Tiga hari terakhir pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi topik panas di seantero Indonesia. Dimana pengesahan RUU Cipta Kerja tersebut mendapat kecaman dari semua kalangan, mulai dari pemuka agama, aktivis, mahasiswa, dan para buruh itu sendiri sebagai pemeran utamanya.
Banyak kontroversi bermunculan terkait UU Cipta Kerja yang berdampak buruk bagi para buruh. Mulai dari penghapusan upah minimum kabupaten yang dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Bukannya menghapus outsourcing, malah dikasih celah untuk leha-leha.
Kontroversi perekrutan tenaga kerja asing (TKA) yang jauh lebih mudah dari sebelumnya. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan rakyat Indonesia semakin kesulitan menemukan pekerjaan di negeri sendiri.
Motivasi lain dari pemerintah dalam mengesahkan UU Cipta Kerja secara tergesa-gesa dan cepat karena adanya kepentingan yang sama yaitu ekonomi politik di kalangan elite oligarki. Adanya kepentingan kelompok yang mengatas namakan kepentingan rakyat di dalamnya. Menegaskan bahwa kebijakan pemerintah lebih berpihak pada pemilik modal dan elite politik. Sederhananya, apabila punya uang dan kuasa apapun keinginan bisa terpenuhi, bahkan jika harus menindas rakyat kecil sekalipun.
Keadaan yang sudah sulit karena Covid-19, terasa seratus kali lebih sulit dengan di sahkannya UU Cipta Kerja. Keadaan rakyat kecil yang tengah berusaha untuk bertahan dari pandemi berkepanjangan seakan tidak mengetuk hati tuan dan puan anggota DPR untuk tidak mengetok palu dan berkata sah. Apakah tuan dan puan sekalian tidak memikirkan bagaimana nasib rakyat setelah ini? Ah, pertanyaan retorik. Tentu saja tidak, karena tuan dan puan sekalian hanya mementingan nasib sendiri.
Tagar #MosiTidakPercaya menjadi topik terpopuler disemua sosial media. Selain turun ke jalan untuk aksi, hastag ini juga menjadi sebuah ajang protes masyarakat terhadap pemerintah dan DPR. Rakyat sudah enggan mempercayai pemerintah khususnya DPR (yang katanya wakil rakyat) usai disahkannya RUU Cipta Kerja tersebut.
Namun tampaknya, meskipun digelar aksi protes besar-besaran dan mentrendingkan tagar tidak membuat DPR bergeming akan keputusannya sampai saat ini. Dengan santainya, wakil ketua DPR, Aziz Syamsuddin berkata bahwa rakyat boleh tidak memilih partai-partai yang ada di DPR pada pemilu mendatang dan menyatakan bahwa DPR telah bekerja dengan maksimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Bisakah disebut telah bekerja dengan maksimal sesuai dengan undang-undang yang berlaku jika keputusan yang dihasilkan menuai kontra dari semua pihak sedangkan yang pro hanyalah mereka dan antek-anteknya? Tentu saja jawabannya tidak. Tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah tuli untuk mendengarkan suara rakyat yang sudah menjerit kesakitan dan sudah berada diambang keputusasaan.
Disaat negara lain fokus menangani Covid-19 agar cepat usai dan hilang. Indonesia justru sibuk mempersulit hidup rakyatnya dengan dalih solusi di tengah pandemi atau dalih agar Indonesia bisa keluar dari status negara berpenghasilan menengah.
Bukannya membuat rakyatnya bersatu memerangi covid-19, justru membuat rakyatnya terpecah dengan memerangi negara sendiri. Bukannya meningkatkan perekonomian, justru menjatuhkan perekonomian. Padahal Indonesia saat ini membutuhkan penanganan ekstra melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Lalu dimanakah letak baiknya UU Cipta Kerja ini bagi rakyat Indonesia jika keadaannya seperti itu? Bolehkah rakyat menganggap DPR bukan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat tetapi Dewan Penyiksa Rakyat? Harus kepada siapa lagi rakyat mengadu jika yang disangka tempat mengadu justru yang menyebabkan kesakitan yang mendalam? Haruskah rakyat diam saat negaranya sendiri tidak pro rakyat?
Segeralah sehat wahai otak serta kewarasan pemerintah dan DPR supaya anda sekalian bisa benar-benar mendengarkan apa keluhan dan isi hati rakyat. Buatlah rakyat tidak merasa salah karena telah memilih anda sekalian sebagai wakilnya. Saya sebagai rakyat hanya menyampaikan kelu kesah.
Oleh: Tania Eka Nur Lestari
Comments