah dimonyong-monyongkan sehabis perkataan itu, ah tapi sayang tertutup oleh kain pelindung.

Yu Sri ikut menimpali, “Ngomong-ngomong Sarkun dan Sari kasihan juga ya Bu kalau menikah di musim kayak gini. Itu loh, nggak bakal bisa ngundang orkes, nggak bisa ajeb-ajeb njoget-njoget orang desa ini. Gara-gara pagebluk apa-apa nggak boleh berdekatan”

Bu Karti, Bu Sum, Bu Supinah, dan Yu Nah saling tatap, ngangguk-ngangguk dan berkata, “iya juga ya. Kasihan.”

Tak ingin kalah, berkat kegigihannya yang selalu menonton berita dan riset sana-sini mencari tahu seluk-beluk dan perihal apa pun tentang musim ini Karman mulai berbicara, “Tapi aku pernah lihat berita Ibu-ibu sekalian, wong-wong seng seragaman iku loh pada njoget-njoget ngundang penyanyi semok. Katanya harus ngikuti aturan. Eeee kita ini orang kecil bisa apa to Bu, bener ora? Aturan kok Cuma buat rakyat keci, yang seragaman bisa lolos seenak jidat.”

“Iya to Mas? Ada-ada aja. Eh Mas, nggak ke pasar to?” tanya Bu Karti dengan cepat

“loh, loh, iya Ibu-ibu. Duh Gusti, keasyikan ngerumpi sampai lupa jam. Ayok wes, cepat dibereskan urusan belanjanya,” bersamaan dengan itu Ibu-ibu bergegas kembali ke rumah masing-masing, atau mungkin saja kembali meneruskan ibadah ngerumpinya yang sedang khusyuk-khusyuknya.

Mengikuti alur, lintasan rel di seberang jalan masih saja lengang. Angin sepoi-sepoi melambaikan julurannya pada kulit Karman. Aroma sayur-mayur diterbangkannya menuju segala penjuru. Memakai penutup, tak membuat semangat Karman hilang. Walau kembang-kempis nafasnya, gerobak sayur kesayangannya itu harus tetap melaju menuju pasar menjemput rezeki.

Sebentar lagi setelah melewati jembatan, pasar akan sampai. Jembatan besar satu-satunya di desa itu sudah berlumut di tiang-tiangnya. Aspal yang rusak menghiasi perjalanan Karman. Sungai yang terus saja mengalir membawa beberapa sampah dan beban-beban lainnya. Penyakit yang tak kasat mata itu seolah-olah tidak ada bila melihat alam yang seperti biasanya.

Di tempat mangkalnya, Karman tak perlu lagi berteriak seperti di perjalanan. Orang-orang di pasar akan berdatangan bila memerlukan. Lalu-lalang manusia dengan kain pelindung yang sama; hidung dan mulut yang tertutup agar penyakit tidak ikut. Beberapa pedagang teriak-teriak menjajakan dagangannya. Kendaraan bermotor melintas tak begitu ramai, sesekali saja menumpuk di jalanan dan berhenti di pasar. Sepeda masih menjadi primadona orang-orang di desa itu, jauh sebelum adanya trend bersepeda akhir-akhir ini. Menurut orang-orang di desa itu, bersepeda tentu bukan karena urusan sosial media ataupun yang lainnya. Memang dari dulu seperti itu, bersepeda menjadi hal yang lumrah dan biasa. Tidak ada sangkut-paut dengan ke-eksis-an di dalamnya. Niat menjadi sehat tentu lebih utama.

Beberapa jam kemudian dagangan Karman laris manis dan laku habis. Tak lupa syukur di sela-selanya ia panjatkan kepada Tuhannya. Dan kembali ke rumah kemudian tidur siang adalah cara ampuh menyayangi tubuh yang lelah akibat bekerja.

***

Malam yang dingin bermandikan cahaya bulan purnama menerangi kaki-kaki warga desa. Karman sudah segar kembali, setelah mandi di sore hari tadi. Mbak Yanti tentu sudah menanti orang-orang yang ingin singgah di warungnya, sekedar bercerita ngalor-ngidul ataupun berkumpul bersama warga lainnya, namun topik negara selalu menjadi favorit bapak-bapak di sana, entah mengapa. Di warung kopi, urusan negara menjadi lelucon dan pembahasan yang tidak ada habisnya untuk dikupas.

Remang-remang lampu pedesaan turut serta menerangi jalanan yang gelap gulita. Angin malam merayap begitu rapat menerjang pakaian-pakaian yang menutup tubuh. Juga hewan-hewan malam yang nyaring bunyinya hendak memecah kesunyian. Rupanya Karman kelewatan, warung Mbak Yanti sudah ramai. Ada Pak Kartijo sekaligus Pak RT, Pak Samingun, Mas Paijo, dan Parto sudah duduk berbaris rapi dengan masing-masing kopi di tangannya. Tetap jaga jarak, bukan satu atau dua meter, sejengkal saja sudah cukup. Asal tak berdesakan.

“Mbak Yan!!! Biasa!!!” kode Karman kepada pemilik warung tersebut sembari menyapa bapak-bapak di sana

“Oke siap Man. Kopi hitam gula sedikit siap meluncur.” Dengan raut wajah yang semangat Mbak Yanti melayani pelanggan-pelanggannya

Pak Kartijo senantiasa berusaha untuk selalu dekat dengan warganya, warung Mbak Yanti menjadi pilihan bukan karena body-nya yang semok, mengingat hanya tempat itu saja yang khusyuk untuk berbincang-bincang. Pos kamling tentu sudah diisi pemuda-pemuda dengan kegiatan karaoke dan permainan karambolnya. Tak mengapa kata Pak Kartijo, asal rukun.

Karman sudah duduk di dekat Parto kawan semasa kecilnya itu. Suasana warung Mbak Yanti yang cukup enak, lesehan, dan angin malam bisa berseliweran masuk sesukanya. Aroma gorengan yang menggoda menambah kesyahduan. Suara dan bebunyian hewan malam tetap turut serta menemani perbincangan. Kalau di warung kopi, pelindung kain itu cukup dibawa saja. Ya kalaupun ada aparat sampai di desanya, tinggal pasang, beres.

Pak Kartijo mulai bicara, namun sebelum itu makan tahu isi terlebih dahulu. Mungkin agar mulutnya licin dan lancar, “Gimana? Sudah tahu kan Pilkada tetap diadakan di musim begini?”

“Ndagel ae Negoro iki. Gimana nggak mau ketawa dan mangkel orang-orang kecil seperti kita ini. Apalagi itu loh Pak RT, Undang-undang opo sih iku, Omnebus Lo? Katanya mau disahkan juga. Haduh, jelas-jelas aspirasi rakyat cuma dijadikan omong kosong. Demokrasi opo.” Sahut pak Samingun 

Karman menyeruput kopinya (sluuurrpp) juga sesekali tempe goreng masuk ke dalam perutnya sementara yang lainnya sibuk memikirkan gagasan-gagasan untuk diutarakan. Lain halnya dengan pemilik warung itu, Mbak Yanti diam-diam mencuri pandang pada Karman. Ketampanannya memang tak ada yang mengalahkan di desanya, ya nasib saja yang kurang mujur memihaknya hingga harus menjadi pedagang sayur.

Karman mulai ikut menyahut, “Walaupun nggak sekolah tinggi, tentu kita tidak boleh bodoh begitu saja tidak tahu apa-apa. Begini Pak (sambil lalu menyalakan kretek di saku kirinya itu), heran juga sama wakil-wakil yang di atas sana. Sebenarnya mereka ngewakilin siapa ya? Ha-ha-ha,” ia menambahkan “ ya selama negara ini masih salah urus, kita nggak bekal sejahtera.”

“Hmmmm betul”, “Ya, ya, setuju.” berapa sahutan dari mereka tanda sepaham

Percakapan-percakapan itu terus saja bergulir sampai tengah malam. Hewan-hewan malam semakin nyaring saja bersahutan di antara suara mereka. Suara orang-orang kecil tak akan sampai ke atas sana bila yang di atas sendiri tak memperhatikan bagaimana di bawahnya. Selang beberapa lama mereka putuskan untuk pulang saja ke rumah mereka masing-masing, begitu pula dengan Karman.

Di gubuknya yang mulai reyot, tempat satu-satunya Karman berteduh, dimana doa-doa terus terpanjatkan dan tak pernah susut. Barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan manusia mengambil peran mereka masing-masing. Ditemani hewan-hewan malam itu, Karman beristirahat dengan kesunyian yang dibawa pada kantuknya.

Oleh: Mohammad Jumhari

Comments